Mungkin bagi sebagian orang, bandara hanyalah sebuah tempat umum untuk datang dan pergi.
Datang dari satu kota ke kota lain, dari negara satu ke negara lain. Atau, pergi dari satu kota ke kota lain, dari negara satu ke negara lain. Sebagian lainnya memaknainya hanya sebagai tempat transit, sebatas tempat tunggu untuk menuju satu kota ke kota lain, dari negara satu ke negara lain.
Bandara bisa jadi tempat yang mengantarkan dari kegembiraan satu ke lainnya. Atau, yang seperti lebih sering kita rasakan, dari kesedihan satu ke kesedihan lainnya. Sementara di dalam pesawat, jendela adalah magnet yang membuat siapa saja mendadak sendu, sedih.
Ya kurang lebih seperti itu salah satu ritme kehidupan manusia urban. Beberapa dari mereka mungkin sudah menghabiskan setengah hidupnya untuk mondar-mandir di bandara. Menggeret koper, selalu takut terlambat, dan mengular di antrian bagasi adalah keseharian di luar kepala.
Tapi tidak bagi seorang Te yang punya jiwa petualang tingkat akut. Saking akutnya kalau bisa tinggal di bandara mungkin dia akan pindah dan buat rumah di dalam bandara. Ia bisa jadi mendirikan tenda kecil atau memanfaatkan satu sudut yang sepi untuk berdiam lama-lama. Ia bisa menghabiskan waktu mendengar derap orang lewat, bersama roda kecil yang terus berdecit. Toh, bandara tidak pernah tidur, selalu ada suara di sana.
Bandara menjadi pelarian bagi Te dari rumahnya. Setiap kali pergi ke Bandara atau hanya sekadar lewat bandara, Te merasa ada angin segar yang lewat di depan wajahnya. Wajahnya mendadak sumringah. Seperti ada suara malaikat yang menenangkan dirinya.
Te sudah pergi ke banyak bandara. Mulai dari bandara di kota-kota besar yang nyaman dan wangi, sampai bandara untuk pesawat perintis di antah berantah sudah ia singgahi. Semua bandara mempunyai kenangan tersendiri bagi Te. Namun, yang membuat Te pertama kali merasakan getaran itu adalah adalah Bandara Soekarno Hatta Terminal 3. Pilihannya spesifik pada terminal ini. Bukan karena di sana didominasi penerbangan internasional. Terminal 3 adalah tempat yang membuat dia berkata “Ok, i like this place.”
Kurang lebih tiga tahun lalu, Te mendapat tugas dari kantor untuk pergi ke Bali. Yaps, apalagi kalau bukan kerjaan menulis artikel tentang sesuatu yang menarik di Bali. Te adalah seorang content writer. Ia bekerja untuk sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Tentu saja perusahaannya bergerak di bidang pariwisata. Dibanding temannya yang sudah berkeluarga, tentu Te adalah pilihan tepat untuk sesuatu yang perlu dikerjakan di luar kota. Apalagi yang ada hubungannya dengan ke bandara, ia selalu siap sedia.
Saat mendapat tugas untuk pertama kalinya, Te senang bukan main. Apalagi ini Bali, tempat yang ingin dituju untuk menghabiskan masa tua oleh separuh penduduk Jakarta.
Dengan outfit kaos polos putih, jeans biru, jaket, dan sepatu sneakers kesayangan warna biru tua, Te membawa koper abu-abunya masuk ke dalam bandara Soetta Terminal 3. Seperti hafalan di luar kepala, ia menunjukkan tiket dan boarding pass ke petugas, kemudian menaruh koper dan tas ransel ke mesin x-ray barang. Ia sengaja tidak memakai aksesoris yang akan membuatnya sibuk di depan mesin pemindai metal.
Sambil mendorong koper, Te berjalan menyusuri setiap lantai menuju ke ruang tunggu penumpang. Hiruk pikuk bandara, keresahaan, kecemasan, keribetan, dan kegembiran penumpang yang hendak datang atau pergi adalah peristiwa yang lazim di bandara.
Sementara itu, telinga juga menangkap berbagai bebunyian yang ada di bandara. Suara karyawan restoran menawarkan produk, suara petugas yang memanggil penumpang untuk segera naik ke pesawat, juga suara penumpang yang protes kenapa koper mereka tidak bisa masuk ke kabin. Yang terakhir cukup sering terdengar.
Di ujung mata, terlihat seorang penumpang berlari ke ruang tunggu karna ketinggalan pesawat. Pemandangan ini lebih sering terlihat di penerbangan pertama, pagi-pagi buta.
Atau, kepanikan penumpang yang lupa membawa identitas, dan penumpang yang salah lihat jam keberangkatan adalah hal-hal yang sering terjadi di bandara. Tempat keberangkatan begitu besar dan setiap hari diisi oleh kepanikan dan ketergesaan. Sementara tempat kedatangan biasanya tidak begitu megah, tetapi sesak oleh senyum dan raut wajah bahagia. Entah bagaimana ceritanya bandara menjadi tempat mengantar panik dan ketergesaan dan menyambut raut wajah gembira. Namun, justru itu yang membuat Te menyukai tempat ini. Meskipun ia nyaris selalu terbang sendirian, tapi ia bisa merasakan kesedihan dan kebahagiaan melalui orang-orang di sekitarnya.
Te selalu menyukai aroma khas roti rasa kopi yang menyeruak di lorong-lorong, di hidung orang yang tergesa-gesa. Ini adalah hiburan tersendiri untuk hidungnya.
Sampai di ruang tunggu, Te duduk. Dengan pemandangan yang sama, ia melihat lalu lalang penumpang. Melihat berbagai raut wajah penumpang dengan segala ceritanya sudah menjadi bagian untuk pemanis di bandara. Ada yang hanya sekadar duduk diam. Ada yang sambil membaca buku. Ada yang sibuk main HP. Ada yang tidur sambil mendengarkan lagu. Ada yang kerepotan mengejar anaknya yang masih tiga tahun. Ada juga yang sudah tidak tahu mau berbuat apa jadi mondar-mandir karena pesawatnya ditunda.
Beberapa lainnya memilih berbincang dengan penumpang lain, walau hanya sekadar bertanya “Mau kemana Mbak, Mas?”, “Pesawatnya apa Mbak, Mas?”, “Pesawat AirAsia Boeing GT700 bener ke sini ya Mbak, Mas?”, ”Berapa lama Mbak, Mas ke sananya?”
Setiap Te berada di bandara, ia merasa seperti sedang berperan sekaligus melihat sebuah film dengan berbagai potongan gambar dengan ekspresi aktornya. Ia menikmati semua itu dan merasa benar-benar menjadi dirinya. Itulah awal bagaimana seorang Te suka banget sama bandara.
Penyelaras Aksara: Agustinus Rangga Respati
Foto: Airmagz
Barusan landing dari luar kota. Pas banget dng cerita ini. Cerita yg trkait langsung dng apa yg saya lihat, saya dengar dan saya alami ..trmasuk roti beraroma kopi..Tks