Menjenguk Bayi Merah | Cerita Pendek Kristophorus Divinanto

Tamu-tamu kembali berdatangan. Bukan hanya ibu-ibu tetangga, ada juga kenalan kami yang datang dari kota. Sesuai dengan kesepakatan, aku menemui ibu-ibu di ruang tamu dan suamiku yang menemui tamu dari luar kota yang duduk di luar rumah. Ruang tamuku tidak cukup luas untuk menampung tamu lebih dari sepuluh orang. Untuk memasukkan sepuluh orang ke ruang tamu saja, suamiku harus memindahkan semua kursi di ruang tamu ke luar rumah kemudian tikar baru bisa digelar sebagai alas duduk. Ibu-ibu di ruang tamu duduk berlesehan. Sedangkan, tamu di luar duduk dengan kursi yang sebelumnya ada di ruang tamu, ditambah bangku panjang yang dipinjam dari gardu satpam depan rumah.

Minah–adik perempuan suamiku–menyuguhkan teh dan beberapa kaleng biskuit untuk orang-orang di ruang tamu. Aku mempersilakan ibu-ibu meminum teh dan memakan makanan kaleng yang sudah disiapkan sambil meminta maaf karena hanya menyuguhkan makanan seadanya. Minah juga aku minta untuk mengantarkan minuman dan makanan untuk tamu yang ada di halaman rumah.

Sudah hampir seminggu lamanya Minah ada di rumahku. Antusiasnya sangat tinggi saat mengetahui kakak iparnya hendak melahirkan. Ia menyediakan diri untuk membantu segala hal yang kami butuhkan. Kebetulan Minah juga senggang karena tengah menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru.

Ibu-ibu di ruang tamu riuh memuji anakku yang tertidur pulas. Mereka bilang anakku sangat tampan. Ada juga yang mengatakan anakku sangat cantik. Mereka yang menyebut anakku  cantik, sontak tertawa ketika tahu anakku adalah laki-laki.

Ada yang memuji indah bentuk dagu anakku yang dianggap turunan ayahnya. Ada juga yang memuji pesek hidung anakku yang dianggap turunan dari pesek hidungku.

Tidak sedikit dari mereka yang juga memberikan ucapan selamat atas kelancaran proses kelahiranku.

Ibu-ibu di kampung berkata bahwa mereka sempat khawatir ketika mendengar kabar kelahiran bayiku harus dilakukan dengan operasi caesar. Risiko terburuk adalah kematian dari salah satu pihak jika memaksakan diri melahirkan dengan cara normal.

Cephalopelvic Disproportion, begitu dokter menyebutnya. Panggulku terlalu kecil sehingga menyebabkan kompilasi saat persalinan. Suamiku meminta agar dokter melakukan caesar. Kehilangan istri maupun anak bukan sebuah pilihan untuknya.

Atas restu kehidupan, aku dan bayiku masih diberi kesempatan untuk hidup. Bayiku lahir dalam keadaan sehat, dengan usia kehamilan 39 minggu. Panjang tubuhnya 50 sentimeter dengan berat 3.200 gram. Aku bernafas lega ketika mendengar dokter berkata bahwa angka-angka itu adalah angka yang wajar untuk seorang bayi yang baru saja lahir.

Sebelum ibu-ibu pulang, mereka meminta sejumput bedak bayi milik anakku. Tradisi yang memang sudah dilakukan di kampung ini sejak dahulu. Masyarakat meyakini sejumput bedak bayi yang mereka ambil dapat mencegah perkara buruk duniawi, agat tidak menular kepada si jabang bayi. Setelah ibu-ibu beranjak keluar rumah, Minah mengambil gelas-gelas milik tamu dan langsung mencucinya. Dari dalam rumah, kulihat tamu-tamu yang berasal dari luar kota juga pamit dengan melambaikan tangan mereka ke arahku.

Malam hari setelah bayiku tertidur pulas, aku melangkah keluar kamar menuju ruang tamu. Minah tertidur pulas di sebelah boks bayi. Wajar jika ia juga kelelahan. Tamu-tamu berdatangan tiada hari sejak siang hari. Barangkali Minah sudah mencuci sekitar enam lusin gelas hari ini.

Langkahku terhuyung-huyung menahan perih di perut. Efek obat bius perlahan pudar dan rasa nyeri terasa membakar di sepanjang perut pada garis bedah.

Suamiku–yang sedari tadi tiduran di tikar–langsung beranjak, dan menuntunku menuju kursi. Setelah aku duduk, suamiku duduk lesehan di dekatku. Mata kami bertemu dalam hening yang hanya sesekali bernias suara jangkrik di luar rumah. Aku enggan membuka pembicaraan dan memilih diam.

“Lima belas juta untuk satu bulan. Lebih pun mereka mau,” kata suamiku.

“Untuk?”

“Pemalsuan kelahiran. Salah seorang dari mereka selama ini berpura-pura hamil dan kini butuh bayi merah.”

“Kapan mereka mengambilnya jika kita sepakat?”

“Seminggu lagi.”

Aku hanya terdiam. Suamiku juga diam.

Setetes air mata mengalir di pipiku. Naluriku sebagai seorang ibu memang tidak pernah siap ketika membicarakan ini, bahkan jauh ketika pembicaraan ini mulai dibahas sebelum anakku lahir.

Suamiku berlutut di hadapanku dan meraih kedua tanganku dengan perlahan.

“Hanya ini yang bisa kita lakukan. Tanpa uang mereka, kita tidak akan bisa menghidupi bayi kita. Bayi kita akan mati kelaparan jika kita tidak meminjamkan kepada mereka,” kata suamiku.

Air mataku semakin deras mengalir di pipi. Namun nasib memintaku mengangguk.

Memang benar suamiku. Belum ada cara lain yang bisa kami lakukan untuk menghidupi anak kami selain menyewakannya kepada orang asing dengan tujuan yang sama asingnya.

“Dua puluh juta untuk satu bulan,” kataku.

Suamiku mengangguk.

Bayiku terdengar menangis dari dalam kamar.

Kutoarjo, 17 Mei 2021

 

Penyelaras Aksara: Agustinus Rangga Respati
Ilustrasi: The Devil Whisper- The Kribs (@the.kribs)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts