Kisah Hujan di Hari Minggu | Cerita Pendek Kristophorus Divinanto

Langit sudah menangis sejak Minggu pagi. Keresahan Suster Antonia benar-benar terjadi.

Ia mendengus sebal ketika melihat awan hujan tidak kunjung menyingkir dari langit kota Jogja. Sejak malam sebelum tidur, ia menengok langit yang sudah mengabu dengan gradasi jingga dari pendar ratusan lusin lampu kota.

Suster Antonia terbangun tepat ketika gerimis membentur jendela kamarnya. Angin telah membenturkan rintik air ke kaca-kaca kamar biara dan menarik perhatian Suster Antonia untuk bangun dari tempat tidurnya. Langit masih gelap. Waktu masih menunjukkan pukul tiga pagi. Angin dapat terlihat dari balik jendela melalui lambaian bunga–bunga Kamboja yang ditanamnya di halaman. Ada kelopak yang masih berpegang erat, namun satu dua kelopak rapuh berakhir dengan menari bersama angin dan rintik hujan. 

Satu jam lagi, setiap suster di biara akan bangun dan mempersiapkan diri menyambut hari Minggu. Tidak banyak memang yang akan dilakukan di hari Minggu ketika hujan tiba. Tidak ada suara ranting–ranting pohon yang dipangkas oleh Suster Nivarda. Tidak ada bau khas pupuk kompos yang menemani Suster Blandina berkebun. Tidak ada pula riuh suara anak–anak sekolah minggu yang bermain di taman biara. 

Suster Antonia kembali menatap hujan di luar jendela. Gerimis telah menjadi hujan deras yang barangkali mengguyur seluruh kota Jogja. Titik air telah menghiasi jendela luar kamarnya, dan membuat jendela kamar mengembun. Diambilnya rosario di meja kecil di sudut kamar, dan ia melangkah ke samping tempat tidur. Digesernya sebuah bantalan ke dekat jendela, yang biasa digunakan sebagai tempat berlutut ketika berdoa. Dipanjatkannya sebuah doa yang biasa dilakukan di pagi hari, ketika bangun tidur dan sebelum memulai hari. Diselipkan sedikit kekecewaanya ketika mengetahui hujan turun pagi ini yang bertepatan dengan jadwal ke gereja pagi. Serangkaian doa ditutup dengan tanda salib dan Suster Antonia bergegas untuk bersiap.

Hujan masih mengguyur ketika Suster Antonia hendak berangkat bersama suster–suster lainnya. Ada beberapa suster yang sudah berangkat karena bertugas sebagai pembaca lektor dan membantu koster mempersiapkan kebutuhan pastor untuk perayaan ekaristi. Beberapa umat yang dikenalnya sudah berjalan ke arah utara dengan membawa payung. Ingin hati memanggil satu diantara mereka untuk diajak berjalan bersama dalam satu payung. Namun, ketika melihat beberapa umat hanya berlindung di balik payung-payung kecil, ia mengurungkan niatnya. Diambilnya sebuah payung berwarna abu-abu. Payung pemberian seorang umat di daerah Purworejo ketika ikut pastor dalam kunjungan stasi. Lebar payung ini dapat menampung sekitar tiga orang di bawahnya. 

Alasan Suster Antonia tidak suka hujan ialah payung ini. Karena sangat lebar, payung ini jadi terasa lebih berat ketika dibawa dibanding payung yang lain.

Sebagai seorang Katholik, Suster Antonia mengimani tentang Yesus yang tak pernah lelah memikul salib-Nya ke Golgota. Salib yang Ia pikul lebih berat dibanding dengan payung yang dibawanya. Berat memang bukanlah satu-satunya alasan Suster Antonia enggan memakai payung ini. Alasan selanjutnya adalah; payung ini sangat lebar! Rasa-rasanya, setiap sorot mata mencibir dan menilai Suster Antonia egois atau alay karena takut terkena terik matahari, dengan payung selebar ini di tangannya.

Setiap suster di Susteran Santa Anna memiliki satu payung di kamarnya masing-masing. Kebetulan ketika menerima payung pemberian umat tersebut, Suster Antonia sedang tidak memiliki payung. Payung terakhir yang dimilikinya rusak. Waktu sedang tidak meluangkan dirinya untuk memberi kesempatan Suster Antonia membeli payung. Kesibukan mengurus akreditasi sekolah membuatnya selalu pulang ke susteran ketika sore telah menunaikan tugasnya menggantikan siang. 

Oalah suster, itu kan payung pemberian umat. Pakai saja. Umat itu kan tangan kesekiannya Yang Maha Pemberi. Kok ya malah mengeluh! Pasti terpakai. Dia selalu memberi apa yang menjadi penting bagi kita to?”, demikian ujar Suster Bernadeta ketika menyadari perasaan Suster Antonia yang semendung langit Jogja pagi ini. 

Pasti terpakai. Allah selalu memberi apa yang menjadi penting bagi kita to?

Hujan masih menemani Jogja dengan gemericik air. Gradasi abu-abu mewarnai langit dan berarak lambat. Suara katak bersahutan. Beberapa daun kering yang menguning terhempas angin, jatuh perlahan bersama tetes air. Gemuruh terdengar lirih. Daun-daun jambu di taman biara menampung genang demi genang air. Titik air yang lain melesat langsung memeluk tanah. Titik air yang lainnya meliuk dan menari di tangkai bunga, tangkai tanaman hias, atau berselancar iseng di atas genting sebelum jatuh ke tanah.

“Semua itu adalah rahmat, Antonia!” Ujar Suster Antonia dalam hati. 

Segala hujan, nyiur sejuk angin bulan Maret, seruan katak, petrikor, langit hujan yang kusam, dan matahari yang mager menampakkan diri, ialah rahmat yang Allah beri. Mungkin di luar sana, ada orang yang menanti hari ini, ketika hujan turun dan mengisi sumber air mereka. Atau sebuah kampung tengah bersorak memuji Allah ketika penderitaan atas kekeringan yang tak berkesudahan telah berakhir dengan turunnya hujan di pagi ini. Atau hujan pagi ini menjadi selimut hangat yang menemani tangisan seorang perempuan yang sedang patah hati mengingat perpisahan dengan kekasihnya semalam. Atau hujan pagi ini menjadi sebuah aksara seorang laki-laki yang berhasil menerjemahkan hujan ke dalam sebuah puisi yang ditujukan untuk pacarnya. Segala atau lain masih dapat terjadi di balik rahmat hujan. Tidak ada yang tahu kisah di hujan hari Minggu ini pada kehidupan banyak orang. Suster Antonia segera beranjak dari tempatnya dan berangkat ke gereja.

Hujan memang menunjukkan dominasinya pada langit Jogja pagi ini. Entah mungkin ia akan bertahan sampai siang hari. Langit mendung yang tadinya berwarna abu-abu telah menjadi putih kusam, yang kata kebanyakan orang, pertanda hujan akan menamani dalam jangka waktu yang cukup lama. Kurang lebih begitu perkataan orang-orang yang pernah Suster Antonia dengar, ketika ia berada di dalam Trans Jogja beberapa tahun lalu semasa masih kuliah. 

Dan pada saat itu, Suster Antonia percaya dengan ucapan itu karena benar adanya. Satu hari tuntas hujan membasahi Jogja dengan segala kehidupan di bawah langitnya. Dari orang yang tidak ingin kehujanan sampai beberapa orang yang menikmati hangatnya menari di bawah hujan. Aneh, batin Suster Antonia. Banyak anak muda yang mengaku mencintai hujan dengan segala alasan-alasannya yang membingungkan. 

Apanya yang romantis? Apanya yang penuh kenangan? Ini mah merepotkan! 

Langit hari ini pun memang begitu adanya. Putih dengan beberapa kusam abu yang melenggang pelan sebelum hilang bersama angin. Suster Antonia berjalan pelan menghindari genangan-genangan air, baik yang masih bening maupun genangan keruh karena tercampur tanah. Hari ini ia mengenakan jubah putih. Ia tidak mau cipratan kecil air keruh mengotori jubahnya. Sambil berjalan, terkadang ia menatap ranting-ranting yang basah dengan titik-titik air yang menunggu jatuh di ujung daun. Daun-daun masih tampak memilih tegar dihantam hujan. Namun tak jarang pula dedaunan yang memilih kalah digugurkan rintik air.

Dari kejauhan, Suster Antonia melihat anak perempuan dan anak kecil laki-laki berteduh di sebuah warung kecil. Warung itu memang tutup di hari Minggu. Jika Senin sampai Sabtu, warung itu menjajakan jajanan pasar dan sembako. Kedua anak kecil itu tampak kebingungan. Tangan kanannya menggandeng anak laki-laki di sebelahnya tanpa dilepas sebentar saja. Titik-titik air tampak di baju mereka, meski tidak kuyup. Basah pada bajunya seperti baru saja lari menerjang hujan. Masih ada beberapa titik pakaian yang belum basah. 

“Halo. Selamat pagi. Ada yang bisa suster bantu?”

Awalnya, kedua orang tersebut terkejut ketika disapa oleh seorang suster. 

Anu, suster, mau ke rumah sakit. Jenguk bapak.”

Dari pembicaraan yang sebentar, Suster Antonia mengetahui bahwa mereka adalah kakak beradik yang berasal dari Kebumen. Keduanya hendak menjenguk ayahnya yang sedang ada di rumah sakit. Rumah sakit tempat ayahnya dirawat ada di sebelah kanan gereja. 

Ibu mereka berada di rumah sakit sejak minggu lalu. Hari ini mereka berangkat dari Kebumen naik bus umum untuk menjenguk ayah mereka. Namun, hujan menghalanginya untuk sampai di rumah sakit tepat waktu. Mereka telah berlari dari terminal sampai ke warung ini. Niat hati melanjutkan perjalanan yang hampir sampai, namun hujan kian deras. Si sulung memutuskan untuk mengajak adiknya berteduh karena mereka tidak membawa baju ganti. Si sulung tidak ingin melihat bapaknya semakin khawatir melihat anak-anaknya datang dengan keadaan kuyup. 

“Mari! Ikut suster! Payung suster masih cukup untuk kalian. Suster temani sampai rumah sakit, sekalian suster mau berangkat ke gereja”.

Kebahagiaan tampak dari senyum di wajah keduanya. Kakak beradik itu memandang satu sama lain dan mengucapkan alhamdulillah secara perlahan. Mereka berdua berjalan bersama suster menuju rumah sakit. Suster mengantar mereka sampai ke bagian pendaftaran, menanyakan kamar ayah mereka kepada petugas, dan petugas mengantarkan kedua anak tersebut ke kamar ayahnya.

Matur nuwun, Suster,” ujar kakak-beradik itu sambil membungkuk. 

Mereka berdua mengikuti petugas yang akan menunjukkan jalan ke kamar tempat  ayah mereka terbaring. Suster Antonia tersenyum dan melanjutkan perjalanan ke gereja. 

Gema lonceng gereja sudah terdengar merayap di tengah gemuruh. Setelah meletakkan payung yang basah di tempat yang disediakan, Suster Antonia mengambil air suci di pintu masuk dan membuat tanda salib. Lagu pembukaan telah dikumandangkan oleh petugas koor dari paduan suara orang muda.

“Dengan gembira bersama melangkah

Kita semua menghadap Tuhan

Bertepuk tangan nyanyi suka ria

Sebab besar kasih setia-Nya”.

Sungguh, tidak ada yang tahu sebuah kisah ketika hujan di hari Minggu.

 

Untuk sahabatku, Suster Febriana OP. Semoga sehat selalu

(Yogyakarta, Maret 2018)

 

Penyelaras Bahasa: Agustinus Rangga Respati
Ilustrasi: Amanda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts