Di Tepi Rawa Bening

At the shoulder of the road
At the shoulder of the road/ dok. Wisnu Arya Bima

Stasiun Jatinegara tak ada sepinya menerima penumpang. Suara kereta yang berlalu lalang sesuai dengan jadwalnya meninggalkan suara hati, “Aku datang untuk mengadu takdir di kota Jakarta”. Pagi yang masih sangat mula. Suara panggilan itu selalu membayangi semua suasana. Para kuli panggul, sopir taksi, dan ojek, semua menawarkan jasanya. Dari pagi bertemu pagi, banyak kuli panggul sudah siap dengan badannya yang kekar yang tak meminta lebih, tapi selalu memaksa diberi lebih. Para sopir taksi sudah hafal para pendatang tidak memberikan kejutan karena tidak ada harga yang ditawarkan, namun saat membuka mobil, lebih terkejutlah para calon penumpang. Mau menolak segan, tapi waktu semakin pagi. Aktivitas pagi semakin memanggil untuk dipenuhi. “Sama-sama mencari rezeki ya, Pak. Saya datang dengan damai. Mau mencari rezeki saja.”

Gelap masih menutupi jalan Jatinegara. Lampu-lampu jalan masih menyala terang. Terdengar suara musik yang sangat keras. Banyak ibu dan bapak berkumpul bersama di pinggir jalan. Duduk bersama sambil mendengarkan musik dan menghisap rokok yang ada pada mereka. Tak tertinggal juga, botol-botol berwarna merah muda yang berserakan di sekitarannya. Mungkin, waktu inilah yang tepat bagi para ibu-bapak itu untuk berkumpul bersama setelah satu hari bekerja, merawat anak, kemudian menidurkan anak, dan akhirnya keluar hanya sekadar melepaskan penat sambil meringankan beban utang mereka.

Motor Honda masuk ke jalan Rawa Bening. Cepat menyalip angkutan-angkutan yang sedang menurunkan penumpangnya. Motor itu menarik perhatian. Membawa tas yang cukup besar di motornya. Nampaknya berat, karena tas itu diapitnya di antara kedua kaki. Rossidik, namaku. Yang tak tahu tentang dunia batu akik. Tapi, aku mau mencari tahu bukan hanya batu akik saja. Tapi, tentang keberadaan pasar Rawa Bening yang katanya menjadi pasar akik terbesar kedua se-Asia setelah Thailand, kata orang-orang. Aku tak habis pikir tentang tas yang ia bawa. Sepertinya sangat berat.

Tak jauh dari mata memandang. Motor Honda itu menurunkan tasnya yang terlihat berat. Aku hanya bisa berjalan pelan-pelan menyusuri keberadaan pengendara motor honda itu. Jauh sekali dari pusat keramaian Pasar Rawa Bening. Bapak itu mengeluarkan batu-batu dagangannya. Dari jauh, terlihat semua serba hitam. Ah, sarannya tidak menarik perhatian. Batinku bergejolak. Aku sudah tidak tertarik dengan dagangannya.

Tapi, perlahan aku datangi. Di trotoar sepanjang Jalan Rawa Bening, batu akik didagangkan oleh para pencari sesuap nasi. Harga yang ditawarkan pun kadang tidak masuk akal bagi yang tidak tahu tentang batu. Tapi, perhatianku masih terarah pada bapak yang sedang menggelar lapaknya. Ya, itu bapak yang tadi menaiki motor honda hitam yang sudah rusak.

Perjalananku terus berlanjut untuk menyusuri trotoar yang penuh dengan pedagang batu akik. Dengar-dengar, mereka yang berjualan di luar ini ternyata tidak kuat untuk membayar pajak pasar yang cukup tinggi. Jadi, yang berjualan di dalam itu sebetulnya adalah para pedagang yang penjualannya menggunakan teknik menaikkan harga barang tinggi sehingga saat ditawar masih bisa mendapatkan keuntungan dan bisa untuk membayar retribusinya. Bandingkan dengan mereka yang berjualan di trotoar. Pasti suatu saat, mereka akan digusur petugas kebersihan atau petugas keamanan yang keliling. Trotoar penuh dengan lapak. Pejalan kaki harus mengalah, akhirnya melewati jalan aspal.

Suara gerinda penghalus batu mendecit. Perjalanan ditemani suara-suara decitan batu yang dipoles. Keras sekali kedengarannya. Tapi, itulah yang menjadikan beras jadi nasi. Yang menjadikan nasi jadi kebahagiaan. Yang menjadikan kebahagiaan jadi semangat mengelus batu-batu akik berkelas. Dari tangan-tangan yang penuh bahagia, batu akik itu menjadi batu yang berharga bagi jari yang mengenakannya. Entah tua atau muda. Entah kaya atau miskin. Batu akik akan menjadi perhiasan di tangan pemakainya lewat decitan dan ketepatan para penghalus batu di sepanjang Jalan Rawa Bening ini.

Hanya batu hitam yang dijual bapak itu. Motor Honda yang sudah tak layak pakai terparkir sebagai tempat meletakkan tas dagangannya. Pajaknya pun sudah telat bertahun-tahun. Mungkin ini menjadi kekuatannya. Mencari rezeki sampai lupa membayar pajak. Ah, biarkan saja.

“Mari, Bang. Dilihat-lihat dulu. Ini jenis black opal,” katanya.

Aku yang tak tahu maksudnya apa, tertarik saja dengan tawarannya untuk melihat-lihat. Semua batunya serba hitam. Tidak menarik jika terlihat dari kejauhan. Hitam legam. Tapi, tanganku tidak bisa menahan untuk tidak memegang salah satu cincin batu akik. Batu itu menyala. Merah, kuning, hijau, biru, emas, dan silver seperti perak. Tapi, ini batu biasa. Bagus juga. Tak tahan lagi untuk melihat batu yang lain. Ternyata ada batu yang memancarkan warna hanya merah saja. Merah berkelip-kelip. Ini ada yang jenis lainnya. Masih dengan perasaan tidak yakin, aku mengambil batu yang masih seperti bongkahan. Ini juga masih ada warnanya. Seperti teh warnanya. Ini bukan sembarang batu. Ini bagus sekali. Terlihat masih sangat natural.

“Murah saja, Bos. Tinggal pilih saja, harganya bisa dibicarakan bersama,” kata penjualnya.

Aku masih terdiam. Tas sebesar itu, yang kulihat dari Stasiun Jatinegara, isinya batu dan cincin yang sangat unik dan berbeda dari yang dijual di trotoar sepanjang Jalan Rawa Bening ini. Batuan yang lain aku pegang dan terus kucari warnanya. Dibantu dengan senter, warna-warna itu muncul. Variatif sekali. Entah, rasanya sudah ada keinginan untuk memilikinya saja. Hatiku berkata; ambil semuanya karena semua batu itu indah bukan? Haduhh, aku hanya berkata, keindahan cukuplah keindahan jika tidak kita miliki, tapi keindahan itu akan indah jika orang lain bisa melihat juga.

“Berapa ini, Pak?” Sambil kutunjukkan batu yang warnanya merah. Batu itu masih dalam bongkahan yang kecil.

“Oh itu. Itu termasuk opal fosil kayu,” kata penjual itu.

“Mahal, Pak?”

“Harga bisa dibicarakan kok, Gan. Pilih-pilih dulu saja.”

“Kalau satu ini saja berapa?”

Pedagang itu mengambil batu yang katanya adalah fosil kayu yang mengandung opal itu. Dilihat-lihatnya batu itu sambil rokok yang sudah hampir habis dihisap dalam-dalam. Masih saja dilihatnya. Cukup lama. Apa benar ini salah satu barang yang termahal miliknya? Biasanya, barang yang bagus dan istimewa tidak mudah dilepaskan begitu saja. Barang berharga hanya akan dilepaskan dengan harga yang cocok. Tapi, karena saking berharganya, barang yang berharga itu tidak akan dilepaskan begitu saja. Tapi, itulah kita manusia. Se-berharganya manusia, Tuhan tidak pernah menumbangkan segala harapan kita. Nyala yang telah pudar tak pernah dipadamkan-Nya. Buluh yang terkulai tak akan dipatahkan-Nya. Tuhan memandang manusia berharga. Penuh dengan nilai yang harus dipertahankan. Tuhan itu seperti penjual akik ini. Tak mau temuan-temuannya itu dilepas sembarangkan saja untuk pembeli yang sembarangan. Masih lama sekali. Kaki kram karena jongkok terlalu lama.

“150 ribu saja, Bang. Ambil tiga biji bebas dari wadah itu.”

Ini tidak masuk akal lagi. Harga yang diberikan terlalu murah dan buatku yang tidak tahu batu ini sangat mematikan harga pasaran. Aku merasa tertarik dengan tawaran itu. Apakah ini strategi marketing atau memang ketulusan pedagang, aku tidak tahu. Yang aku sadari adalah pedagang ini melayani pembeli dengan tulus. Ia tak mau memberikan harga yang terlalu tinggi untuk satu batu black opal saja, tapi ia menyiasati agar pembeli tidak kecewa, maka diberikanlah harga yang cukup memukul dompetku. Dua batu lagi untuk mendapatkan black opal yang istimewa.

Tanpa berlama-lama, aku mencari dua batu lagi. Senter aku sorot ke arah tempat batu-batu yang diletakkan di dalam minyak. Aku mulai mencari black opal yang cukup bersinar dari yang lainnya. Satu aku mendapatkan yang mirip dengan batu yang pertama tadi. Sejenis fosil kayu yang mengandung kandungan opal sehingga muncul semacam pelangi opal yang disebut oleh para pecinta opal adalah jarong.

Mengkilap. Itulah kesan pertamaku ketika semua batu memancarkan warnanya. Semakin bersinar, semakin bingunglah diriku untuk memilih. Semua saling menawarkan keindahannya. Entah, keindahan itu semakin menarik diriku. Apakah keindahan ini adalah anugerah dari Tuhan sendiri? Bagiku, inilah nikmat Tuhan yang aku dapatkan. Merawat keindahan yang dibawa pedagang black opal ini. Salah tidaknya, aku sangat tidak mau tahu. Ini hanyalah batu yang dititipkan Tuhan kepada para pedagang batu akik. Tujuannya, hanya agar manusia semakin dekat dengan Tuhan bahwa keindahan yang kecil dari batu-batu akik itu menjadi alat untuk mendekatkan manusia ke Sang Penciptanya.

Tiga batu black opal berkat dari rasa penasaranku terhadap motor honda yang membawa tas besar melintas di depan Stasiun Jatinegara. Memang, keindahan itu tersimpan di sana – di sepanjang trotoar Jalan Rawa Bening. Nasib diadu, reputasi terus digali, pelanggan tetap menjadi raja. Semua demi sesuap nasi yang menjadikan kebahagiaan keluarga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts