Solipism

Maksudku, percaya atau tidak percaya hanyalah sekian dari sekian yang lebih banyak pilihan hidup yang mesti dipilih. Misalnya, soal Tuhan. Berabad lamanya, dengung terkait kehadiran Tuhan selalu menjadi topik yang akan hadir dalam beberapa kesempatan di hidup kita. Pertanyaan demi pertanyaan tentu akan selalu menemani proses pendewasaan ketuhanan yang dianut oleh masing kita.

Mungkin pada praktiknya, bertanya terkait keberadaan Tuhan, wujud, atau apapun itu selalu saja diberi label negatif. Bukan tanpa sebab, pertanyaan memang cenderung menelanjangi sikap skeptis yang sangat bertentangan dengan konsep keimanan yang kalau diterjemahkan secara harfiah merupakan rasa percaya. Faith. Ya begitulah.

Seperti mencintai misalnya. Ketika pasangan kita sudah setengah abad bersama kita dan suatu saat ia bertanya, “Apakah kamu mencintai saya?”. Tentunya pertanyaan ini akan kembali melahirkan pertanyaan secara otomatis, seperti mungkin, “Mengapa kamu bertanya lagi? Apakah usahaku tidak cukup bagimu untuk percaya bahwa aku mencintai kamu? Aku kurang apa?”. 

Menulis ini, dalam keadaan sendirian di kamar hotel yang dingin membuatku sedikit sedih. Bukan karena aku sendirian, tapi karena aku seringkali bertanya demikian. Apakah pasanganku menyayangi aku? Kenapa? Apakah mama mencintai aku? Apakah papa juga? Sebutlah seluruh orang yang aku anggap penting, pasti ada waktu di mana pertanyaan itu harus tersembur keluar dari dalam diri.

Ini menarik buatku. Kehidupan antar manusia adalah laboratorium kecil yang sangat kaya. Tuhan mungkin sedang terkikik-kikik karena aku menyamakan dirinya dengan mahluk yang tidak ada apa-apanya dibanding dia. Maaf Tuhan, Engkau yang pernah menghembuskan kehidupan kepada kami harus puas dengan cara berpikir kami yang begini ini. Kami tidak mampu berpikir di luar kotak kami. Mungkin, akan ada orang yang bisa berpikir begitu lubernya dari kotak kemanusiaan kami, tapi bisa saja ia hanya ingin terlihat keren. Atau, bisa juga ia bergurau, jikapun iya, pastinya ia tidak betul-betul merasakannya, menikmatinya, atau percaya akan pikiran ia sendiri. 

Kami mengkoleksi bagian-bagian dari ingatan kami. Kadang kala ia jernih, kadangkala ia penuh daki dan bau. Apapun itu, cara pandang kami adalah hasil dari pergulatan sensasi dan persepsi kami terkait pengalaman-pengalaman kami yang berulang. Kami kira, sesuatu yang terjadi setelah peristiwa spesifik akan selalu sama, menjadi hubungan relasional, menjadi siklus. Seolah kami tuhannya. Seolah yang setelah A selalu B. Kami menciptakan realita itu dalam diri masing kami; menjadikannya semesta pribadi yang penuh oleh dengung-dengung kausal yang kami tuhankan. Kami menjadi tuhan-tuhan kecil yang sok tau dan kedodoran pikiran.

Dalam semesta kami ini Tuhan, terasa sesak dan sempit. Kami hobi menciptakan perang atas tebakan-tebakan peristiwa. Kami mengurangi ruang gerak kami. Entah apakah ini mau-Mu, atau memang ini hanyalah sebuah cara hidup yang dekat dengan naluri kami sebagai hewan. Tapi beberapa orang dari pergaulan kami yang didaulat menjadi orang penting (yang dipilih untuk dipercaya kata-katanya) ini adalah proses pembentukan identitas tersebut. Identitas itu lucu, Tuhan, katanya adalah sebuah pembeda antar satu manusia dengan yang lainnya. Pasti Engkau menahan tawa ya dari tadi. Ya, mungkin identitas ini memang alat pembeda kita, Tuhan. 

Ya, banyak berpikir membuat nyeri. Tapi, aku tiba-tiba kepikiran. Apakah identitas sebenarnya hadir karena bagaimana kita berinteraksi antar manusia? Maksudku, terlebih pada sistem ekonomi kita yang menuntut manusia dikotak-kotakan dalam identitas? Mana yang lebih dahulu muncul? Kotak atau manusia? Atau ini hanya alat yang digunakan segelintir orang untuk mematikan kepercayaan kami pada-Mu? Yang selalu menjadi pertanyaanku, realita muncul di atas, atau di bawah kasurkah? Atau ia hanya dongeng penghantar hidup yang dipaksakan kepada kami yang terlebih dahulu belum hidup. 

Sebagai seorang manusia, menjadi tuhan melelahkan. Bagaimana tidak, sudah capek-capek menentukan besok akan hujan, ternyata besoknya terik. Sudah capek-capek menentukan mau jatuh cinta sama yang seperti siapa, eh dapatnya siapa. Kita capek-capek menentukan perasaan orang lain hanya untuk tau bahwa realitanya berbeda dengan realita kita sebagai tuhan kecil. Jadi, yang mana yang lahir duluan? Realita atau kami, sebagai semesta kecil, lengkap dengan tuhan gadungan?

Jangan marah Tuhan, Ketika aku bertanya banyak hal, aku hanya ingin mendekatkan diri dengan-Mu. Kebanyakan waktu, aku hanya perlu waktu untuk mencerna realita yang saling sikut-menyikut di semestaku. Kadang keadaannya begitu parah hingga pekak telinga. Kadang aku terpaksa lepas dari jawaban-jawaban yang sudah tersedia, hanya untuk menjadi peneliti di laboratorium kecilku ini. Mempertanyakan-Mu adalah hobiku, sekaligus aktivitas yang paling aku benci. Bagaimana tidak? Bertanya kepada-Mu perlu keberanian, perlu kesabaran, perlu penyerahan diri. Hal yang sulit dilakukan, terlebih di dunia sempit kami yang membutuhkan kami menganut realita yang begitu cepatnya bergulir. 

Kami tidak punya realita, hanya rasanya saja punya. Dan seolah harus memilih antara berjalan di realita satu dibanding yang lainnya, aku harus betul-betul fokus. Fokus mencari-Mu.

Ini mungkin akan membangunkan gelegar tawa-Mu yang paling keras karena mungkin engkau selalu ada dekat denganku. Mungkin keadaanku ini akan Engkau sambut dengan air mata, berkat realitaku yang terlalu aku tuhankan ketika realita-Mu tidak pernah sama dengan milikku. Mungkin setelah ini Engkau akan mengajakku minum coklat panas, memilihkan bunga paling harum di belakang rumah-Mu, atau mungkin engkau akan memelukku, menciumi pipiku yang basah dengan air mata yang sekarang menyelipkan dirinya di antar bola mataku yang panas. Berharap percakapan kita bisa jadi awal aku berhadapan dengan realita-Mu. Dan tuhan kecil dalam diri ini bisa menanggalkan baju kebesarannya dan mempersilahkan-Mu masuk. 

Semoga. Aku akan sangat bahagia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts