“Hatiku tidak menaruh rasa apapun sebab aku telah dipenuhi oleh rasa kagum dan takjub.”
Aku berjalan membawa gerobak yang harus aku isi penuh beban sampah untuk memberi nafkah mereka yang menunggu aku dengan sayang di rumah. Terik memanasi kepala. Peluh keringat turun membasahi mata dan pipi. Rasanya ingin kuminum peluh itu sebagai penawar dahaga.
Akhir-akhir ini jalanan sepi, tak banyak suara klakson mewarnai pendengaranku. Udara yang aku hirup pun sekarang agaknya lebih segar dari biasanya. Dan aku, kehilangan mata pencahahariaku.
Rasanya lelah telah merasuk. Aku perlu sejenak untuk duduk menyenderkan tulang punggung yang sejatinya telah menjadi sarana aku mencari makan. Menyender, aku menghadap pada jalanan yang sepi dan bersih dari sampah yang bertebaran.
***
Ya Rabi, mengapa sahaya tidak mendapatkan tumpukan sampah lagi? Biasanya titah Rabi-lah yang menciptakan pekerjaan bagi sahaya untuk makan keluarga yang sangat mencintai sahaya. Kemana mereka sekarang, Rabi? Sahaya rindu mereka! Akankah mereka tetap memberikan sahaya lapangan pekerjaan sehingga sahaya dan keluarga bisa kenyang?
Ahh, Rabi jelas menciptakan titah yang sungguh sempurna. Rabi ciptakan titah memiliki akal-budi, hati nurani, dan kebebasan. Tapi, Rabi, mengapa titah Rabi tidak diciptakan memiliki rasa sopan? Tadi, sahaya yang berjalan membawa gerobak ini, masa iya, diserempet titah Rabi dan sahaya dikatai “Asu we, pak! Ne nggowo gerobak ati-ati! Untung aku ra tibo.”
Sahaya hanya bisa berkata, “Maaf beribu-ribu maaf, ini karena kebodohan saya.”
Rabi, apakah Rabi lupa memberikan sopan pada titah Rabi? Rasanya sahaya dan titah Rabi tidak ada bedanya. Sahaya memiliki mata, titah Rabi juga. Sahaya bisa merasa, melihat, bernafas, dan berpikir. Titah Rabi pula. Sahaya diberi nafas tiap awal hari, begitu pula dengan titah Rabi. Tapi, mengapa titah Rabi bisa mengumpat kepada sahaya? Apakah sahaya salah jika sahaya memberi makan keluarga dengan cara menarik gerobak sampah seperti ini?
Lagi pula titah Rabi yang berakal luhur dan mulia itupun lupa memandang sahaya dan teman-teman. Titah Rabi mengharapkan banyak pujian yang menghasilkan uang untuk membahagiakan keluarganya. Namun, sahaya dan teman-teman juga mendapat cipratannya kok, Rabi. Dari apa yang mereka hempaskan ke tempat di mana tertera kata “terakhir” makan, di situ adalah awal bagi sahaya dan teman-teman untuk memberi makan keluarga.”
***
Suara ambulance membangunkan lamunanku dalam memandang bersihnya jalanan yang seharusnya pada hari ini ramai dengan orang-orang berakal memperjuangkan sesama manusia yang bekerja. Agaknya hari sudah menjemput senja. Aku telah terlalu lama duduk di depan pasar yang sudah sepi. Aku harus lekas kembali ke rumah melihat senyum bahagia yang sedang menanti kedatanganku.
Aku berjalan ke selatan. Pelan-pelan. Hari mulai gelap, mega jingga dan cahaya jalanan menuntun langkahku. Tiba-tiba, tidak tahu, entah apa, siapa itu. Orang dengan baju seragam menyuruhku menepi di depan toko gorden. Di situ, aku hati-hati rapatkan gerobak kucelku di dekat Pajero putih yang masih terparkir di depan toko gorden.
“Pak, ada berapa anggota keluarga?”
“4 orang, Pak” jawabku.
“Oyaa, Pak. Ini ada sembako. Barangkali cukup untuk sebulan membantu menopang ekonomi keluarga bapak. Ini isinya sembako beneran, Pak. Coba dibuka dulu, ada uang tunai dan sembako.”
Aku lemas saat membuka dan melihat isi kardus bertuliskan sama seperti seragam itu. Rasanya Rabi benar-benar hadir bagi saya.
“Kita foto sama-sama ya, Pak. Tolong kardusnya tetap dibuka sama dipegang.” Cekrek cekrek cekrek. Dan tiba-tiba, kilat menyambar keherananku. Cekrek cekrek cekrek. Mataku mendadak melihat kunang-kunang dan keherananku masih berterbangan di kepalaku.
Kutundukkan badan kepada mereka sambil mengucap beribu terima kasih. Kemudian aku lanjutkan menyusuri jalan ke arah timur sambil mencari remah-remah nafkahku. Jalanan memang sepi, namun masih ada remahan sampah untuk kukumpulkan. Bangunan yang gemerlap mengiringi perjalananku pulang.
Sering kulihat keramaian di gedung itu, tapi sekarang sepi sekali. Biasanya aku mengambil sampah di trotoarnya. Lihatlah, Rabi, titah-Mu memberiku rezeki, kan?
Kulihat ramai anak muda berpasangan, sangat mesra. Dan biasanya penglihatanku itu yang membuatku ingin segera pulang. Ahh, rindu aku pada keluargaku.
Setelah dua persimpangan yang ramai kulewati, aku turun ke kali. Ya, rumahku. Tempat aku bahagia bersama keluargaku.
“BAPAK!” Teriak dua anakku yang masih krucil.
“Ngaso rumiyin, Pak. Bibar ngaso dhahar sareng” ucap sang penawar letihku.
Kuambil kardus tadi. Agaknya kotor karena kutaruh di gerobak kucelku, tapi tak akan mengubah isinya.
“Dhuh Gusti, matur suwun” teriak ibu dari dua anakku sehingga dua krucil ini ikut melihat, penasaran.
Setelah semua ragaku besih, kami makan bersama dengan lauk yang kami sukai. Sambal terasi, terong, dan tempe. Kulihat dua anakku makan dengan lahap sampai tak ada nasi sebutirpun yang tersisa. Aku dan istriku tatap-menatap bahagia.
Setelah nikmat memberi kepuasan terhadap raga kami, kami mengucap syukur bersama. Anakku yang kedua merengek ingin berdoa meskipun bahasanya belepotan.
“Ya Bapa, telima kacih atas makan yang telah kami telima. Telima cacih kalena ada oyang yang membeli bapak makanan dan uang yang banyak cekali. Cemoga meleka bahagia, ya Bapa. Tak lupa kami beldoa untuk meleka yang macih keculitan mencali makan. Kilanya mereka tetap kuat dan mau belucaha teyus. Doa yang jauh dayi cempulna ini, kiyanya Engkau kabulkan, ya Bapa.”
“Amin.” Kami bertiga serempak.
Aku keluar menghirup angin malam dan istriku menyusul setelah meninabobokan dua krucil-ku. Kami duduk berdua di bataran kali. Anginnya cukup besar, tapi menyegarkan badan.
“Bu, bapak heran seharian ini. Di jalan, bapak dipisuhi gara-gara katanya nggak ati-ati ne bawa gerobak. Trus, bapak dapat bantuan di kardus tadi. Mereka to, Bu, pake seragam. Trus, bapak gak tahu apa-apa, disuruh buka biar buktiin kalau itu isinya sembako beneran. Habis itu, bapak diajak foto-foto. Ada yang pake hape, terus ada yang moto pake alat moto tapi ada kilat e. Mataku njuk kunang-kunang to, Bu.” Istriku tertawa memperhatikan logat dan cara bicaraku.
“Bu, mengapa kita ini ya? Hidup susah, jauh dari merasakan perkembangan dunia, dan yaa gini-gini aja. Padahal kerja wes mempeng. Kurange dewe opo yo, Bu?”
Istriku menunjukkan lesung pipi manisnya dan berkata, “Pak, kita sudah sering beryukur ke Gusti. Kita yang hidup gini-gini aja, masih bisa makanin anak-anak dari hasil Bapak mulung. Syukur banget lho, Pak. Cuma, aku agak gak terima ke Gusti. Gusti nitahke manusia yang luhur seluruhnya. Nyatanya, Bapak dapet kardus yang isinya banyak uang dari orang-orang berseragam itu. Tapi, pas aku denger Bapak diajak foto-foto, agaknya aku mikir, Pak. Ahh, sebenernya akan lebih mulia kan, kalau orang tadi memberi tanpa pakai embel-embel. Karena yang aku pernah baca nih, di Kitab, ada tulisan tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Aku lupa dari mana sumbernya, Pak. Niat mereka itu mulia banget ya, Pak. Tapi, kasihan juga mereka jadi korban dalam mengejar popularitas duniawi. Habis Bapak dikasih kerdus, langsung diajak foto-foto. Sebenere bukan Bapak yang mau difoto, tapi isi kerduse, Pak. Hahahah” tawa istriku meledek. “Mereka mau nunjukin ke orang kalau mereka udah nyumbang kepada kaum seperti kita ini, Pak. Tapi, ada maksud yang ada di belakang kebaikannya. Popularitas.”
“Bener kata-katamu, Bu. Kita ni kayak debu sakjane. Debu gak pernah ditemuin begitu aja mergo lembut banget. Tapi, ne disapu, debu itu njuk muncul. Kita hidup di tengah-tengah dua warna, Bu, yang kadang ada dan kadang tiada. Kelabu. Kalau kita gak disapu mereka-mereka yang mau unjuk gigi, kita bisa-bisa mati kelaparan di tengah acara sing lagi mendunia saiki. Bapak ki cuma jalan terus. Terus cari jalan pie carane kalian bisa makan. Bapak jalan ki sebenere gak ada yang merhatiin, kecuali mereka yang dititahke Gusti punya rejeki dan hati nurani yang peka. Inilah tanah kelabu, Bu. Mereka yang mau menyapu, mereka yang mendapatkan kaum seperti kita ini. Berarti mereka juga harus turun tangan untuk menyapu sehingga bisa mendapati kita, debu ini. Jujur ya, Bu, bebih baik kita hidup jangan mikir yang engga-engga. Kepada mereka yang banyak membatu hatiku tidak menaruh rasa apapun sebab aku telah dipenuhi oleh rasa kagum dan takjub.”
Malam semakin larut. Istriku membawa aku masuk ke rumah untuk melewati malam ini. Aku duduk, memejamkan mata, dan berdoa. Di akhir doaku, kusebutkan, “Debu di tanah kelabu.” Ucapku dalam hati.
Editor: Endy Langobelen