Aku menginduk pada ketenaran jeprat jepret viralitas. Pemuja dan penghina tak ubahnya sekelompok manusia yang berbeda caranya untuk menghamba padaku. Menjadi seorang model produk kecantikan adalah sebuah lakon yang memberi alas dan atap berbintang 3,4, bahkan 5. Gelimang pernak pernik kecantikan dan harta, tak ubahnya bagiku menjadi gelimang kepastian di masa depan.
Dari seorang Julia gadis desa, aku menjadi Jelita sang ratu kecantikan di metropolitan. Dari seorang yang terkungkung dalam lumpur kemiskinan, aku menjadi arsitek kekayaan di atas takhta bangunan elite metropolitan.
Pertengahan tahun kelima, aku terhenyak pada sebuah sindiran keras di postingan akun Instagramku:
“Skincare memang membuatmu glowing, tapi tak mengubah DNA-mu dan anak-anakmu jadi glowing. Kalo memang dasarnya burik ya keluarnya tetep burik. Kamu ya tetap Julia, seorang gadis berasal dari desa, ndeso, katrok.”
Sindiran keras ini membuatku harus bolak-balik ke psikiater. Baru kali ini aku depresif; berusaha bersikap defensif yang tak ayal justru membuat diriku terbombardir banyak imaji ilusif dan halusinasi. Siapakah aku sebenarnya?
Masihkah aku Julia, gadis desa? Aku sudah di metropolitan; bukankah aku telah menjadi Jelita? Bukankah aku kaya raya? Bukankah aku cantik mempesona?
Sungguhkah aku Jelita, ratu metropolitan, yang sudah menanjak viral dan sejahtera dengan bermodal wajah dan make-up glowing nan didamba banyak kalangan? Belum lagi sudah ku-implan dadaku ini agar memberontak teriak menagih kemolekan?
Bila aku telah mendapatkan semua kebahagiaan itu, lantas ada apa dengan diriku yang runtuh hanya karena sindiran?
Siapa yang sebenarnya menjadi ilusi? Julia atau Jelita? Bahagia yang mana yang ilusif Ataukah sindiran itu hanya ilusi, sebuah kesyirikan meski ada kebenaran di dalamnya bahwa sekali burik, tetap nurun ke anak-anaknya?
Kata psikiater, “Kamu terlampau khawatir kehilangan kebahagiaanmu dan berupaya menjaganya. Kebahagiaanmu tak pernah hilang, hanya tertutupi penyangkalan. Kamu sendirilah kebahagiaan itu.”
Iya… akulah kebahagiaan, tapi aku yang mana? Julia atau Jelita? Burik atau glowing? Siapa yang aku sangkal sebenarnya?
Malam itu, aku mencuci wajah, membiarkan make-up luntur terhanyut ke dalam wastafel. Sejenak aku memandang cermin di depanku, kamu siapa? Julia atau Jelita? Sebuah dengung dalam pikiran muncul, “Berhentilah sejenak berkelana mencari-cari, berhentilah
sejenak simpang siur tanyamu; aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Berhenti menyangkal; lihat dan terimalah: inilah aku, yang ada padamu. Kenangkanlah aku dalam bahagiamu.”
Aku mengusap kegusaran pikiranku dengan melihat lekat ke dalam cermin: akulah Julia nan Jelita, gadis desa yang telah hidup sejahtera di metropolitan. Ya, aku gadis desa yang juga telah menjadi kembang metropolitan. Akulah Julia yang berkulit lumpur cokelat yang telah menjdi kanvas kecantikan. Julia ada di dalam Jelita dan Jelita ada di dalam Julia.
Skincare dan segala macam pernak-pernik tak mengubah Julia, masa lalu, saat ini, dan masa depanku nanti. Tapi, akulah Julia yang kini cantik Jelita, yang bahagia dan cantik karena usaha dan bukan karena warisan dari sono-nya. Aku adalah kebahagiaanku sendiri, dibangun atas hasrat dan usahaku sendiri, tanpa mengemis mengais pada takdir ataupun warisan. Ya, akulah Julia nan Jelita yang berbahagia, yang juga akan mendarah-dagingkan Julia nan Jelita pada anak-anakku, agar mereka tahu bahwa untuk menemukan kebahagiaan sejati adalah karena usaha sendiri; usaha melukiskan takdir mereka sendiri; usaha
merias diri mereka sendiri; dari kulit lumpur cokelat yang dijadikan kanvas kebahagiaan.
Terima kasih atas sindirannya. Meski kamu penghina, tapi aku yakin kamu sama saja dengan pemujaku: menghamba pada diriku, hanya saja caramu berbeda: selalu membuat penyangkalan bahwa dirimu hanya perlu bercermin dahulu untuk menemukan bahagiamu sendiri.
Salam kecup manjaku, Julia nan Jelita.
Editor: Arlingga Hari Nugroho