Cerita Peninggalan | Cerita Pendek Ramli Lahaping

Pada akhirnya, kabar duka datang kepadaku tanpa aba-aba. Kasman, penulis panutanku yang telah menerbitkan banyak cerpen dan beberapa novel, yang telah kuanggap sebagai guru bagiku, tertabrak mobil saat tengah menyeberangi jalan raya. Jiwanya melayang seketika, menuju ke dalam dimensi kehidupan yang lain, bersama daya imajinasinya yang senantiasa menghasilkan karya yang membuatku terkesima.

Aku sungguh merasa kehilangan atas kematiannya. Aku tak mungkin lagi menemukan dan membaca tulisan-tulisan barunya. Tak akan ada lagi cerpen hasil karyanya pada halaman koran atau laman internet. Karya-karyanya telah rampung hanya sepanjang napas hidupnya, untuk menjadi warisan yang akan senantiasa kubaca ulang tanpa rasa bosan.

Atas kekagumanku kepadanya, sekian lama, aku telah berusaha untuk menjadi pewaris imajinasinya. Aku terus belajar meniru kepiawaiannya dalam merangkai cerita yang menyenangkan. Aku membaca cerpen-cerpennya, lalu berusaha meniru gaya bahasanya dan teknik pengalurannya. Tetapi akhirnya, aku tak bisa juga menjadi seperti dirinya, apalagi menandinginya.

Lagi-lagi, aku hanya berakhir sebagai penulis karatan yang memprihatinkan. Karya-karyaku hanyalah goresan tidak rampung yang menumpuk di dalam laptopku, atau tamat dengan buruk dan membusuk di dalam kotak masuk alamat surel media massa. Aku tak pernah sekali pun berhasil mencatatkan namaku di rubrik sastra, entah di media cetak ataupun media elektronik.

Akhirnya, atas kemandulanku sebagai penulis, aku merasa gagal sebagai seorang lelaki bergelar sarjana sastra. Sepanjang waktu, aku hanya terus mengagumi karya orang lain, tanpa bisa menghasilkan karya yang prestisius. Sampai akhirnya, aku tak mengharapkan apa-apa lagi dari dunia tulis-menulis. Tidak ketenaran, apalagi kemapanan materi.

Demi bertahan di tengah kehidupan kota yang keras, sekian lama aku pasrah untuk tinggal di kamar kos-kosanku yang sederhana, dan menyambung hidup dengan menjadi seorang pemulung. Aku menjadi tuan untuk diriku sendiri dengan penghasilan seadanya, setelah berulang kali lamaran kerjaku tertolak untuk menjadi hamba demi kemapanan. Aku terus berlajar menerima keadaan dan menyelami hikmah kehidupanku, agar aku tetap merasa bersyukur.

Tetapi jauh sebelum kematian Kasman, pekerjaan memulung pulalah yang kemudian menghubungkanku dengannya. Setelah sekian lama aku membaca dan menyenangi cerpen-cerpennya pada beberapa berkas koran pulunganku, pada satu hari, aku pun menandainya kala ia menyerahkan botol-botol plastiknya kepadaku. Seketika, dengan perasaan senang, aku memperkenalkan diri sebagai penggemarnya, dan ia membalasku dengan hangat.

Sejak saat itu, aku senantiasa bertandang ke rumahnya di tengah aktivitas memulungku. Ia pun senantiasa memberikan barang-barang bekasnya kepadaku. Tidak hanya benda berbahan plastik, tetapi juga benda berbahan logam. Bahkan tidak jarang pula ia memberikan berkas-berkas kertas bekasnya kepadaku, yang kemudian aku pilah untuk mendapatkan bahan bacaan yang baik.

Akhirnya, aku akrab dengannya dalam waktu yang cepat. Itu karena ia adalah seseorang yang ramah dan terbuka. Ia tak segan-segan bercerita kepadaku perihal urusan pribadinya. Apalagi, ia memang adalah seorang duda yang tampak kesepian di dalam rumahnya seorang diri, setelah istinya menghilang begitu saja, tanpa jejak, sebagaimana cerita yang kudengar dari para tetangganya, yang enggan kukorek darinya secara langsung.

Hingga akhirnya, di tengah keakraban kami yang tak lagi bersekat atas kecintaan kami pada dunia kesusastraan, pada satu hari, ia pun mengajakku masuk ke dalam rumahnya, sembari menawari kalau-kalau aku tertarik untuk meminjam buku dari koleksi perpustakaan pribadinya. 

“Kenapa Kakak tertarik dengan dunia fiksi?” Tanyaku kemudian, dengan sapaan sebagaimana aku biasa menyapanya, sembari melayangkan pandangan pada jejeran buku-bukunya.

Ia lantas mendengkus mendengar pertanyaanku, seolah kebingungan membaca dirinya sendiri. “Entahlah. Mungkin karena aku merasa bahwa kehidupan nyata penuh dengan kecacatan, dan itu bisa menjadi sempurna di dalam dunia fiksi.”

Aku jadi makin penasaran atas pendapatnya. “Apakah karena pandangan itu juga, Kakak menjadi seorang penulis, agar Kakak bisa membangun dunia ideal Kakak sendiri?”

Ia pun mengangguk pelan. “Ya. Kurasa begitu,” balasnya, kemudian menolehku sekilas,”Kukira, kecacatan di dalam kehidupan nyata terjadi karena kita hidup di dalam rahasia takdir yang membuat kita terus menemukan peristiwa-peristiwa acak yang tak terduga dan sulit dimengerti. Dengan menulis, kita bisa membuat versi yang indah dan masuk akal tentang kehidupan kita, sesuai dengan keinginan kita sendiri.”

Seketika pula, aku terkagum atas pandangannya. Aku lantas kembali bertanya, seolah aku adalah seorang murid untuk seorang guru yang ahli, “Lalu, bagaimana Kakak meramu kenyataan hidup yang cacat itu menjadi sebuah cerita fiksi yang menarik?”

“Ya, mudah saja. Cerita fiksi kan hanya kenyataan hidup yang diolah dan dipoles sedemikian rupa,” jawabnya, lantas memperbaiki posisi duduknya, kemudian melanjutkan tuturannya dengan raut serius, “Jadi, karena kita dijejali dengan banyak peristiwa yang tidak berkesinambungan, yang perlu kita lakukan sebagai penulis fiksi adalah menemukan dan menyusun potongan-potongan peristiwa yang saling berhubungan sampai pada akhir yang kita inginkan, yang tentu untuk menyenangkan para pembaca. Lalu, pada bagian kisah peristiwa yang patah atau kurang pas, di situlah daya imajinasi kita bekerja, untuk menciptakan atau melengkapinya dengan peristiwa-peristiwa rekaan yang logis.”

Aku pun mengangguk-angguk, dan mulai memahami pola fiksinya. “Apakah kini Kakak merasa bahagia menjadi seorang penulis yang terkenal?”

Setelah tampak merenung sejenak, ia pun menggeleng. “Sebagai penulis fiksi, aku merasa hidup di dalam kehidupan yang semu. Aku harus memendam kenyataan hidupku sendiri, kemudian mereka-reka kehidupan untuk menyenangkan orang lain.”

Ia lalu memandangiku dengan tatapan sayu. “Aku merasa terkutuk dan terperangkap di dalam dunia rekaanku sendiri. Aku merasa tidak bisa, dan tidak akan pernah lagi menjadi diriku yang sebenarnya.”  

Aku mendengkus dan tersenyum saja mendengar pengakuannya. Aku tidak terlalu paham maksudnya, sehingga aku jadi bungung untuk menanggapinya. Sampai akhirnya, aku menandaskan pertanyaanku dengan meminta saran kepadanya, “Apa yang harus kulakukan agar aku bisa menjadi penulis fiksi yang andal seperti Kakak?”

Ia lantas menghela dan mengembuskan napas yang panjang.

Kemudian berpendapat, “Kau hanya perlu bersahabat dan menerima kenyataan hidupmu. Anggaplah semua masalahmu, entah kesengsaraan atau kesenangan, sebagai inspirasi dan motivasi untuk menghasilkan karya fiksi,” ucapnya dengan raut tenang.

“Tetapi seperti yang sudah kukatakan kepadamu, kalau kau ingin menjadi penulis fiksi yang unggul, kau harus bersedia untuk terasing dari hidupmu sendiri. Kau harus sanggup menyembunyikan atau menyamarkan kenyataan hidupmu di dalam cerita rekaanmu sendiri.”

Aku pun mengangguk-angguk saja untuk mengisyaratkan bahwa aku telah memahami pelajaran dan pesan-pesannya.

Setelah percakapan kami itu, aku kembali dan terus berjuang untuk menuliskan cerita fiksi yang baik, sebagaimana sarannya. Aku kemudian mengirimkan karya-karyaku kepada sejumlah media massa dengan penuh percaya diri. Tetapi akhirnya, aku hanya mendapatkan kenyataan pahit, sebab tak satu pun cerpen-cerpenku yang mampu menggugah selera para redaktur sastra.

Sampai setelah kematiannya, aku masih sebagai penulis gagal yang bertahan hidup dari hasil memulung. Aku tak juga mendapatkan apa-apa dari aktivitas menulisku. Bahkan tak ada yang membaca tulisan-tulisanku, karena tak satu pun media yang sudi menayangkannya. Hingga akhirnya, aku berusaha untuk menerima kenyataan bahwa aku memang tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang penulis.

Tetapi pada satu hari sepeninggalnya, jalan pintas menuju kesuksesan kemudian terbentang di depanku. Ketika aku berkunjung ke rumahnya, aku akhirnya mendapati berkas-berkas kertas sedang tertumpuk di halaman depannya. Aku lantas permisi pada seseorang pesuruh yang tengah membenahi isi rumahnya atas perintah saudaranya, kemudian mengangkut semua barang-barang bekas tersebut. 

Sesampainya di kos-kosanku, seperti biasa, aku pun memeriksa halaman-halaman kertas itu. Aku mencari-cari tulisan peninggalannya yang mungkin menyenangkan dan penting untuk kubaca. Hingga akhirnya, aku menemukan sebundel kertas berisi rangkaian cerita yang seketika membuatku terkesima. Sebuah cerita panjang yang dramatis dengan sudut pandang orang pertama.

Setelah mengamati berkas itu baik-baik, aku pun meyakini bahwa cerita tersebut adalah karyanya yang belum pernah diterbitkan. Aku lantas menimbang-nimbang dengan matang, hingga aku memutuskan untuk memanfaatkannya demi kesuksesanku. Tanpa peduli lagi pada etika dan moral di dalam dunia penulisan, aku lalu mengirimkannya ke sebuah media cetak, dan mengakuinya sebagai karyaku sendiri.

Mula-mula, aku mengirimkan bagian pertama cerita panjang tersebut. Sepenggal cerita tentang si tokoh utama yang merupakan seorang penulis, yang jatuh hati pada seorang wanita yang senantiasa mencela tulisan fiksinya. Hingga akhirnya, sebagaimana yang telah kuduga, tak cukup seminggu, bagian cerita itu dimuat di sebuah koran ternama yang kusasar. Bahkan pihak koran tersebut kemudian menyampaikan ketertarikannya untuk memuat kelanjutan cerita itu.

Akhirnya, pada hari-hari selanjutnya, aku pun terus mengangsur penggalan cerita itu, yang perlahan-lahan mendulang perhatian publik: tentang si tokoh utama yang berjuang menjadi penulis sukses demi menaklukkan pujaan hatinya; lalu tentang si tokoh utama yang terkenal dan mapan sebagai penulis ternama yang kemudian berhasil menikahi sang pujaan; lalu tentang si tokoh utama yang perlahan kehilangan popularitas sehingga pendapatan ekonominya menurun; lalu tentang sang istri yang kemudian berselingkuh dengan seorang penulis lain yang lebih terkenal dan kaya raya; lalu tentang si tokoh utama yang akhirnya membunuh istrinya karena terbakar cemburu atas harga dirinya sebagai suami; lalu tentang si tokoh utama yang kemudian mengubur jasad istrinya di sebuah kaki gunung yang sepi; lalu tentang si tokoh utama yang berjuang tetapi belum juga bisa mengalahkan kesuksesan penulis selingkuhan istrinya;  lalu tentang si rokoh utama yang kemudian memilih bunuh diri atas kekalutan hidupnya dengan menabrakkan dirinya pada sebuah mobil di jalan raya.

Seiring dengan pemuatan penggalan cerita panjang tersebut, namaku pun terus tersiar. Perlahan-lahan, aku makin terkenal sebagai penulis yang hebat dan berbakat. Terlebih setelah cerita itu dibukukan dan terjual laris di seluruh penjuru negeri. Maka tak pelak lagi, aku berhasil mendapatkan ketenaran dan kekayaan dalam waktu yang singkat. Bahkan pencapaian itu lebih dari yang kuimpi-impikan sebelumnya.

Hari demi hari, aku pun menikmati kehidupan yang menyenangkan. Aku merasa tak perlu mengkhawatirkan apa-apa atas popularitasku. Bagaimanapun, Kasman telah meninggal, dan tak akan ada yang tahu perihal siapa sesungguhnya penulis di balik cerita panjang itu. 

Hingga akhirnya, di tengah kegandrungan orang-orang atas cerita itu, tiga orang personel polisi kemudian datang ke rumah baruku.

“Ada apa, Pak?” Tanyaku, penasaran.

Dua orang personel kemudian lekas memborgol tanganku.

Aku pun terkejut dan heran. “Apa yang terjadi? Apa salahku?”

Seorang personel kemudian menerangkan, “Bapak disangka telah melakukan pembunuhan terhadap seorang perempuan.”

Sontak, aku jadi tak habis pikir. “Tidak mungkin. Bagaimana bisa aku dituduh melakukan pembunuhan?”

Sang polisi pun menjelaskan, “Seorang pembaca buku Bapak telah terobsesi dan menelusuri kisah yang Bapak tuliskan, dan ia menemukan jasad seorang wanita terkubur di kaki gunung, dengan cici-ciri dan tanda-tanda yang persis seperti apa yang Bapak tuliskan.”

Seketika, perasaanku tersentak setengah mati. “Tetapi, Pak…” Aku tiba-tiba kelabakan meramu balasan yang tepat.

“Sudah. Bapak ikut kami ke kantor. Nanti Bapak terangkan di sana,” timpal sang polisi dengan nada tegas.

Aku pun digiring dengan pikiran yang kacau perihal bagaimana aku akan menyanggah dan menyangkal kenyataan itu.

 

Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi: pxhere.com/id/photo/1042647

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts