Magelang
Sabtu, 18 Desember 2021
Ira yang baik, tahukah kamu bahwa kutulis ini ketika seorang lelaki paruh baya sibuk memilih antara ayam goreng atau semur jengkol di etalase warung tempatku duduk saat ini? Antara nafsu atau uang di saku yang masih saja beradu, menentukan siapa yang harusnya diperhatikan lebih dulu.
Di Jalan Pemuda ini, bis-bis antar kota melesat cepat. Barangkali di dalamnya ada penumpang; seorang kekasih yang harus segera melepas rindu. Sebab jarak bukan hanya ada di puisi, tapi juga di peta, dan itu nyata. Ada juga truk pengangkut pasir yang meskipun lambat tapi lihat, di belakangnya asap hitam mengepul. Seakan memberitakan bahwa mereka juga ingin segera sampai. Susah payah biar cicilan segera lunas selesai.
Ira yang baik, semoga kamu masih ingat, akhir semester pertama di pertengahan empat tahun lalu. Itu saat pertama kali kuberanikan untuk memperkenalkan kembali diriku. Iya, kembali. Sebab kita pernah saling bertemu pandang sejak jauh sebelum itu. Mungkin ingatan kita kabur atau bahkan tak ingat sama sekali. Bisa jadi kita pernah saling ejek nama bapak waktu kecil. Atau hal lain yang kita lakukan semasa di taman kanak, mungkin juga di tingkat sekolah dasar. Jika kamu lebih ingat dari aku, jangan sungkan ceritakan itu. Kusediakan sepenuhnya perhatianku.
Setelah perkenalan itu, kita jadi sering bertukar pesan di telepon pintar. Bicara panjang lebar meski ringan; diingatkannya aku untuk sembahyang, juga entah yang lainnya. Lalu kita bertemu sepulang kamu bekerja. Sedang aku dengan celana jins lusuh dan robek, berbekal nama ibu yang juga dulu pernah jadi gurumu. Di situasi itu, aku sedang tak pandai meski bisa kita anggap itu adalah awal kita bertemu.
“Langsung dari Jogja?” Katamu.
“Iya.”
“Pakai celana pendek begitu?”
“Iya. Kan dekat.”
Lalu kamu tertawa melihat penampilanku, juga rambutku.
“Kita mau kemana?”
“Aku juga tidak tahu. Kan kamu yang ajak ketemu.”
“Ya sudah, kita duduk sini saja.”
Di bangku panjang di alun-alun kota, kita lihat anak-anak kecil berlarian mengejar gelembung beterbangan. Juga sepasang remaja yang asik jajan bakso tusuk. Sedang kita malu-malu, memberi jarak saat kita duduk.
Ira yang baik, aku masih di sini. Bersama lelaki yang akhirnya memilih semur jengkol sebab uang di saku yang menipis.
“Perjalanan masih begitu panjang, Mas. Tak bijak bila dihabiskan di satu tempat, sedang di tempat lain segalanya masih jadi misteri.” Katanya.
Di sini, langit tiba-tiba kelabu.
Ira yang baik, panjang pula jalan yang telah kita lalui menuju besok di hari Rabu, saat hajat kita akhirnya akan segera jadi satu. Kata orang, Rabu adalah hari raya rindu. Semoga benar demikian adanya. Sebab dulu, kita sering saling lempar nada tinggi hingga pecah tangis untuk mengakhiri. Tapi tak apa, tak usah malu. Banyak pula yang begitu. Berdoa saja, semoga kelak tak ada lagi tangis yang tak perlu.
“Sudah yakin?”
“Yakin betulan?”
“Sudah siap, kan?”
Ada banyak pertanyaan-pertanyaan serupa yang keluar dari mulut teman-teman kita. Lalu kita mesti jawab yang bagaimana? Sampai benar-benar yakin? Sampai benar-benar siap? Sedang di luar sana, dunia kadang cukup kejam pada kita. Dan kita pernah saling menatap mata, bicara tapi tak sepatah kata yang terucap. Lalu di lain hari kita tahu sama tahu.
“Yakin.” Ucapmu.
“Siap.” Timpalku.
Keyakinan dan kesiapan yang orang-orang di luar sana tak perlu tahu. Hal yang masih harus tumbuh dan berkembang. Seperti tanaman di depan rumah kita kelak yang mesti diberi pupuk, disiram, dan kadang diajak bicara.
Ira yang baik, barangkali kelak banyak kerikil di jalan yang hendak kita lalui. Tapi mari tetap kita jalani. Atau batu besar yang mesti kita pindah pelan-pelan. Tapi mari bersama-sama.
“Gasnya habis, Mas.”
“Tak apa, kita masih punya cukup uang. Cuma di luar sedang hujan.”
Atau, “Kita mesti beli susu.”
“Baik. Tapi yang ukuran kecil dulu, ya?”
Gerimis sudah datang. Jatuh di sela-sela pohon rindang yang ditanam Pemda dan di batangnya ada cat tiga warna.
Ira yang baik, kamu itu cantik. Meski saat ini sedang ada jerawat di mukamu. Tapi itu jelas tak penting. Tak perlu ragu, tak perlu malu. Bukankah menjadi baik jauh lebih baik ketimbang hanya sekadar cantik?
Ira yang baik, mari kita amini. Kelak kita akan punya rumah sendiri seperti yang selalu kita ingini. Dengan tetangga yang baik hati. Rumah kita tak perlu luas, sebab kita sama-sama takut sepi. Kita juga akan punya mobil pribadi. Tak perlu yang bisa melesat cepat, sebab takutnya banyak hal kecil yang jadi terlewat. Kita juga akan bisa belanja tanpa takut berapa banyak di dompet yang tersisa. Doa yang lain, mari kita susun dan wujudkan satu-satu. Tak perlu terburu-buru, yang penting bahagia.
“Mas, teh apa kopi?”
“Tak usah, biar aku saja yang buat. Kamu duduk saja di sini.” Lalu kubuatkan kamu secangkir teh, sedang aku kopi. Kita duduk di teras sambil melihat mendung yang pelan-pelan jadi hujan. Lalu lirih kudengar kamu bersenandung, untuk anak kita yang sedang kamu kandung.
Ira yang baik, mari kita jalani ini dengan baik. Kita besarkan anak-anak kita dengan sebaik-baiknya. Bersama-sama. Ini bukan tuntutan tapi seporsi doa. Sebagaimana doa yang kuucap lirih dalam hati;
Wahai Tuhan yang maha mencintai, satukanlah kami hingga di tempat yang hanya ada abadi.
Gilang Alamsyah
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Christina Audrey