Kawanan burung sriti terbang dan berkicau di sepasang lorong kaki Jembatan Gedhe, Kecamatan Boyolali, Jawa Tengah. Setiap lorong kaki jembatan dialiri sungai kecil dari sela-sela bebatuan di depan Taman Kali Gedhe. Pada salah satu sisi Taman Kali Gedhe, terdapat lukisan dinding (mural) bertuliskan “Kali Nadi Kota Kami”. Boyolali tidak hanya hidup dalam bayangan lanskap pegunungan. Kota yang memiliki julukan New Zealand van Java ini juga punya ekosistem kali (sungai) yang dekat dengan masyarakat. Kali-kali ini melintas dalam tata ruang kota hingga pedesaan. Sebelum pandemi, perayaan hari jadi Kabupaten Boyolali kerap digelar di Taman Kali Gedhe dengan acara Niti Tilas Ki Ageng Pandan Arang. Masyarakat setempat percaya, asal usul nama Boyolali tercetus ketika Ki Ageng Pandan Arang beristirahat di sebuah batu besar yang ada di tengah kali. Saat itu, ia menunggu istri dan anaknya dalam suatu perjalanan menuju Gunung Jabalakat, Tembayat (Klaten). Selanjutnya, nilai historis itu menjadikan ekosistem kali menjadi relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Boyolali, tak terkecuali anak-anaknya. “[Ketika] kecil kami petualangannya di kali. Hunting bersama teman-teman pakai sepeda. Lalu pernah ketemu mata air,” ucap Adi ketika mengenang masa kecilnya. Adi merupakan seorang seniman asal Boyolali yang sempat menempuh studi desain interior di ISI Surakarta. Setelah sempat belajar dan bekerja di luar kota, Adi memilih untuk pulang dan menjawil beberapa teman di kota kelahirannya. Adi bersama teman-temannya; Rudy, Parcil, Radit, Galing, Dodo, dan lainnya, melakukan pembacaan ulang atas ruang berkehidupan bersama, salah satunya adalah Taman Kali Gedhe.

Bertahan Hidup di Kota Sendiri
Konsekuensi menjadi warga kota yang berada di antara kota-kota besar di sekitarnya adalah godaan hijrah ke luar kota. Keinginan menempuh pendidikan dan pekerjaan di kota besar menjadi salah dua alasan orang-orang untuk meninggalkan kota Boyolali. Setidaknya hal serupa pernah dialami oleh Adi dan Radit. Larut berkegiatan di kota lain, terkadang menimbulkan kesan terasing dalam diri ketika pulang kembali ke kota asal. Radit mengakui, memilih kota Jogja sebagai ruang singgah menempuh bangku kuliah, justru kerap kali mengasingkan dirinya dengan rumah di kampung halaman. “Ketika temen-temenku pingin main ke Boyolali, kadang aku suka bingung mau ajak main ke mana,” ujar Radit dalam bahasa Jawa. Bila musim libur tiba, Radit sering kali resah mencari ruang yang ramah bagi siapapun. Sebagai seorang pemuda asli Boyolali, keinginannya menciptakan ruang bersama tak jauh berbeda dengan kawan-kawannya. Jauh sebelum Radit, Adi justru telah lebih dulu merasa hal yang serupa. Sebagai lelaki yang memiliki umur lebih matang di atas Radit, kekhawatiran akan kultur lokal telah menjadi benang kusut dalam pikiran Adi. Benang kusut inilah yang menggerakkan Adi dan kawan-kawan untuk merapikannya sedikit demi sedikit. “Bisa nggak sih aku menggerakkan kota ku ini? Dengan teman-teman yang ada yang aku punya, mereka punya niat nggak sih meninggalkan kultur yang baik?” ujar Adi sembari menjelaskan pentingnya menanamkan kultur yang baik bagi generasi selanjutnya.
Editor: Agustinus Rangga Respati Foto: Arlingga Hari Nugroho

1 comment