10 Tahun Biennale Jogja: Mengupas Budaya dan Stereotipe Negara Garis Khatulistiwa

Berbicara soal pameran seni, Yogyakarta bisa dibilang sebagai kota artsy atau penyelenggara pentas pameran seni paling banyak di banding dengan kota lain. Mengutip dari akun Instagram seni.dkk, tercatat selama tahun 2022, Kota Yogyakarta sudah menyelenggarakan 285 Pameran di 113 ruang pamer (Galeri, Art Space, dan Ruang Alternatif), di ikuti 1903 oleh seniman individu, kolektif, young and old, emerging – established, dead or live.

Hampir semua pameran seni yang sudah terselenggara memiliki pesan dan kesan. Ada juga pameran seni yang di rancang dan terus berlangsung sampai dengan umur yang panjang, sebut saja Biennale Jogja.

Perjalanan Biennale Jogja dalam menyelenggarakan pentas seni sudah memberi dampak pada munculnya karya, sosok seniman, dan wacana yang mewarnai dunia seni rupa kontemporer di Indonesia dan di Yogyakarta khususnya. Memiliki fokus pada pengembangan dan mengoptimalkan seluruh potensi dan aset budaya yang ada di Yogyakarta. Menggunakan pendekatan seni, budaya, dan sejarah, Biennlae Jogja memiliki rangkaian program kerja sama dengan berbagai negara untuk membuka sterotype baru di setiap gelaran pamerannya.

10 Tahun Biennale Menelusuri Khatulistiwa

Peluncuran Buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi, menghadirkan diskusi bersama Alia Swastika (Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta), Dr. ST. Sunardi (Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma), Harmantyo Pradigto Utomo (Studio Malya dan Peneliti), dan Saraswati N (Penulis Buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa).

Saraswati N adalah salah satu anak muda dari tujuh belas penulis dalam buku 10 Tahun Biennlae Jogja Khatulistiwa: Praktik Geopolitik dan Dekolonisasi. Pengalaman pertamanya menulis soal seni rupa ini adalah pekerjaan yang sulit tapi menarik. Beberapa kendala seperti tidak bisa melakukan sesi wawancara dengan beberapa artis ia sampaikan. Selain itu dalam proses penulisannya, Saraswati kerap berefleksi “apakah penelitian dan penulisan ini sudah sesuai dengan apa yang di nyatakan?”. Sebab beberapa catatan, dokumen yang sudah ada bisa saja tidak relevan dengan perbedaan waktu yang sudah terjadi.

Yayasan Biennale Yogyakarta sebelumnya juga hadirkan film dokumenter “Olah Arsip Biennale Jogja: Pendidikan dan Apresiasi Seni Publik”. Film dokumenter ini di putar untuk perdana pada Kamis 15/12/2022 di Ruang Cinema, Museum Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta.

Karya film dokumenter ini menelusuri pendapat dari kalangan akademisi tentang hubungan kegiatan apresiasi seni dengan proses belajar-mengajar. Kalangan akademis tersebut termasuk para guru dari berbagai jenjang, baik sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Ada bagian film dimana beberapa guru mencoba untuk memberikan metode baru untuk pembelajaran. Seni menjadi ruang belajar para murid selain di kelas. Bahkan dengan seni, para murid mendapat perspektif yang beragam dan tentu bisa menjadi proses pembelajaran akan sebuah perjalanan hidup.

Film ini membagikan gambaran seri perjalanan Biennale selama satu dekade (2011-2021) mengupas budaya maupun sub-culture dari berbagai negara sepanjang garis khatulistiwa. Film dokumenter ini kurang lebih berdurasi 30 menit, bercerita tentang para pelaku dan pekerja seni yang terlibat dalam perhelatan Biennlae Jogja seri Equator.

Selama 10 tahun, Biennale Jogja seri Equator melakukan perjalanan dengan berbagai seniman dari negara-negara kolaborasi mulai dari Asia Te nggara, Arab, India, Nigeria, sampai Brazil dan Oceania.

Pengemasan arsip dalam berbagai bentuk menjadi penting sebagai refleksi dalam hal apapun. Biennale Jogja membagikan cerita mulai dari kesuksesan maupun kegagalan. Adanya film dokumenter ini juga sebagai catatan dari berbagai sudut pandang mulai dari pekerja seni, penikmat seni, dan masyarakat umum untuk disertakan dalam pengembangan program kerja Biennale Jogja selanjutnya.

Jumat 6/01/2023 di ruang Seminar LPPM Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Dr. ST. Sunardi mengatakan “10 Tahun Biennale merupakan perjalanan yang mengharukan sekaligus menyedihkan. Begitu banyak acara kesenian yang ada di Yogyakarta yang di buat serba dadakan, dan anehnya saya dan teman-teman waktu itu memiliki ide untuk membuat pameran Biennale seri Equator selama 10 tahun. Apakah selama itu kami ini masih hidup untuk menghidupinya”.

Satu hal yang baru dalam proses Biennale sekarang ini menurutnya adalah memberi fasilitas ke teman-teman maupun para peserta sebagai ruang untuk berproses dan saling belajar. Proses belajar itu tidak serta merta di berikan kepada para seniman, tapi juga di berikan untuk para peserta magang/Asana Bina Seni.

Upaya Kolaborasi dan Regenerasi untuk Ekosistem Seni di Jogja

Sampai hari ini, Biennale Jogja terus meregenarasi dan beradaptasi dengan dialog anak muda. Salah satu program Biennale yaitu Asana Bina Seni menjadi wadah dan ladang subur untuk merangkul dan memulas setiap kolektif, maupun individu yang memiliki minat dan belajar akan dunia seni dan budaya. Ada beragam program kerja yang berupaya mempertemukan seniman dengan komunitas luas juga menjadi bagian dari visi memperluas gerak seni di luar ruang mapan seperti galeri maupun institusi.

Ditambah dengan membuka penerimaan volunteer dan peserta magang sesuai syarat dan seleksi, membuat proses belajar seni tidak hanya melulu di dapat di sekolah ataupun bangku kuliah jurusan kesenian. Seni bisa dipelajari mulai dari apa yang ada di sekitar, kehidupan bersosial dan masyarakat.

Selama proses kerja keras yang panjang ini, sudah banyak senang dan duka yang menyelimuti Biennale Jogja. Tidak sedikit juga orang yang sudah pernah terlibat dengan Biennale Jogja telah menjadi seniman, penulis, maupun pekerja seni yang cukup ternama. Upaya ini juga akan terus di kembangan pihak Yayasan untuk selalu terus meregenerasi ekosistem seni khususnya di Jogja.

Perhelatan Biennale Jogja juga tidak hanya semata kegiatan pameran seni dua tahunan, berbagai diskusi yang di bicarakan dan di bangun seolah menjadi landasan untuk membuat pameran seni tidak serta merta sebagai ajang untuk tampil aesthetic, tapi ada nilai, pelajaran, dan sejarah panjang yang melatarbelakangi terwujudnya sebuah pameran dan karya seni itu sendiri.

Berbagai wadah dan program yang di buat lembaga yang bergerak dalam dunia seni ini seolah dirancang untuk menilik seberapa jauh keberangaman budaya yang ada di Indonesia, tidak terkecuali keberangaman itu memilki kesamaan dengan sejarah dan nilai-nilai budaya dengan negara lain yang pernah bekerjasama dengan Biennlae Jogja.

Sesi Diskusi Pelncuruan Buku 10 Tahun Biennale Jogja Khatulistiwa: Geopolitik dan Dekolonisasi / Jumat, 06/01/2023 / Ruang Seminar LPPM Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Wacana dalam ruang seni apakah bisa menjadi jendela perubahan dari setiap persoalan yang ada di suatu Negara?

Dalam gelaran pameran yang sudah banyak terselenggara di Jogja, banyak gagasan dan wacana yang di ambil dan di aplikasikan ke dalam ruang pamer. Wall Text pameran yang terpajangpun menjadi gagasan yang menarik dan juga serius untuk di lihat dan di baca. Interpretasi setiap pengunjungpun pasti berbeda-beda, tentu hal tersebut wajar sebab setiap orang yang datang ke ruang pameran memiliki perbedaan pengalaman dan latar belakang pengetahuan yang berbeda.

Saat berlangsungnya sesi diskusi 10 Tahun Biennale melintasi khatulistiwa, ada beberapa pertanyaan yang menurut saya lebih menarik daripada urusan peluncuran Bukunya. Ada pengunjung menanyakan soal “Apakah wacana dalam ruang seni bisa menjadi jendela perubahan dari setiap persoalan yang ada di suatu Negara?”.

Pertanyaan seperti itu sempat mampir dan diam lama di dalam pikiran saya, mungkin juga di rasakan orang lain, pasalnya setiap pameran yang sudah terselanggara kerap jadi sebuah pertanyaan setelah mengunjunginya. Alhasil kerap sebagaian orang yang mengunjungi galeri pameran adalah hanya sekedar untuk mengabadikan foto ataupun momen, dan pamer di sosial media. Atau, mereka yang sudah memiliki tujuan awal datang ke pameran dengan niat untuk belajar seni lebih dalam akan menanyakan beberapa pertanyaan kepada seniman, kurator, maupun gallery sitter di ruang pamer ataupun memberanikan diri untuk mengkontak sosial media mereka.

Proses kerja keras untuk menyikapi permasalahan di suatu negara mungkin bisa banyak menggunakan berbagai cara. Potret sejarah yang sering kali dilihat adalah dengan menggunakan aksi demo di jalan. Namun ada juga yang menyikapi permasahalan negara dengan menggunakan tulisan, musik, ataupun melakukan performance art sebagai bentuk apresiasi maupun protes.

Begitupun dengan Biennale Jogja dalam merangkai setiap gelaran pameran dengan mengangkat segala isu dan sejarah yang ingin di bicarakan dalam ruang pameran. Ada kerja keras dan proses panjang yang dibangun dalam ruang pameran, dimana dalam setiap gelaran pameran seni yang akan dirancang dan sudah terselenggara akan memiliki nilai, makna, dan sejarah untuk mangupas atau menemukan sterotype baru.

Sebagai penutup, Dr. ST. Sunardi menjawab pertanyaan tersebut bahwa “Seni untuk merubah diri sendiri. Kejujuran dan refleksi untuk sadar pada diri sendiri berguna untuk sedikit melakukan perubahan pada persoalan yang ada di suatu tempat, wilayah, maupun suatu negara”.


Editor : Tim SudutKantin

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts