Sebagai seorang yang lahir dan besar di Kulon Progo, kehidupanku tidak bisa dilepaskan dari Wates. Ibu kota dari kabupaten paling barat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini bagaikan jantung bagi Kulon Progo. Semua bisa ditemukan di kota kecil ini. Mulai dari pusat perkantoran, administrasi, hingga perbelanjaan.
Semua orang yang tinggal di Kulon Progo pasti pernah menginjakkan kakinya di sini. Entah untuk mencari hiburan, makanan, atau sekadar jalan-jalan. Kota ini bagaikan oase di tengah “keringnya” kehidupan di Kulon Progo.
Jika di lihat lewat udara, Wates terlihat lebih bersinar karena gemerlap lampu daripada daerah lain di Kulon Progo. Maka dari itu, wajar bila orang pinggiran pantai sepertiku rela menempuh jarak belasan kilometer untuk mencari hiruk-pikuk dan hingar-bingar.
Meskipun hingar-bingar di Wates tidak seramai Jogja, sebagai warga pinggiran macam diriku, itu sudah sangat cukup. Perjumpaanku dengan skena musik juga terjadi di Wates. Di kota sub-urban yang kecil ini ternyata memiliki beragam genre. Mulai dari Hip-Hop, Hardcore, hingga Pop Punk.
Hal ini tidak pernah terbesit dalam kepalaku. Aku kira, itu semua hanya bisa ditemukan di Jogja. Ternyata, di kota satelit seperti Wates juga ada eksistensinya.
Band pertama yang aku tonton dan dengar adalah Karna Mereka. Band Pop Punk itu sering menemani waktu senggang dan menikmati kegabutan. Salah satu yang paling sering aku dengarkan adalah single berjudul Bosok Cangkemu.
Seingatku, 2013-2014 adalah tahun di mana skena musik di Wates begitu beragam. Namun, pasti jauh sebelum itu sudah ada skena musik yang muncul. Lantas, bagaimana geliat skena musik di Wates sebelum tahun itu? Dan bagaimana ekosistem musik di Wates hari ini?
Kemunculan Awal dan Mati Suri
Skena musik di Wates muncul karena maraknya festival dan lomba band pelajar. Pada medio 2005-2007, festival band pelajar sangat menjamur di Kulon Progo. Setiap sekolah selalu berlomba-lomba dan bersaing untuk menciptakan festival yang meriah.
Adanya festival band itu yang kemudian membuat banyak band bermunculan. Mulai dari band yang sekadar senang-senang, hingga band yang benar-benar digarap serius. Dengan begitu ramainya orang yang ingin ngeband, di era itu muncul sebuah komunitas band bernama Joni Belajar Musik. Nama Joni Belajar Musik ini adalah bentuk plesetan dari singkatan Jam Belajar Masyarakat (JBM).
“Itu plesetan dari Jam Belajar Masyarakat, daripada belajar pelajaran sekolah, mending belajar ngeband,” ujar Benny ketika bercerita mengenai skena awal di Wates (5/9). Sebagai seorang yang tinggal di Wates sedari kecil, Benny memiliki banyak cerita soal skena musik di ibu kota Kulon Progo ini.
Sejak SD, Benny sudah berkenalan dengan berbagai macam band asal Kulon Progo. “Banyak band mulai muncul itu waktu aku masih SD, kayak The Mad, Riot n Funny, dan Unholly,” ucapnya sambil membakar rokok di sebuah coffee shop miliknya, bernama Puspa L.A.B.
The Mad, Riot n Funny, dan Unholly mengikuti penjaringan dari skala daerah hingga nasional. Riot n Funny dan Unholly mengikuti LA Indiefest, sedangkan The Mad mengikuti KFC Talent Search “Satu Bintang”. “Waktu itu, yang lolos sampai nasional cuma The Mad,” lanjutnya.
The Mad menjadi 12 band terbaik dari ribuan yang mengikuti KFC Talent Seacrh “Satu Bintang” di tahun 2008. Dengan lagunya yang berjudul Kembali, The Mad mampu masuk dalam album kompilasi KFC Musik Hitslist Vol.3. Di tahun itu, The Mad adalah satu-satunya band dari Wates yang sampai nasional dan namanya begitu besar.
“Setelah The Mad, terus muncul eranya Sabin,” lanjutnya bercerita sambil sesekali menyeruput kopi. Sabin adalah sebuah studio music yang terletak di Timur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wates. Selain sebagai studio music, Sabin juga sebagai tempat nongkrong anak-anak band. Macam-macam genre berkumpul di sana, mulai dari Hip-Hop sampai Hardcore.
Di tahun 2012-2017, kalau tidak salah, Sabin menjadi titik geliat skena musik di Wates. “Dulu ada anak-anak Hip-Hop namanya Nyi Ageng Serang Familia, terus Hardcore juga ada, kayak Balas Dendam, anak-anak Pop Punk juga ada Geblek Rentenk,” terangnya.
Sepinya geliat skena musik di Wates bukan tanpa alasan. Masalah perizinan yang alot dan gap-gapan menjadi alasan mendasar kenapa tidak menggairahkan seperti dulu.
“Gap-gapan itu yang jadi masalah banget, kelompok A tidak suka sama kelompok B, padahal mereka saling kenal. Pernah suatu ketika, ketika band dari kelompok B manggung, teman-teman dari kelompok A menjauh dari stage dan kelihatan tidak respect. Hal itu juga terjadi ketika kelompok B manggung,” Benny melanjutkan ceritanya. Ia merasa bahwa gap-gapan itu bukan suatu hal yang sehat bagi ekosistem musik di Wates. Seharusnya mereka bisa saling support satu sama lain.
“Wates kan kotanya kecil dan semuanya pasti kenal, mbok ayo bareng-bareng saling dukung kancane,” ucapnya sembari kembali menghidupkan rokok.
Generasi Baru, Keresahan, dan Saling Support
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia selama hampir tiga tahun membuat semuanya “mati”. Wates menjadi kota mati. Segala aktivitas dibatasi. Alun-Alun Wates yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk beraktivitas masyarakat Kulon Progo mulai dari olahraga, berjualan, hingga rekreasi tiba-tiba sepi.
Semua itu juga berimbas pada skena musik. Ketika anak-anak muda ingin membangunkan gairah musik di Wates yang sudah lama mati, justru harus dipaksa kalah oleh Pandemi. Akhirnya, selama tiga tahun lebih, tidak ada acara musik secara langsung. Semua acara musik hanya bisa dilihat secara daring, dan itu sangat membosankan.
Hal itu juga dirasakan Reho, seorang kawan sekaligus personil band Pop Punk asal Wates bernama Fotokopi.
“Di tahun 2020, kami bikin kolektif namanya Westdemetria dan pengennya bikin gigs buat meramaikan Wates lagi, tapi malah Pandemi,” ucapnya kala mulai bercerita soal kolektifnya (10/7).
Westdemetria adalah kolektif musik yang dibentuk anak-anak penyuka Pop Punk. “Awal yang ngajak bikin itu Herda (Karna Mereka) sama Phenot (The Mad), karena kami satu tongkrongan, dan sering curhat masalah yang sama, akhirnya terbentuklah kolektif ini,” terang Reho lebih lanjut.
Keresahan akan sepinya acara musik di Wates, menjadi salah satu alasan Westdemtria dibentuk. Selain itu, mereka juga merasa prihatin ketika genre Pop Punk sudah mulai memudar di kalangan anak muda.
Meskipun Westdemetria diisi oleh penyuka Pop Punk, kolektif itu tidak membatasi jika band dengan genre-genre lain masuk. Reho menjelaskan bahwa band dangdut juga sering nongkrong bareng mereka. Kolektif ini sangat terbuka bagi siapapun. Selain itu, mereka juga memiliki tujuan untuk membantu sirkulasi karya-karya dari band asal Kulon Progo, agar bisa lebih dikenal.
“Kami cair aja sih, semua genre boleh masuk. Sekaligus membantu karya dari band-band yang baru muncul,” lanjut pria yang mengagumi Blink-182 itu.
Hal itu juga senada dengan kolektif musik yang dibentuk Benny dan kawan-kawan. Berawal dari beberapa tongkrongan seperti Soleution, Puspa L.A.B, Fearless, dan Genkuda Kolektif itu bernama Ragam Arena. “Males dan bosen sama gap-gapan, akhirnya temen-temen inisiasi bikin satu wadah buat menampung semuanya,” jelas Benny.
Akhirnya, tanggal 11 Maret 2023, Ragam Arena melangsungkan gigs pertamanya. “Tujuan utama bikin itu (re:gigs) sebenernya pengen memicu, pertama memicu temen-temen lain bikin acara musik secara mandiri, terus kedua memicu kalau kita nggak gap-gapan itu lebih asik,” ujar Benny.
Gigs pertama dihelat di Tabebuya Coffee menunjukkan kalau semua orang dan semua genre bisa jadi satu panggung yang sama, juga respect satu sama lain.
Ragam Arena juga sering melakukan aktivasi-aktivasi ruang, salah satunya mengadakan Music Merch Festival (MMF) chapter Wates. Agenda itu berlangsung pada tanggal 30 April 2023 di Puspa L.A.B. Selain membicarakan soal merchandise band atau musik, MMF chapter Wates ini juga digunakan sebagai ajang merilis single dan merch baru dari dua band, yakni Reissue Hardcore dan The Capllen.
“Kami sih, pengennya selalu support sama temen-temen yang punya karya. Apapun itu, entah artwork, tulisan, atau lagu, sebisa mungkin jalan bareng-bareng,” lanjut pria bertopi Milisi Kecoa itu. Ragam Arena selalu terbuka untuk siapapun dan menjadi ajang untuk melampiaskan energi lebih anak muda.
Musik, tulisan, dan artwork itu tidak bisa dipisahkan. Ragam Arena mewadahi semua itu. Misalnya ketika Balas Dendam Hardcore merilis Album Decision. Teman-teman di Ragam Arena ikut membantu membuat artwork, menulis riview album, dan mendesain zine. Kolektif ini membuktikan bahwa semuanya bisa berkolaborasi dan membuat karya bersama-sama
“Kita kan satu kabupaten, dan besarnya juga nggak seberapa. Ayo saling kenal, ayo saling berbagi karya, ayo saling bantu temen-temen, biar kita punya ekosistem sendiri di Wates,” terang Benny sambil mengakhiri obrolan.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Ragam Arena