FSTVLST: Capaian Kolektif Bicarakan Krisis Iklim di Lagu ‘Rat Tua’

Lewat lagu ‘Rat Tua’, kali pertama FSTVLST terlibat dalam proyek musik yang membicarakan krisis iklim bersama Music Declares Emergency.

Jam di layar ponsel menunjukkan pukul dua lewat ketika Sirin Farid Stevy, Maya Larasati, dan Yuka Sakalingga duduk di teras Warung Makan Maknani siang itu. Di bawah pohon alpukat, kami duduk berhadapan menimpali satu obrolan menuju obrolan lainnya. Di antara sejuk udara Umbulmartani, ada tiga gelas teh kampul panas dan secangkir kopi yang melingkar di atas meja. 

Hari Sabtu (12/8) itu, kami mengambil janji untuk bercerita-mendengarkan pengalaman FSTVLST (dibaca: festivalist) dalam lokakarya Sound The Alarm: The Indonesia Knowledge, Climate, Arts & Music Lab (IKLIM). Lokakarya ini merupakan sebuah inisiatif aksi iklim yang diinisiasi oleh Music Declares Emergency Indonesia yang dilaksanakan di Bali pada 12-15 Juni 2023 lalu. Music Declares Emergency merupakan kelompok advokasi lingkungan yang memberi kesempatan musisi dan industri musik untuk membawa pengaruh mereka pada mitigasi kerusakan iklim dunia.

Sebagai sebuah gerakan global, kampanye ini telah didukung oleh musisi dunia seperti Thom Yorke (Radiohead), Tom Morello (Rage Against the Machine), hingga Billie Eilish. Dalam acara IKLIM di Bali, sejumlah musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan pakar iklim dipertemukan untuk mempromosikan narasi positif yang menginspirasi individu dan komunitas di Indonesia.

“Kali pertama kemudian Festiv (sebutan khas untuk FSTVLST) diajak untuk terlibat di proyek atau program yang tidak hanya selesai di pementasan, tapi kemudian juga ada isu-isu penting itu,” ujar Farid Stevy memulai obrolan.

Selama kegiatan di Bali, FSTVLST yang diwakili oleh Farid Stevy dan Roby Setiawan juga ditemani oleh Maya Larasati dan Yuka Sakalingga. Dua nama terakhir, turut mengambil peran sebagai tim kreatif FSTVLST dalam proses olah wacana, publikasi, maupun perantara komunikasi di antara IKLIM dan kolektif band.

Setidaknya ada sekitar 13 musisi atau band yang juga terlibat mengikuti lokakarya tersebut. Selain FSTVLST, perhelatan itu diikuti Navicula, Endah & Rhesa, Iga Massardi, Rhythm Rebels, Made Mawut, Nova Filastine, Tony Q Rastafara, Iksan Skuter, Guritan Kabudul, Kai Mata, Tuan Tigabelas, dan Prabumi.

Farid Stevy menuturkan, ada seabrek data krisis iklim yang disampaikan, mulai dari penyebab-dampak-solusinya, peran energi terbarukan, permasalahan batubara, pencemaran udara, signifikansi Pemilihan Umum di Indonesia, serta peran seni sebagai alat aksi. Semua hal itu, dipepatkan dalam tiga hari pertemuan. Setelah lokakarya, dua belas musisi itu kemudian secara mandiri akan membuat lagu yang dikumpulkan dalam album kompilasi yang dikelola oleh Alarm Records. Tak terkecuali FSTVLST.

Bagi Farid Stevy, membawa isu penting itu ke meja makan band adalah tantangan. Sejak proses kreatif FSTVLST selalu dimulai oleh dirinya dan Roby Setiawan, ada etape untuk menawarkan dan membicarakan gagasan yang akan dikerjakan kepada personil band lainnya, termasuk menyepakati pentingnya isu krisis iklim.

“Ya, pada dasarnya hanya kami berdua yang kerja. Terus iterasi berikutnya pada proses ini kan kemudian ini mau bareng-bareng ngajakin satu tim aware pada satu isu besar,” ungkap Farid yang mengenakan kaos bertuliskan ‘No Music On A Dead Planet’, tagline yang diusung oleh Music Declares Emergency.

“Terus kita lagi cari tahu bagaimana cara kita merespons ini dengan tetap oke dengan caranya kita,” sambungnya. Begitulah setidaknya yang dikerjakan oleh Farid Stevy (vokal), Roby Setiawan (gitar), Humam Mufid Arifin (bass), dan Danis Wisnu Nugraha Widiasmara (drum) di FSTVLST.

Hampir membicarakan tema-tema besar, tetapi sering kali mereka mengemas musik dan statement dengan cara yang lebih dekat melalui potongan-potongan teks.

FSTVLST barangkali bukan band aktivis yang menyuarakan isu sosial secara terang-terangan, tetapi persoalan semacam itu hadir dalam lirik-lirik yang metaforis (atau dramatis?). Setidaknya sebagai keresahan pribadi tiap-tiap personil di masyarakat, di antara permasalahan yang ditemui sehari-hari. 

Ada semacam kredo yang telah diamini ketika menerjemahkan suatu tema atau isu menjadi karya lagu. Farid Stevy lebih suka menyebutnya, “membicarakan yang kecil-kecil, membicarakan yang jaraknya dekat”. 

FSTVLST di IKLIM Fest 2023 (dok. Ayyiex Falgunadi)

Mengambil setangkup narasi dari isu penting krisis iklim, lalu menerjemahkannya dengan bahasa FSTVLST adalah pekerjaan rumah yang selalu diperiksa berulang kali. Selalu ada ketakutan yang memaksa diri untuk terus melihat dan membayangkan perspektif yang berbeda. Dalam pertemuan lokakarya itu, Farid Stevy ingat bagaimana Roby Setiawan lebih dulu menyadari audiens FSTVLST dalam pengamatan yang lebih luas.

“Jika menuliskan lagu tentang krisis iklim, bagaimana jika salah satu dari pendengar atau teman FSTVLST bersinggungan dengan kerja-kerja di penambangan batubara?” ucap Farid Stevy membahasakan ulang apa yang pernah dilontarkan Roby Setiawan.

Kami diam sejenak, menduga-duga. Lagi-lagi, menerjemahkan narasi ke dalam karya adalah pekerjaan rumah yang harus diperiksa berulang kali.

Bagaimana menjelaskan frasa-frasa seperti, kontribusi signifikan Indonesia terhadap emisi gas rumah kaca global sebagai akibat deforestasi dan ketergantungan tinggi pada batubara ke dalam bahasa populer hari ini? Atau menyelipkan kata dekarbonisasi dan Nol Emisi (Net Zero Emissions/NZE) di lirik lagu? Bagaimana dengan serumpun kalimat yang identik dengan aktivisme lingkungan seperti energi terbarukan, peraturan yang lemah, kesadaran publik yang terbatas, penilaian sumber daya alam yang rendah, dan kemauan politik yang terbatas?

Tidak, kalimat-kalimat semacam itu memang tidak perlu dipaksakan untuk dilantunkan dalam lagu-lagu krisis iklim. Namun dalam politik bahasa, ada banyak istilah, pandangan, dan kepentingan yang dapat mewakili (atau menuding) seseorang juga sekelompok. Jika salah memilih kata dan perspektifnya, barang tentu karya yang dikerjakan hanya jadi angin lalu tak didengarkan. Sialnya lagi, jangan-jangan justru melukai perasaan orang lain.

“Itu catatannya juga. Kayak nggak [ingin] nyalahin orang, ataupun kalau nyalahin orang, di kejadian itu kita berada di dalamnya juga. Dan mungkin aku salah satunya,” pungkas Farid Stevy.

Sebermula adalah Pohon Itu

Beberapa minggu setelah lokakarya IKLIM, sebuah pesan masuk dari Farid Stevy di grup Whatsapp kami. Di celah-celah obrolan tentang pengerjaan single baru hasil dari lokakarya IKLIM, Farid Stevy menuliskan sebuah pesan, “lagu tentang cinta tanpa menggunakan lirik ‘cinta’ [simbol silang], lagu tentang pohon tanpa menggunakan lirik ‘pohon’ [simbol centang]” disusul sebuah file demo berjudul ‘Rat Tua’ beserta liriknya.

Menuliskan lagu tentang pohon, tanpa menggunakan kata pohon di liriknya?

FSTVLST telah mulai mengerjakannya. Mereka membicarakan persoalan iklim. FSTVLST tidak ingin menghadirkan narasi aktivisme yang berapi-api, solider, dan penuh kritik status quo. Mereka lebih suka menarik diri sedikit mundur dan memilih kosa kata lainnya. Mereka seperti sedang berdiri menjauhi kerumunan, melebarkan pandangan, lalu membayangkan bagaimana ini bermula dari kejauhan.

“Di lagu itu, kami ingin mengobservasi. Jangan-jangan, kita [manusia] adalah bagian dari masalah ini. Lalu dari situ, kita mundur, [seperti] berada di luar hutan, kemudian melihat pohon, melihat secara fisik, melihat secara non-fisik. Juga ada pandangan menuju lini masa [peradaban] sebelumnya,” singgung Farid Stevy.

Pohon, kata kuncinya. 

Ada beberapa premis yang disampaikan Farid Stevy tentang lagu yang diberi judul ‘Rat Tua’ itu. Menurutnya, tidak ada yang sederhana, tapi segalanya barangkali saling terhubung dan berkaitan.

Ketika membicarakan pohon dan mempelajari tentang peradaban, Farid Stevy dipertemukan dengan teks: (1) barangkali peradaban manusia dalam pencarian menguasai api telah belajar membakar segalanya, termasuk pohon dan ranting, (2) barangkali penjelajahan ruang angkasa tak pernah berhasil melihat atau menanam pohon (tanaman) di planet selain Bumi, dan (3) turut meyakini cum mengamini nilai-nilai (intelektual) leluhur bahwa makhluk pertama yang memiliki kesadaran adalah pohon.

Sebermula adalah pohon itu, maka sebenarnya lagu ‘Rat Tua’ mampu mewakili isu-isu kritis terkait iklim, lingkungan, dan konservasi. Pohon menjadi kunci yang menghubungkan kita dengan keselamatan alam semesta.

“sejak primata berjalan tegak 
dengan kedua kaki-kakinya, 
jelajahi rat purwa”

Tidak berhenti pada perspektif itu, pandangan tentang konservasi lingkungan juga diterjemahkan dengan bahasa yang berhubungan dengan masa lalu. Dalam lagu ‘Rat Tua’, Farid Stevy sengaja memilih kata-kata arkais (atau kuno) yang dapat mewakili makna yang dibayangkannya.

“Tanpa kemudian tujuannya untuk tidak menjadi puitis, tetapi ada makna-makna di dalam kata-kata itu yang memang lebih lebar daripada padanan katanya hari ini,” ujar pria asal Gunungkidul itu.

FSTVLST di IKLIM Fest 2023 (dok. Ayyiex Falgunadi)

Misalnya, Farid Stevy menyelipkan kata “rat” yang dirasa lebih tepat untuk mewakili konteks “dunia” atau “alam” yang dibayangkannya. Ada juga kata lainnya seperti purwa (permulaan), wreksa (pohon, pelindung), ajar (guru), anima (spiritual, alam bawah sadar), dan sebagainya. Sejalan dengan cerita yang dibangun dalam lirik lagu ‘Rat Tua’, kata-kata itu seolah mampu merepresentasikan sesuatu yang lebih lampau dan bernuansa masa lalu.

“saudara tua, ajar bijaksana,
saudara tua, yang terlupa kisahnya”

Tidak membicarakan hal-hal yang FSTVLST tidak jalani, Farid Stevy sadar betul setiap lagunya adalah bagian dari apa yang mereka lakukan secara kolektif oleh band. Pertanyaannya, apakah secara kolektif, FSTVLST aktif dalam kegiatan sosial seperti konservasi? Sepertinya tidak.

Dari situ, alih-alih membangun semacam kampanye menanam pohon ketika menuliskan lagu tentang pohon, FSTVLST justru mengajak para pendengarnya untuk berkenalan dengan “saudara tua”.

Bagi Farid Stevy, pohon merupakan saudara tua yang telah mendiami peradaban sejak masa lalu, jauh sebelum manusia pertama datang di “bumi”.

Di masyarakat, pengalihan dan pemanfaatan ruang hidup cenderung terkesan begitu antroposentris. Segala sesuatunya seolah-olah menjadi kebutuhan tunggal yang berpusat pada manusia semata. Lalu ada makhluk hidup lainnya yang dikesampingkan dari sistem alam semesta. Lagu ‘Rat Tua’ bisa jadi cara untuk kembali melihat hal-hal yang telah dilupakan keberadaannya, fungsi, dan kisahnya.

Memulai Komitmen Kolektif

“Kalau lirik yang ini tentang kehidupan sebelum ada manusia,” kata Humam Mufid di sela rekaman lagu ‘Rat Tua’ (10/9) di Jogja Audio School. Sepakat dengan teks yang sudah ditulis oleh Farid Stevy, Humam Mufid dan Danish Wisnu juga merasa penting untuk membicarakan isu krisis iklim. Dalam persoalan ini, pandangan tentang kehidupan di masa lalu bisa jadi pembelajaran untuk melihat lanskap permasalah hari ini. 

Tidak ingin berjalan terpisah dengan narasi yang sudah disusun dalam lirik, ruang aransemen musik juga melebur dan terus berkembang selama proses pengerjaannya. Untuk mengimbangi nuansa “peradaban masa lalu”, FSTVLST mencoba mengemasnya dengan karakter musik yang lebih dinamis. Urusan ini diarahkan langsung oleh Roby Setiawan.

Ada satu hari ketika mereka berkumpul di studio dan melakukan pematangan konsep terkait bentuk warna serta alur lagu yang ingin direkam. Tiap-tiap personil, mendapat kesempatan untuk melakukan eksplorasi dan bertukar pendapat tentang arah musikalitas lagu ‘Rat Tua’.

Khusus di bagian perkusi, Danish Wisnu menyebut istilah tetabuhan purbakala. “Kalau secara garis besar [lagu] ini menceritakan tentang sebelum ada [peradaban], maka satu-satunya alat musik yang ada setelah itu cukup lama adalah tetabuhan purbakala,” ucap penggebuk drum FSTVLST itu.

Dibandingkan sesi rekaman instrumen lainnya, butuh waktu cukup lama untuk Danish Wisnu menyiapkan bentuk yang tepat dalam menjaga hentakan drum dalam lagu ‘Rat Tua’. Istilah tetabuhan pubrakala dirasa mampu mewakili bentuk ritme yang dinamis tapi tidak menarasikan budaya tertentu.

Meskipun sedikit terlambat dari tenggat waktu pengumpulan single ke IKLIM untuk album kompilasi krisis iklim, ‘Rat Tua’ berhasil merekam semua bahan dalam durasi 21 jam untuk durasi lagu sekitar 3 menitan. Ramuan ini juga dipoles oleh Fandi Kurniawan (gitar) dan Hutama Mahdi Putra (synthesizer). Proses penggabungan materi instrumen lagu (mixing) selanjutnya dipercayakan kepada Yabes Sagrim.

Meracik lagu baru dari hasil lokakarya yang membicarakan isu tertentu, barangkali bisa jadi tangga berkelanjutan dalam proses kreatif FSTVLST. Tidak muluk-muluk, mengeksplorasi narasi besar dan bersepakat dengan nilai-nilai yang disuarakan dalam karya adalah pencapaian tersendiri bagi FSTVLST. Pola kerja ini bisa jadi capaian baru sebagai sebuah kolektif band.

Proses kreatif ini juga kali pertama FSTVLST turut menghitung jejak karbon perjalanan menjelang perilisan ‘Rat Tua’ di Bali. Jarak perjalanan 470km Jogja-Bali-Jogja, setara dengan komitmen menanam 25 pohon hingga berumur 10 tahun.

“Pencapaiannya kemudian collectively bisa lebih sepakat dengan apa yang sebenarnya kita bawakan,” tutur Farid Stevy.

Komitmen ini disampaikan langsung oleh FSTVLST sesaat peluncuran album sonic/panic di Sentra Parkir Monkey Forest, Ubud, Bali pada 4 November 2023. Hal yang sama juga mereka sampaikan melalui video musik ‘Rat Tua’ yang dirilis di kanal YouTube.

Music Declares Emergency Indonesia akhirnya merilis album kompilasi krisis iklim dengan nama sonic/panic melalui pertunjukan IKLIM Fest. Album ini mengantongi berbagai genre musik seperti hip-hop, rock, blues, elektronika, reggae, pop, hingga world music. Selain ‘Rat Tua’, terdapat dua belas lagu lainnya yang digadang-gadang sebagai manifesto untuk aksi iklim.

Selamat mendengarkan album sonic/panic di berbagai kanal musik digital, selamat menyalakan tanda bahaya.


Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: Ayyiex Falgunadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts