Letak Tubuh di Antara Intermedialitas

Intermedialitas bukan sesuatu yang asing, apalagi eksklusif di bidang seni saja. Dalam kegiatan keseharian entah sadar atau tidak, kita melakukan intermedialitas itu.

Yogyakarta hari ini panas. Di Kantin Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sembari menanti Sarasehan Teater mulai, saya pesan es jeruk. Mas-mas Kantin TBY, andai saya tahu namanya tampak gesit tubuhnya membelah dan memeras jeruk, memasukkan air, dan es ke dalam gelas.

Sekejap, ia mengantarkan gelas itu, es jeruk telah siap. Faktor jam terbang memang luar biasa. Seperti serangkaian performance art. Inikah yang dimaksud dalam topik Sarasehan Teater TBY kali ini? Melacak tubuh di antara intermedialitas, seperti tubuhnya di antara jeruk-jeruk sebagai media performance-nya? Ada baiknya tidak buru-buru menyimpulkan.

Sebelum es jeruk habis, acara sudah hampir dimulai. Saya bergegas berterima kasih, membayar es jeruk, lalu pergi ke Ruang Seminar TBY, tempat Sarasehan Teater digelar. Acara ini adalah seri diskusi yang dipersembahkan oleh TBY dengan mengundang narasumber berkompeten untuk membincangkan topik pilihan..

Bulan sebelumnya, diskusi serupa telah diadakan dengan topik seni rupa dan seni tari. Sekarang saatnya bagi teater. Topik yang dipilih kali ini adalah “Ketubuhan di Antara Intermedialitas”.

Sarasehan kali ini dimoderatori oleh Gundhissos. Sementara, narasumber yang diundang adalah Jamaluddin Latif (Aktor teater dan film), Fitri Setyaningsih (Koreografer), dan Linda Mayasari (Cemeti-Institut Seni Untuk Masyarakat).

Setelah mengisi buku tanda hadir, saya duduk lesehan. Tak lama, acara dibuka oleh pembawa acara Grace Ayu. Sebagai pembukaan, semua orang yang berada di ruangan diminta bersiap menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelah selesai, mikrofon dioper kepada moderator, sarasehan dimulai.

Sarasehan Teater TBY “Ketubuhan di Antara Intermedialitas” bersama Gundhossos, Linda Mayasari, Jamaluddin Latif, dan Fitri Setyaningsih (dok. Taman Budaya Yogyakarta)

Menginterogasi Tubuh

Tubuh di sarasehan ini bisa dimaknai sebagai badan diri beserta materi ketubuhannya yang mencakup komponen seni-rupa-badan yakni gerak, mimik, dan sebagainya, suara berupa bunyi-bunyi badani, sampai kejiwaan.

Tubuh bisa juga dimaknai sebagai suatu kata (logos) atau kerangka abstraksi atas realitas yang dihimpun, diungkap, lalu dianggap lengkap ketika dikaitkan dengan sarana ungkapnya. Misal yang diinterogasi bersama oleh para narasumber, yaitu mengenai pintalan tubuh-fisik dan tubuh-media.

Apakah tubuh-fisik? Di manakah posisinya dengan tubuh-media? Ketiga narasumber kompak menyampaikan pertanyaan itu secara mendalam melalui materi yang dibawakan. Lalu menawarkan suatu pandangan, untuk kemudian dipertanyakan kembali bersama-sama.

Jamaluddin Latif dan Fitri Setyaningsih, misalnya, sama-sama melacak kelindan penciptaan tubuh-fisik dan media melalui pembacaan atas karya masing-masing sejak dulu hingga hari ini, era pascapandemi.

Mereka menerangkan, relasi tubuh-fisik dan tubuh-media atau intermedialitas sebetulnya telah terjadi sejak lama. Dengan kata lain, bukan hal yang sama sekali baru. Sejak lama, penciptaan tubuh persis selalu berkaitan dengan media-media lain. Bahkan bisa disebut setara, sebagai sarana ungkap si seniman.

Intermedialitas

Hanya saja, saat ini kita menemui kondisi yang berbeda. Pandemi memaksakan perspektif lain dalam bangunan modus-modus penciptaan. Di sisi lain, perkembangan teknologi dan media informasi berkembang besar, membuka peluang-peluang kreatif baru. Penciptaan seni pertunjukan yang bernalar mata-panggung itu kemudian bergeser ke mata-kamera. Dengan begitu, penciptaan tubuh juga bernegosiasi dengan hal itu.

Hal tersebut yang Linda Mayasari jelaskan dalam paparannya. Ia membuka obrolan dengan paper-nya yang membaca intermedialitas melalui karya-karya Agan Harahap. Intermedialitas, jelas Linda, bukan sesuatu yang asing bagi kita, apalagi eksklusif di bidang seni saja. Dalam kegiatan keseharian, entah sadar atau tidak, kita melakukan intermedialitas itu.

Ia mencontohkan, salah satunya dengan penggunaan perangkat elektronik seperti ponsel dan laptop. Intermedialitas terjadi di sana, karena adanya perlintasan ruang dan waktu. Yang saya tangkap, berarti ketika di Ruang Seminar TBY kita berdiskusi, di sisi lain kita mengakses internet untuk terhubung kepada dunia.

Kelintasan ini jadi kuncinya. Hal itu juga berlaku pada kelintasan kerja-kerja yang berbeda dalam ruang dan waktu yang sama. Tubuh kita mengakses kerja-kerja yang lain selagi menyimak diskusi. Menggunakan ponsel, makan, minum saat diskusi tengah berlangsung, misalnya.

Potret karya Agan Harahap di akun Instagram pribadinya (@aganharahap)

Dalam kasus Agan Harahap, intermedialitas itu terjadi dalam karya-karyanya yang melintas ruang dan waktu realitas beku rupa fotografi yang kecil kemungkinannya terjadi di kenyataan. Misalnya salah satu potret Agan merekam Picasso, Dali, Warhol, dan Basquiat sedang minum di satu table bar yang sama dengan botol-botol minuman yang mungkin alkohol di atasnya.

Apakah itu mungkin terjadi? Ya, di akhirat.

Satu lagi, potret Justin Bieber selfie dengan Pak Jokowi di era kampanye Gubernur DKI Jakarta. Apakah ini mungkin terjadi? Dalam dunia Agan, tentu saja. Tubuh-media atau intermedialitas ini diperluas lagi maknanya sebagai kerja-kerja lintas-media bebas hambatan ruang dan waktu.

Selesai sarasehan, saya keluar dan membayangkan kemungkinan produk penciptaan dengan memperhitungkan intermedialitas itu. Tubuh-tubuh (fisik dan media) bocor dan mengintegral dalam pertunjukan. Bagaimanakah dramaturgi yang mungkin?

Biar sambil makan pisang yang telah dihidangkan, gambaran itu tetap tidak ketemu. Saya sebal, lalu mengunyah pisang lebih cepat. Ide kadang datang kalau tidak dijemput, akhirnya saya pulang saja, jalan ke parkiran.

Mas-mas Kantin TBY tadi memanggil saya. Kembalian es jeruk saya belum diambil, katanya. Ketika saya mendekati beliau, saya heran. Mas Itu sedang memeras jeruk, sambil menghitung kembalian saya, meladeni pelanggan lain, juga menelpon. Melintasi ruang dan waktu. Ah. Apakah ini intermedialitas? Ada baiknya tidak buru-buru menyimpulkan.


Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: dok. Taman Budaya Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

23 Tahun Perjalanan Dendang Kampungan Gaungkan Sikap Tolak Kekerasan di Album Baru 'ANKER'

Next Article

Sebuah Kota yang Lahir dari Mimpi: Kumpulan Puisi Imam Budiman