Mereka Ramah Menyapa | Pengalaman Pulang ke Tanah Nusa Tenggara Timur

Ramah menyapa menjadi keseharian orang-orang yang saya temui. Menyapa bisa dikatakan sebagai ungkapan rasa hormat kita terhadap orang lain.


Pulang ke tanah Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan hal yang paling saya nantikan. Alasannya bukan hanya karena aroma daging Se’i yang menggiurkan lidah, tetapi juga aspek budaya dan tutur bahasa menjadi hal yang menarik. Terlebih yang membuatnya semakin menarik lainnya karena sudah hampir 10 tahun saya tidak pernah pergi ke NTT oleh sebab rutinitas di Bali dan kuliah di Jogja. Akhirnya belum mendapat waktu yang tepat untuk pergi lagi.

Sesampai saya di Kupang, Kota Tjamplong (baca Camplong) menjadi tempat pertama yang dituju. Setelah sehari di sana, saya mendapat ajakan untuk pergi ke Fatumnasi (Timur Tengah Selatan, NTT) bersama keluarga. Saya mengiyakan ajakan tersebut. Keesokan harinya, kami berangkat tepat jam 9 pagi. Setelah 2 jam lebih perjalanan dengan bermodalkan Google maps dan bertanya pada warga setempat, kami sampai di Fatumnasi. Tempat yang mirip dengan hutan pinus di Jogja itu, kami tempuh menggunakan mobil walaupun dalam perjalanan sedikit terhambat karena jalan rusak dan sempit. Selama perjalanan, seringkali orang-orang menyapa seperti mengucapkan selamat datang.

Baru saja turun dari mobil, saya yang hanya mengenakan kaos oblong, celana pendek dengan tas slempang, dikagetkan oleh sapaan segerombol anak-anak yang baru saja pulang sekolah, “Siang!”. Saya pun menimpalinya sama, “Siang juga!”.

Menyoal budaya sapa-menyapa tentu tidak hanya terjadi satu kali saja. Setelah dari Kupang, Pulau Rote menjadi tempat kedua yang saya datangi.

Kejadian lain terjadi ketika saya dan saudara pergi ke Oefamba; salah satu tempat wisata air terjun di kota Lole di Pulau Rote. Matahari yang terik beriringan dengan pepohonan menemani sepanjang perjalanan kami menuju ke sana.  Kerap kali kami bertemu anak-anak yang sambil tersenyum menyapa kami seakan bukan orang asing yang sedang berkunjung di desa Kolobolon.

Fatumnasi dan Lole merupakan dua contoh daerah di NTT yang punya budaya sapa-menyapa. 

Selanjutnya, di pulau yang dikelilingi pantai ini saya menemukan cerita menarik yang mirip dengan dua cerita tadi. Hampir setiap pantai yang disusuri, seringkali saya bertemu orang-orang ramah yang tak lupa menyapa. Tidak hanya melihat senyuman dan sapaan, wajah mereka juga sering kali tersipu malu seperti saat ditanyai petunjuk jalan menuju pantai Oesosole (Rote Timur).

Keramahan Dalam Sapa

Entah mengapa rasanya sangat syahdu saat disapa oleh orang-orang lokal di sini. Ingatan semasa saya kecil berkunjung ke NTT belumlah sampai pada pengalaman seperti ini. Mengapa menyapa seringkali dilakukan oleh penduduk NTT? Misalnya saja, saat ingin berpamitan pulang atau bertemu teman di jalan, seringkali mereka mengucapkan Da menjadi hal yang paling saya tandai dalam pembicaraan orang NTT. 

Rasa erat, kasih sayang, dan keramahan menjadi keseharian orang-orang yang saya temui. Saya pun acap kali ikut-ikutan menyapa, misalnya saja saat berbelanja, kata Da kerap menjadi salam perpisahan yang mengiringi kepulangan. 

Hal di atas juga saya rasakan saat merantau di Yogyakarta. Ucapan kata Monggo menjadi sapaan yang seringkali diucapkan saat akan pulang atau pamit pergi. Walau kadang menyapa tidak selalu dibalas dengan sapa; senyuman dan anggukan dapat menjadi bahasa lain untuk menjawab itu. 

Menyapa bisa dikatakan sebagai ungkapan rasa hormat kita terhadap orang lain. Bisa juga sebagai salam saat bertemu orang yang sudah lama tidak bertemu. Lebih jauh lagi menyapa menandakan bahwa kita menganggap semua orang punya budaya sapa yang bisa mengakrabkan kita. Mungkin saja, hal ini juga menjadi tanda pengenal bagaimana orang NTT mengakrabkan diri dengan orang lain.

Beberapa minggu di NTT, saya belajar bagaimana cara kita menganggap orang lain ada dan menyapa bukanlah hal yang asing dan mahal. 

Tidak ada harapan untuk mendapat apapun dari kedatangan selanjutnya. Sungguh hal yang menarik saat datang disambut dengan ramah, romantis, dan dipeluk bagaikan sepasang burung manyar. 

Satu kata untuk pengalaman ini, Au Sue Ho, bahasa Rote yang saya dapat dari teman liburan.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Andi Logo

 

1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Alegori; Kumpulan Puisi Zuhal Zurrifki Hakim

Next Article

Perjalanan Mooi Indie dari Berbagai Generasi dan Subversinya Masa Kini

Related Posts