“Ah! Apaan sih! Lukisan mooi indie gitu-gitu aja, cuman gunung dan sawah.”
Barangkali kita sering mendengar penilaian semacam itu ketika berhadapan dengan lukisan-lukisan masa modern awal di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, saya sendiri pun pernah melakukan hal serupa, menganggap mooi indie hanya lukisan murahan minim konsep. Penilain seperti itu sering berangkat sebatas dari sifat lukisan mooi indie yang template, atau acap kali disebut dengan tridharma: gunung, sawah, dan pohon.
Dari penilaian tersebut, lukisan mooi indie seperti tidak memiliki spesialitas secara estetis dan seakan tidak mampu menjadi objek estetis yang menggairahkan. Terlebih di masa kini, di mana perkembangan seni rupa telah mencapai kompleksitas yang dapat menawarkan beragam kebaruan, menjadikan lukisan ini seakan barang usang.
Tak spesial lagi, rasa-rasanya, kehadiran mooi indie di mata kontemporer. Memiliki pengetahuan seni masa kini, tak jarang, membuat kita jumawa ketika harus dihadapkan kembali dan enggan untuk menapakinya kembali. Berkurangnya niatan apresiasi terhadap mooi indie itulah yang menjadi salah satu penyebab kemandekan pemaknaan terhadapnya. Muaranya adalah kebosanan bahkan dogma. Sehingga, kacamata baru dibutuhkan guna membaca mooi indie di masa ini untuk mendapatkan hal baru darinya.
***
Kemunculan mooi indie merupakan imbas kolonialisme di Hindia-Belanda ketika itu. Pihak kolonial membawa pelukis-pelukis Eropa untuk ditugaskan melukis kehidupan bumi putra. Bentang alam serta kegiatan masyarakat sehari-hari adalah idiom favorit mereka. Kebiasaan memilih subjek lukisan sedemikian rupa itu kemudian mendapatkan fungsinya untuk membantu penelitian pihak kolonial guna mengetahui lebih dalam kehidupan sebuah bangsa yang tengah dijajahnya—saat ini penelitian semacam itu kita kenal dengan antropologi.
Ekonomi liberal yang dijalankan oleh kolonialisme turut mendorong popularitas mooi indie. Kebijakan ekonomi liberal masa itu adalah mengganti pola sistem cuulturstelsel karena tidak menguntungkan bumi putra (baca: politik etis). Lantas, kaum liberal menuntut pemerintahan kolonial menyerahkan kuasa ekonomi ke tangan-tangan swasta dan diberlakukan lah sistem sewa tanah. Supaya menarik minat para pemodal Eropa untuk menanam saham, maupun sekadar rekreasi di bentang alam Hindia-Belanda, maka pihak swasta pun membutuhkan media promosi. Dalam kepentingan seperti itulah mooi indie turut bekerja sebagai media propaganda.
Lukisan mooi indie di masa itu, selain sebagai kepentingan estetika, menjadi media promosi paling mutakhir. Sebab lukisan mooi indie yang mengusung naturalisme dengan gaya realistik memudahkan muatan pesan eksotis di dalamnya terbaca masyarakat Eropa. Hal itu kemudian merayu mereka bertandang di alam mooi indie maupun sekadar mengoleksi karya lukis mooi indie.
Kondisi sosial-ekonomi di Hindia-Belanda seperti itulah yang mengakibatkan lukisan mooi indie mendapatkan banyak peminatnya. Gaya lukisan ini juga menandai kelahiran modernitas di Indonesia muda. Namun di masa berikutnya, kehadiran mooi indie berusaha di-absen-kan oleh daun-daun baru seniman Indonesia dari kancah pergolakan revolusi. Mereka menilai bahwa mooi indie tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang berusaha mencabut panji kolonialisme. Perang dan kelaparan sebagai realitas masyarakat Indonesia begitu kontras dengan mooi indie yang penuh keindahan alam tanpa bopeng.
Kemunculan kredo “Realisme Djiwa Ketok” pada 1930-an yang dicetuskan oleh Sindoedarsono Soedjojono memperkuat pengecaman terhadap mooi indie beserta para seniman yang masih menggunakan gaya melukis tersebut. Kredo itu menekankan realisme sejati adalah kebenaran yang dilandasi dengan jiwa. Sebab tanpa itu, realisme hanya material tanpa kebatinan atau sonder jiwa belaka. Maka, mooi indie yang berperan sebagai katalis ekonomi liberal kolonialisme dan gaya lukisannya yang tanpa jiwa realitas kehidupan konkret masyarakat Indonesia, berusaha ditiadakan oleh angkatan seniman revolusi Indonesia.
Di tahun 1970-an, walaupun tidak sekencang dulu, polemik mooi indie hadir kembali. Pada tahun-tahun ini muncul kelompok bernama Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI). Seniman-seniman muda yang terhimpun dalam kelompok ini berusaha merelevankan seni dengan kondisi sosial-politik saat itu (baca: orba). Serta mencari kemungkinan-kemungkinan baru kesenian pada aspek artistik juga konsep.
Dalam perjuanganya, mereka menolak kesenian yang stagnan, terlebih tidak relevan dengan tantangan zaman. Imbas dari “seni rupa baru” itu adalah mooi indie mendapatkan penolakan kembali. Bahkan menurut Yangni (2019: 19-20), di tengah gerakan “seni rupa baru” seniman muda ASRI menilai Sudjojono ketinggalan zaman dan ia dianggap kembali pada mooi indie. Golongan seniman tua yang dirasa kembali ke mooi indie, kemudian dinilai oleh kalangan gerakan “seni rupa baru” sebagai ancaman baru setelah zaman revolusi.
Kedua generasi tersebut telah menilai mooi indie memberikan sumbangsih terhadap definisi serta paradigma mooi indie yang kita pahami saat ini. Hal ini dibuktikan dengan definisi mooi indie saat ini yang masih tampak memiliki sikap untuk merendahkan pihak lain. Adanya sikap tersebut dikarenakan definisi mooi indie diwariskan dengan menggunakan perspektif generasi sebelumnya—Sudjojono, PERSAGI, GSRBI. Hal ini terlihat dalam tulisan Sudarmaji (1991: 73), yang mengatakan bahwa mooi indie hanya memiliki wawasan turistis. Penggunaan kata “hanya” mengindikasikan adanya tendensi untuk merendahkan aspek lain. Sayangnya, sampai hari ini hal tersebut masih ditanamkan dalam tengkorak masyarakat Indonesia.
Sebenarnya tidak salah mendefinisikan mooi indie dengan memakai nada merendahkan. Perlu diakui lahirnya kata mooi indie memang dari Sudjojono untuk mengkategorikan sekaligus mengejek karya seni yang banyak menampilkan keindahan alam di abad ke-19 dan hanya bermuara pada kepentingan kolonialis. Maka tidak salah juga jika pengertian mooi indie saat ini masih mengandung emosi dari para pendahulunya. Namun, akan kurang baik jika definisi tersebut dipakai sebagai pemahaman yang general atas semua karya seni mooi indie. Masyarakat Indonesia sekarang, yang telah bebas dari panji kolonialisme Eropa serta belum adanya urgensi seperti pada masa lampau, perlu mendapatkan perspektif baru dari mooi indie di luar perspektif masa silam. Sebab dalam perspektif baru itulah makna baru dari mooi indie dapat muncul kembali.

Banyaknya narasi bentang alam yang terekam dalam sajian visual mooi indie masa lampau memberikan hal baru untuk saat ini. Gambaran riil atas kondisi alam Indonesia di masa silam dalam lukisan mooi indie mampu memberikan perbandingan dengan keadaan alam Indonesia saat ini. Berfungsinya lukisan mooi indie dalam hal tersebut disebabkan sifatnya seperti fotografi. Pada masa silam, sebelum penggunaan fotografi seperti sekarang, lukisan—termasuk lukisan mooi indie—menjadi salah satu media paling mutakhir untuk merekam peristiwa dalam suatu masa, seperti dalam lukisan Basuki Abdullah berjudul “Gunung Merapi dan Kali Opak” 1935-1993. Lukisan tersebut menampilkan citra kondisi bentang Gunung Merapi sekaligus alam sekitarnya di masa lampau, yang jika dibandingkan dengan kondisi sekarang sudah pasti mendapatkan perbedaan.

Di masa mooi indie, lukisan yang diproduksi kala itu tidak selalu tentang bentang alam melainkan juga gambaran kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, lukisan yang diproduksi pada era mooi indie masa lampau juga dapat difungsikan sebagai catatan antropologi visual. Ambil contoh lukisan Raden Saleh berjudul “Potret Pasangan Jawa” 1857. Lukisan tersebut menampilkan ciri manusia Jawa di masa lampau. Di dalamnya terlihat bagaimana cara berpakaian, juga pakaian seperti apa yang dikenakan oleh masyarakat Jawa pada masa itu. Terlepas dari status sosial yang membedakan pakaian yang dikenakan, lukisan tersebut setidaknya menampilkan kehidupan masyarakat Jawa dalam komunitas tertentu.

Dalam lukisan Raden Saleh yang lainnya bahkan menampilkan jejak duka satwa Jawa. Harimau Jawa yang dinyatakan telah punah semenjak 1980-an diduga banyak terekam di beberapa lukisan Raden saleh seperti lukisannya yang berjudul “Pemburu Diserang Harimau”. Cukup banyak yang meyakini bahwa harimau dalam lukisan tersebut ber-spesies harimau Jawa.
Kedekatan mooi indie dengan kehidupan masyarakat Indonesia, membuatnya sangat kuat berakar di dalam masyarakat dan masih dihidupi hingga saat ini. Lukisan-lukisan mooi indie yang diproduksi hari ini pun barangkali memiliki perbedaan dengan mooi indie masa lampau. Perbedaan kondisi alam sebagai objek estetis dari lahirnya karya-karya mooi indie memberikan pesan baru. Salah satunya adalah mooi indie sekarang hadir bukan untuk memuja keindahan alam Indonesia, melainkan untuk “mengenang” atau bahkan “bernostalgia” bahwa Indonesia pernah memiliki jazirah hijau. Dan boleh jadi tridharma mooi indie hari ini adalah gedung, aspal dan hamparan sawah beton. Hal tersebut dibuktikan oleh para pedagang lukisan yang senantiasa berjalan kaki di antara himpitan rumah susun dan raung jalanan. Pundak yang meminggul beratnya lukisan bergambar pemandangan gunung, sawah dan sungai seakan tengah menyebarkan sebuah pesan “ironi” di tengah infrastruktur modern yang berdiri dibekas hamparan alam raya.
Daftar Pustaka
Dermawan T, Agus. 1990-1991. Perjalanan Seni Rupa Indonesia, Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini. Panitia Pameran KIAS 1990-1991.
Yangni, Stanislaus. 2019. Tiga Venus dan Tentang Seni yang Enggan Selesai. Yogyakarta: Penerbit Nyala.
Editor: Andreas Yuda Pramono
Foto: dok. Archive IVAA
2 comments