Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan per 1 Mei 2024 resmi ditutup secara permanen. Meski penutupan TPA tersebut sudah sejak pertengahan 2023 lalu, tetapi sempat dibuka untuk mengurangi kedaruratan Yogyakarta terhadap sampah. Beberapa waktu sebelumnya Sultan Yogyakarta “menghibahkan” tanahnya Sultan Ground (SG) di Cangkringan, Sleman sebagai Tempat Pembuangan Sementara (TPS).
Tak lama justru menimbulkan protes dari masyarakat sekitar, karena masyarakat memiliki kekhawatiran berbagai dimensi seperti; dampak, polusi udara, kesehatan, dan perekonomian. Akhirnya pembukaan TPS di Cangkringan dibatalkan oleh pemerintah provinsi. Imbas dari keruwetan pembuangan sampah yang tidak entah kemana membuat beberapa masyarakat membuang sampahnya di jalan ringroad, sampah rumah tangga menumpuk di beberapa rumah, atau ada juga yang membakar sampahnya karena truk pengangkut sampah tidak lagi berkeliling mengambil sampah-sampah rumah tangga.
Hal ini justru mengakibatkan permasalahan baru, ditambah Sultan sebagai Gubernur Yogyakarta terkesan menyalahkan masyarakat dengan beranggapan belum terbiasa disiplin membuang sampah yang benar pada tempatnya. Anggapan Sultan Yogyakarta yang demikian justru menimbulkan pertanyaan. Bagaimana membuang sampah yang baik dan benar? Lalu kemana Sultan membuang sampah? Agar masyarakat diberikan contoh dan panutan di mana Sultan membuang sampah.
Untuk pertanyaan pertama, beberapa media di Yogyakarta telah berhasil mendapatkan jawabannya, yakni Sultan menganjurkan masyarakat untuk memilah sampahnya dan membuangnya ke depo-depo sampah. Tampaknya setiap warga diminta untuk membuang sampahnya langsung ke depo, karena istilah desentralisasi pengelolaan sampah yang tidak jelas. Namun di sisi lain, pemerintah melakukan pemungutan retribusi sampah, di mana salah satunya adalah fasilitasi pengambilan sampah ke rumah-rumah. Hal ini seperti tidak sinkron antara satu dengan lainnya.
Padahal diketahui retribusi atas sampah mengalami kenaikan yang signifikan akibat pembatasan pembuangan sampah ke TPA Piyungan. Urusan sampah menjadi penting dan genting, sebagai kota wisata dan pendidikan, harusnya urusan begini adalah hal yang mudah. Namun tampaknya justru malah jadi ajang saling menyalahkan dan terkesan lamban. Sultan menyalahkan warga, sementara pemerintah kota/kabupaten masih menarik retribusi yang ternyata pengambilan sampah tidak berjalan, sehingga membiarkan tumpukan sampah rumah tangga tetap ada.
Pertanyaan kedua merupakan pertanyaan penasaran. Ini seperti sebuah judul buku, Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith? (Katrine Marçal). Tentu adalah ibunya, meski dengan penjelasan konsep dan proses yang panjang. Tetaplah seorang perempuan dalam buku tersebut yang melakukan kerja perawatan terhadap Adam Smith yang liberal itu. Lalu, Siapa yang Membuang Sampah Keraton? Dan Kemana Sampah itu Dibuang? Semakin kita bertanya maka kita semakin asing dalam mendapatkan jawaban.
Sebagai masyarakat umum ini merupakan suatu misteri yang besar. Pasalnya, melalui mesin pencarian sulit memberikan jawaban yang presisi. Kita perlu menggunakan cara Rocky Gerung, jika pada ketiadaan data maka kita perlu memanfaatkan otak untuk berpikir. Mungkin saja jawaban yang tersedia pada tulisan ini bisa jadi benar, hampir mendekati kebenaran, atau bahkan sebaliknya menjadi suatu jawaban imajinatif karena hasil dari proses otak yang berpikir.
Tentu yang membuang sampah di keraton adalah abdi dalem, bukan tidak mungkin sultan langsung yang membuang. Namun abdi dalem adalah sekelompok orang yang mengerjakan hal operasional. Abdi dalem ini yang melakukan pekerjaan memilah sampah yang organik dan anorganik. Namun pada suatu momen tahun lalu terdapat tumpukan sampah selama sepekan di area Alun-Alun Selatan Keraton Yogyakarta. Padahal area Alun-Alun Selatan bukanlah menjadi tempat yang digunakan oleh Sultan sebagai TPS.
Tentu ini bukan kerjaan abdi dalem, mungkin saja ini merupakaan ulah dari warga dengan KTP Non-Yogyakarta yang tidak tahu unggah-ungguh bermasyarakat. Komposisi sampah keraton didominasi oleh sampah organik dan plastik, itu bukan kata saya, itu ujar Haryo Budiman dan timnya dalam sebuah penelitian yang sepertinya dilakukan sebelum TPA Piyungan ditutup permanen.
Lantas, setelah TPA Piyungan ditutup permanen jawabannya adalah wallahu a’lam bishawab. Tetap yang akan membuang adalah abdi dalem, akan tetapi dibuang kemana setelahnya itu yang menjadi menarik karena pertanyaan ini akan menimbulkan beberapa spekulasi. Misalnya seperti sampah dibakar, sampah dilarutkan ke Laut Selatan, Sultan ternyata memiliki peliharaan monster dari mitologi Jawa yang doyan memakan sampah, sampah-sampah dilempar ke Gunung Merapi, sampah dikubur di dalam tanah, ternyata Sultan memiliki teknologi super canggih yang bisa menghilangkan sampah tanpa residu, dan lain sebagainya.
Rasa penasaran pertama adalah Sultan Yogyakarta membakar sampahnya. Kegiatan ini sangat kecil kemungkinannya dilakukan atau terjadi. Karena tentu tindakan semacam ini berakibat fatal. Sebagai kota pendidikan dan wisata, ini merupakan suatu tindakan yang mencoreng kecanggihan berpikir kota ini, apalagi sebagai salah satu anggota Majelis Wali Amanat di suatu kampus besar yang dikelilingi oleh profesor dan rasa-rasanya kolega-koleganya akan mengingatkan bahwa tindakan tersebut tidak etis atas nama lingkungan. Ditambah lagi ini akan menjadi headline di media-media internasional, karena Yogyakarta menjadi salah satu destinasi favorit bagi wisatawan asing selain Bali.
Kedua, sampah-sampah keraton dilarutkan atau dibuang ke Pantai Selatan. Sudah barang tentu Nyi Roro Kidul akan murka sebagai salah satu selir legendaris dari Raja-Raja Mataram. Kemurkaan itu justru akan menimbulkan malapetaka, bencana, atau yang paling buruknya menimbulkan pagebluk berkepanjangan. Amukan Nyi Roro Kidul bahkan bisa meratakan Yogyakarta dengan tsunami besar, misalnya.
Selanjutnya adalah fiksi yang paling menarik, di mana Sultan memelihara monster dalam mitologi Jawa, entah apa pun itu namanya. Si monster ini bisa mengunyah sampah, melumatnya hingga tak bersisa sedikit pun, tanpa ada bekas atau sampah yang tersisa. Monster ini akan baru merasa kenyang apabila diberi makan dari sampah-sampah yang ada di keraton.
Sampai suatu waktu, perutnya telah membuncit hampir meledak akibat kekenyangan. Hal itu disebabkan karena si monster mitos ini tidak hanya memakan sampah-sampah di Keraton semata, melainkan hampir seluruh sampah di seluruh penjuru Yogyakarta. Kini, si monster telah menua dan kemampuan metabolisme tubuhnya sudah tidak sesehat dahulu. Diperkirakan si monster mitos ini sudah berusia ratusan tahun hidup di dunia ini. Meski konspiratif, hal ini bisa saja terjadi. Sebab dunia ghaib tidak ada yang tahu.
Apakah mungkin sampah-sampah yang berasal dari keraton tadi dibuang ke dalam kawah Gunung Merapi. Ini suatu pertanyaan yang tampaknya hampir mungkin tapi tidak mungkin atau istilahnya too good to be true. Ide semacam ini membuang sampah ke dalam kawah gunung berapi, jika Anda cari di mesin pencari, banyak sekali yang hampir bertanya seperti itu. Beberapa jawaban menyatakan bahwa hal itu berbahaya karena tidak semua benda bisa meleleh sempurna ditelan lava. Selain itu juga dapat mencemari udara atau atmosfer bumi. Namun, mungkinkah di tengah krisis pembuangan sampah ke kawah Gunung Merapi menjadi suatu alternatif baru sebagai tempat pembuangan sampah yang abadi?
Jawaban lainnya dalam poin di atas tidak perlu dibahas secara panjang lebar. Mengubur sampah di dalam tanah tentu blunder besar karena memiliki dampak yang besar bagi ekosistem alam di Yogyakarta. Sebab dapat menimbulkan penyakit sekaligus mencemari air di dalam tanah. Efeknya sangat panjang apabila dalam kilogram sampah per bulan dikubur di dalam tanah. Poin terakhir merupakan harapan satu-satunya yang mungkin terjadi.
Namun kita masih bertanya-tanya, sebab berbulan-bulan sampah-sampah rumah tangga di Yogyakarta sudah hampir tidak pernah diangkut. Semoga dengan tulisan ini muncul kita semua warga Yogyakarta punya jawaban atas apa yang selama ini dibayarkan dalam retribusi sampah. Sangat bagus apabila retribusi sampah kami menjadi suatu teknologi yang canggih nan mutakhir mengelola sampah. Namun sejauh ini TPS belum beroperasi dan ada juga yang belum optimal. Bila lebih lama lagi mungkin Yogyakarta akan dikenal menjadi kota sampah yang menghapus citra kota pendidikan dan wisata.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: redaksi sudutkantin.com