Trickle Down Effect, Pandemi, dan Ambiguitas Pemerintah

Tahun 1920, terjadi The Great Depression, bencana paling besar bagi perekonomian dunia sepanjang sejarah. Geliat perdagangan internasional mengalami kejumudan, begitu juga dengan pendapatan perseorangan, pendapatan pajak negara, dan harga-harga barang. Di New York, harga saham jatuh amat dalam dan mencapai titik terparah pada 29 Oktober 1929. 

Mengatasi situasi ini, Herbert Hoover, Presiden AS saat itu, mengambil langkah dengan memusatkan kebijakannya untuk kestabilan bisnis. Ia memberi pinjaman pada bank-bank pemerintah dengan harapan mereka bisa beroperasi seperti sedia kala. Melalui cara tersebut, ia menganggap bahwa “pasar bebas akan mengoreksi sendiri segala kesalahan yang ada”. 

Harapan tersebut tentu tak terjadi. Akibat kebijakan yang hanya berfokus pada kestabilan bisnis, kondisi perekonomian AS makin terpuruk. Will Rogers, komedian terkenal di masa itu, datang kemudian dan mengkritik kebijakan Hoover secara satir, berkata: “Money was all appropriated for the top in the hopes it would trickle down to the needy.“. Melalui ungkapan Roogers itu, istilah trickle down effect mengemuka di dunia pembangunan.

Konsep tersebut lalu diartikan oleh ekonom Albert Hirschman (1915-2012) sebagai pentingnya peranan wilayah penggerak atau lokomotif utama pertumbuhan yang selanjutnya menyebarkan hasil-hasil pembangunan ke wilayah lain. Menurutnya, wilayah tersebut akan “mengalirkan” (trickle) sisa-sisa pembangunan ke wilayah-wilayah di bawahnya.

Trickle Down Effect dalam Pandemi Covid-19 

Di Indonesia, konsep trickle down effect juga terjadi di pandemi Covid-19. Dalam menangani pandemi, pemerintah secara terpusat hanya memfokuskan kebijakannya di Jakarta. Sentralisasi semacam itu membuat kebijakan yang sejatinya hanya tepat bagi pusat, berlaku di daerah-daerah. 

Padahal, menangani bencana yang menasional seperti pandemi, kesiapan sumber daya dan infrastruktur hendaknya diletakkan dalam kerangka kewilayahan. Menghadapi kondisi tersebut, daerah ialah sekrup-sekrup yang harus diketahui permasalahannya secara rinci, diberikan treatment khusus, lantas dicarikan jalan keluar. Tujuannya jelas: membuat sekrup-sekrup itu beres dengan fungsinya masing-masing guna memastikan mesin besar yang menaunginya berjalan baik—dan mesin itulah yang kita kenal sebagai negara. 

Masalah kengeyelan orang kosmopolit yang terjadi di Jakarta untuk tetap berkerumun di mal besar, katakanlah, tak sama dengan yang ada di Gunungkidul tempat tinggal saya, di mana ketika masa panen yang membuat ekonomi penduduk amat bergairah sekalipun, mereka gamang memilih menggunakan uangnya untuk berbelanja bahkan di supermarket kecil terdekat. Perbedaan semacam itu dapat dikembangkan terus, dan terjadi di semua daerah manapun di negara ini. 

Singkatnya, masyarakat daerah memiliki ciri khasnya masing-masing, dengan karakteristik kehidupan sosiokultural-ekonomi yang berbeda, bahkan mencolok. Maka, menganggap mengatasi masalah di Jakarta adalah sama dengan mengatasi masalah semua daerah di negara ini, kalau bukan merupakan keteledoran, ialah bentuk kemalasan pemerintah dalam merumuskan kebijakan. 

Kenyataannya, hal itu memang terjadi. Pemerintah banyak merumuskan kebijakannya dari sudut pandang Jakarta dan mengirimnya sebagai barang jadi bagi daerah. Di sini, daerah terkesan dihalangi untuk mengenal permasalahan berikut jalan keluar mereka sendiri. 

Hal ini, misalnya, tampak melalui teguran Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian terhadap inisiatif lockdown Gubernur DKI Jakarta maupun karantina wilayah Kota Tegal beberapa waktu lalu. Pemerintah di situ tampak amat otoritatif. Akibatnya, muncul ketergantungan dan relasi terpusat antara Jakarta dan daerah dalam menangani pandemi.

Di sisi lain, malahan, kita tahu bahwa Jakarta merupakan episentrum penyebaran Covid-19. Dilansir dari website resmi BNPB Indonesia, hingga Rabu (10/06/20), jumlah pasien terjangkit Covid-19 di Jakarta mencapai 8.503 orang. Angka tersebut merupakan yang tertinggi di Indonesia dibandingkan daerah-daerah lain. Cepatnya penyebaran Covid-19 di Jakarta juga menyebabkan pandemi tersebar ke daerah di sekitarnya seperti Bogor, Depok, dan Bekasi.

Di titik ini, dapat kita pahami bahwa Jakarta menempati posisi puncak dalam trickle down effect. Ia tak ubahnya seperti kebijakan Hoover dalam menghadapi The Great Depression: selain mewakili sentralisasi kebijakan, Jakarta juga “menyumbang” kasus positif terbanyak, menyebabkan tersebarnya pandemi ke kota lain. Maka, ibukota negara kita ini mengalirkan (trickle) kebijakan namun juga masalah di saat yang sama ke daerah lain: ini lebih satir dari yang diungkapkan Rogers.

Apa yang Dilakukan Pemerintah?

Sejak ditemukannya pasien positif pertama di Indonesia pada Senin (02/03/20) lalu, pasien terjangkit Covid-19 hingga Rabu (10/06/20) mencapai 33.076 orang. Dengan kasus sebanyak itu, jelas bahwa sentralisasi kebijakan tak berhasil menghambat penyebaran Covid-19. Namun, kita lihat langkah pemerintah mengatasi kondisi buruk itu.

Februari lalu, Jokowi memberikan diskon 50% bagi turis asing yang hendak berwisata ke Bali, Bintan, dan Labuan Bajo guna menggenjot kembali aktivitas pariwisata yang sempat menurun. Sikap ini mirip dengan yang dilakukan Hoover puluhan dekade lalu: di tengah sebuah krisis besar, presiden terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi.

Namun saat ini, sikap presiden telah berubah. Melalui sebuah video streaming di Istana Kepresidenan Bogor Jumat (20/3/20) lalu, Jokowi menyatakan akan mengerahkan semua kekuatan guna menghadapi pandemi. Ia berkata bakal mengoreksi pertumbuhan ekonomi dan merelokasi anggaran pemerintah. 

Tapi sejatinya, ungkapan tersebut tak menunjukkan apapun, selain kegagapan. Pernyataan presiden yang tak konsisten itu justru menunjukkan bahwa pemerintah telah kebingungan menghadapi masalah. Itu juga tercermin dari press release, inkonsistensi kebijakan, juga pernyataan terbuka para pejabat publik yang seringkali bertolakbelakang. Akhirnya, masyarakat juga mengalami hal yang sama. 

Kebingungan tersebut, misalnya, tampak pada pernyataan Jokowi tentang larangan mudik. Ia menyebut bahwa “mudik” berbeda dengan “pulang kampung”. Perdebatan dan respon publik lalu hadir di mana-mana. Masyarakat menyebut bahwa Jokowi sengaja mempersoalkan hal sepele di tengah kondisi darurat. 

Contoh lain, Selasa (12/05/20) lalu pemerintah mengeluarkan izin bagi penduduk berumur di bawah 45 tahun untuk kembali bekerja. Alasannya, mereka dianggap punya kekebalan tubuh yang baik. Di tengah kebutuhan mendesak untuk membatasi mobilitas fisik guna menghambat penyebaran penyakit, pernyataan itu jelas berseberangan dengan garis penanganan krisis yang saat ini masih berlangsung: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Hal-hal di atas membuktikan bahwa pemerintah memang tak punya kemampuan dalam mengatasi masalah. Selain bingung, mereka hanya menyiapkan rencana yang kabur. Sentralisasi kebijakan di Jakarta yang dilakukan sebelumnya juga telah gagal. Akhirnya, langkah-langkah yang ditempuh pemerintah ialah melalui penciptaan informasi yang penuh ambiguitas dan membuat masyarakat bingung.

Ambiguitas: Sebuah Langkah

Dalam hal penanganan krisis, penciptaan ambiguitas memanglah sebuah strategi. Eisenberg dan Goodall (1997) menamainya strategic ambiguity, yang menurut (Weick, 1998) dilakukan ketika pemerintah tak mampu memutuskan strategi komunikasi dalam penanganan krisis sehingga pilihan terakhir adalah “mengambil aksi tertentu kemudian melihat apa yang terjadi”. 

Dengan adanya informasi ambigu yang membuat masyarakat bingung, muncul interpretasi bermacam-macam terhadap pandemi yang terjadi. Karena bingung, masyarakat bahkan tak akan tahu apa yang harus dilakukan. Sementara memprotes kebijakan pemerintah yang seadanya pun juga akan tampak kurang berdasar, mengingat di tengah kebingungan, orang tak tahu letak sebuah kesalahan dan bagaimana seharusnya sesuatu berjalan.

Lewat ambiguitas dan kebingungan, pemerintah kini tengah menghadapkan kita pada jalan membentang yang, seperti kata Weick, bakal menampakkan “apa yang terjadi” ke depan. Hal misterius yang tak kita tunggu-tunggu itu mungkin menyuguhkan banyak peristiwa besar: terjadinya herd immunity, kematian puluhan ribu orang, hingga ekonomi yang kolaps—walaupun ada yang sedang mati-matian membangunnya. 

Di sini, masyarakat tak akan bisa menantang hal buruk. Mereka akan pasrah namun dengan berani tak berpegangan tangan dengan siapapun: tak lagi mempercayai presiden, akan membenci pemerintah dan politisi, lantas menjadi betul-betul independen. Dalam kepasrahan itu, orang bakal sibuk membuat dapur masing-masing mengepul, sementara malamnya—yang tak bisa dipastikan apakah di tubuh mereka bersarang penyakit atau tidak—memanjatkan doa-doa dalam ruang rumah yang sunyi: mengharap keselamatan di masa-masa sulit. Dan, cerita ketololan Hoover tinggal dongeng yang tak lagi relevan sama sekali.

 

Referensi

Eisenberg, E. M. dan Goodall, H. L, 1997, Organizational Communication: Balancing Creativity and Constraint (2nd ed.), New York: St Martin’s Press.

Weick, K, E, 1988, Enacted Sensemaking in Crisis Situations, Journal of Management Studies 25 (4), DOI: 10.1111/j.1467-6486.1988.tb00039.

 

*) Opini karya Selando Naendra. R, juara 2 dalam Sayembara Penulisan Sastra “Bersama Lawan Corona” Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma, 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts