FSTVLST II, Perihal Merawat Cita-cita dan Isu Sosial

Unit ‘almost rock barely art’ asal Yogyakarta, FSTVLST, akhirnya resmi merilis album keduanya berjudul FSTVLST II. Simak ulasan berikut ini!

Tahun 2020 mungkin tidak memberikan banyak kesempatan kita untuk memiliki memori yang indah. Dari segelintir yang tersedia, kabar bahwa FSTVLST (baca Festivalist) akhirnya selesai meramu album kedua bisa jadi satu yang paling menggembirakan.

Unit almost rock barely art asal Yogyakarta ini akhirnya resmi merilis album keduanya berjudul FSTVLST II. Album ini berselisih enam tahun dari album sebelumnya HITS KITSCH (2014). 

Ada kesan mendadak saat peluncurannya tanggal 15 Juni 2020. Disiarkan langsung dari akun Instagram @fstvlst, panggung yang ditampilkan cukup sederhana. Bahkan, set drum harus bertukar posisi dengan komputer jinjing. 

Sekelebat fisik, album ini menambahkan suasana kuning sebagai pengayaan dari hitam-merah di album sebelumnya. Selain itu, judul lagu di album ini hanya menggunakan satu kata. Atau lebih spesifik, hanya terdiri dari dua suku kata saja, kecuali pada lagu Gas!.

Sebenarnya single pertama itu sudah rilis di Youtube sejak 9 September 2018.  Track Gas! rilis dan dimainkan tepat di hari FSTVLST tampil di Soundrenaline 2018

Suatu dini hari, saat algoritma membawa videoclip itu ke hadapan saya. Mata merembih di sela ketukan drum dan melodi. Belum lagi saat bergulir ke kolom komentar, menyimak cerita-cerita orang tentang menjalani hidup yang lampau jauh dari rencana, membuat dada kian gemuruh.

“Berjalan tak seperti rencana // adalah jalan yang sudah biasa // dan jalan satu-satunya // jalani sebaik-baiknya” 

FSTVLST II dirilis berurutan di laman fstvlst.id. Butuh dua tahun untuk bisa mendengarkan sembilan track dari album ini. Padahal, hanya butuh 37 menit untuk menyelesaikan album ini dalam sekali duduk. Semua bisa mendengarkan dengan mendaftar untuk mendapatkan Nomor Induk FSTVLST (NIF). Sekarang, album ini bisa didengarkan di berbagai pasar musik daring.

Kalau tidak salah, Rupa sebagai lagu kedua hadir tepat sehari sebelum Pemilu Presiden 2019 diadakan. Tentu tidak perlu banyak penjelasan mengenai hubungan lagu dan waktu luncurnya. Sepenggal lirik ini akan lebih menjelaskan.

“Mengubah rupa // mengarang cerita // bersilat kata // memalsukan citra // mahir berdalih // seolah selalu sahih // khianati nalar // mencurangi rasa”

Lagu ini bisa jadi pilihan soundtrack berangkat ke tempat coblosan yang lalu atau yang akan datang. Seperti dirasakan bersama, pemilu begitu menguras energi rakyat. Semua itu rasa-rasanya terangkum dalam lagu ini.

Nomor berikutnya menampilkan Vegas dengan tempo yang sedikit mereda. Sulit untuk tidak mengasosiasikan judulnya dengan ibukota judi dunia Las Vegas di Nevada. Padahal, kata vegas berasosiasi dengan berbagai hal misalnya, memiliki rencana dan ide yang besar, senang memberi hadiah, penuh keyakinan, dan penolong. Tentu saja masih banyak kemungkinan Vegas beasosiasi dengan maksud yang mana.

Sedangkan, lagu ini bercerita tentang kemuakan terhadap seseorang yang berbusa-busa dengan retorika kosongnya sendiri. Belakangan, orang-orang seperti itu lazim kita temui seliweran di layar kaca atau tampil jadi penggalan video di dunia maya. Liriknya sendiri berhasil mendeskripsikan sosok ini dengan presisi.

“Berwujud sempurna // mengkilat tanpa noda // tampak bijaksana // seakan moralnya nircela”

Mesin menghentak di tengah album ini. Meminjam dua kalimat dari lirik Hujan Mata Pisau, lagu ini berbicara tentang para pekerja, buruh. Lagu ini bisa jadi teman bagi siapa saja yang belum mendapatkan haknya dengan layak. Sebab sejatinya kita semua adalah,

“Roda gigi berkelindan // menjadi sebuah mesin”

Dengan intro yang sedikit gelap dan vokal yang bersaut-sautan, Syarat jadi lagu selanjutnya. Kata kunci pertama yang muncul setelah mendengarkan lagu ini adalah percaya. Ajakan memercayai harapan dan merawatnya.  Mungkin saja ini adalah sekuel dari lagu Gas! dengan suasana tafakur. 

Berikut, sejatinya adalah lagu pertama yang didengarkan publik sekitar lima tahun lalu. Telan atau judul awalnya Telan Cakrawalanya terhimpun dalam kompilasi Doggyhouse Records bertajuk Doggybarks Compilation Vol. 1. Tentu saja saat itu belum ada yang tahu kalau lagu tersebut adalah materi album berikutnya.

Lagu ini adalah bentuk kekecewaan atas keadaan lingkungan hidup yang kian tergerus oleh manusia. Sampah dan perusakan alam jadi tontonan sehari-hari.

“Sumpal sungainya // pangkas gunung-gunungnya // bedil satwanya // beton sawah-sawahnya // keruk tanahnya // babat pohon-pohonnya // sampahi langitnya // asapi udaranya”

Track berikutnya adalah yang paling singkat dibanding lainnya. Hayat selalu membuat vokalisnya harus macak rapper. Lirik lagu ini adalah yang paling komikal dari semua lagu FSTVLST. Lirik yang lugas membuat pendengar langsung mengerti siapa yang ingin dituju. 

“HTM ke surga banderol presalenya berapa // Konon kabarnya sudah ada banyak calonya // Bahkan katanya sudah rilis bintang tamunya // Kami sepertinya nunggu jebolannya.”

Dua lagu berikutnya adalah yang terakhir dirilis dari album ini. Kamis seperti judulnya merujuk pada aksi Kamisan yang sudah ada sejak 2007. Curi baca dari Kompas.id, lagu ini sebenarnya sudah selesai setahun yang lalu. Namun, sempat ada keraguan untuk membicarakan aksi penuntasan penyelesaian kejahatan hak asasi manusia itu.

Lagu ini sendiri menceritakan perasaan kehilangan orang-orang yang dicintai. Aksi Kamisan terwakili dengan payung hitam dalam penggalan lirik ini.

“Di balik payung hitam ini // Di balik awan hitam nanti // Selama masih bermatahari // Hitam ‘kan menagih janji”

Pungkasan, ada Opus jadi akhir dari album ini. Opus bisa saja merujuk pada kata ‘karya’. Namun sekali lagi, tentu masih banyak kemungkinan lainnya. 

Sebagai penutup dari album ini, Opus berhasil menjalankan tugasnya. Membayangkan lagu ini dipentaskan setelah satu setlist panjang saja sudah membuat bergidik. 

Di kepala saya, nomor ini telah menjadi anthem layaknya lagu Kita milik Sheila on 7.

Semua lagu di album ini tadinya akan dikemas dalam bentuk cakram padat seharga Rp50.000,-. Namun, ajakan menabung untuk membeli album tersebut dibatalkan. Alasannya, uang tersebut akan lebih berguna ketika digunakan untuk hal yang lain di masa pandemi ini.

FSTVLST II adalah ajakan untuk merawat cita-cita. Selain itu, masalah sosial yang diangkat pada album kedua ini juga lebih kentara dibanding sebelumnya. Yang patut disyukuri, untung saja lagunya masih bisa untuk sing along.

Akhirulkalam, mendengarkan FSTVLST adalah perjalanan sejak remaja yang hingar bingar. Mengisi malam minggu dengan jathilan sudah jadi agenda wajib. Selalu berhasil menemukan satu-dua teman untuk berangkat merayakan akhir pekan adalah bonus lainnya. Berbagai macam panggung selalu diusahakan. Pentas di ruko distro, jalan raya yang lengang, atau art space yang sesak selalu berhasil membuat penonton kesurupan. 

Sekarang, ingatan akan peristiwa itu mendesak untuk diulang pada album kedua ini. Namun, tentu saja keadaan masih belum memungkinkan. Sebab itu, saling jaga sampai panggung dihelat kembali adalah keharusan. 

Ketika saat itu tiba, semoga beberapa teman tidak lantas tenggelam dalam rutinitas pekerjaan atau sibuk dengan keluarga barunya. Jika demikian, saya tentu akan tetap berangkat dengan tidak lupa jungkatan dan berdiri agak mundur sedikit dari orang-orang di kerumunan. Gas!


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: FSTVLST Spotify

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

potret april untuk beby halki

Next Article

Trickle Down Effect, Pandemi, dan Ambiguitas Pemerintah