Awal mengetahui sebuah pesantren rakyat yang bernama Tri Mulyo Jati terjadi ketika kami melakukan kunjungan studi. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama di pesantren ini, terdapat beberapa aspek dan nilai penting yang terbentuk dari citra pesantren tersebut sehingga mampu memberikan sebuah nuansa berbeda.
Citra tersebut seakan membawa pesona berbeda yang dapat memantik perspektif dalam memahami Pesantren Tri Mulyo Jati yang tidak seperti kebanyakan pesantren lainnya. Pesantren pada umumnya dipandang sebagai sebuah lembaga pendidikan agama. Agama oleh beberapa masyarakat seringkali dianggap berseberangan dengan seni, seakan agama dan seni adalah dua hal yang tidak bisa berjalan beriringan. Hal tersebut dimentahkan pada kasus di pesantren ini, Pondok Pesantren Tri Mulyo Jati mencoba menyelaraskan ajaran yang bersifat agamis dengan seni
Eskalasi yang dilakukan Pesantren Tri Mulyo Jati ialah ia tidak hanya sebatas mentransmisikan serta mengembangkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum pada para santrinya, melainkan juga memfokuskan pada ilmu seni budaya. Hal tersebut menjadi sebuah aspek penting dalam citra ataupun karakter yang dibangun pada pesantren tersebut serta mencerminkan nama “Tri Mulyo Jati” yang memiliki arti Tiga Kemuliaan yang Kuat.
Pesantren yang terletak di Desa Panggang, Gunung Kidul ini mengupayakan pelestarian seni dan budaya dengan menanamkam pengembangan individu bakat terampil pada para santri dalam melakukan praktik seni tradisional yang merupakan warisan kebudayaan leluhur. Upaya tersebut berelasi dengan harapan dari Prof. Koentjoro selaku pendiri pesantren Tri Mulyo Jati untuk tetap mempertahankan serta melestarikan seni dan budaya lokal di zaman kontemporer. Sebab, pada seni dan budaya lokal memiliki nilai-nilai kehidupan yang tinggi sehingga sangat penting untuk memupuk kesadaran sedari dini.
Para santri Pesantren Tri Mulyo Jati tidak hanya memperkenalkan malainkan juga diajak untuk bersentuhan secara langsung dengan praktik seni dan tradisi lokal sehingga para santri memiliki pengalaman estetis yang lebih mendalam, salah satunya ialah instrumen musik gamelan. Pesantren ini memfasilitasi para santri dengan menyediakan satu set perangkat gamelan untuk dijadikan sebagai wahana mereka berproses dan memahami praktik berkesenian gamelan.
Tidak hanya sebatas pada praktik, para santri juga diperkenalkan terhadap nilai-nilai agama, moral, dan sosial yang terdapat pada praktik bermain gamelan yang dapat di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran gamelan dalam pesantren ini menggambarkan bahwa gamelan juga mampu menjadi media belajar baik untuk yang sifatnya sosial maupun religius. Banyak nilai-nilai yang terkandung di dalam gamelan. Misal, dalam konteks nilai sosial gamelan mengajarkan toleransi.
Dalam pengetahuan karawitan Jawa dikenal istilah mad sinamadan, suatu konsep tentang toleransi yaitu menjaga sikap untuk saling menghargai, tidak mendahului, dan menghormati antar instrumen, tabuhan, maupun penabuh. Konsep ini menjelaskan bahwa dalam gamelan segala sesuatunya harus selaras, tidak boleh memiliki sifat berusaha untuk menjadi yang paling menonjol di antara yang lain karena itu akan merusak harmoni yang ada.
Kemudian ada istilah wang sinawang yang berarti saling melihat. Dalam gamelan kita diharuskan untuk saling melihat satu dengan yang lain, artinya kita harus tetap berkomunikasi dan melihat kondisi yang ada pada disekitar kita. Sebagai seorang penabuh kita tidak boleh egois dan menutup mata pada keadaan sekitar. Kepekaan kita ditumbuhkan melalui praktik gamelan, sehingga membentuk diri kita sebagai manusia yang peka dengan sekitar.
Selain itu, terdapat nilai-nilai demokrasi dalam gamelan. Nilai-nilai ini terepresentasikan dalam bermain gamelan, permainan dipimpin oleh instrumen kendang atau dikenal dengan istilah pamurba irama, yang berarti pemimpin irama. Kendang selain berperan sebagai pemimpin irama atau tempo, biasanya juga berperan sebagai yang mengawali transisi bagian lagu misal dari bagian A ke bagian B dan penabuh-penabuh yang lain harus peka terhadap pukulan transisi dari kendang ini. Pemain kendang dituntut untuk bisa memimpin sebuah sajian gamelan utamanya dalam hal mengatur irama atau tempo sebuah sajian.
Namun demikian, dia tidak boleh semaunya sendiri bahkan muncul hasrat ingin paling menonjol karena hal-hal tersebut dapat merusak harmoni dari sebuah sajian yang disajikan. Artinya, melalui gamelan kita dapat belajar tentang kehidupan khususnya yang sifatnya sosial. Empati, kepekaan, toleransi, hingga kepemimpinan semuanya dapat dipelajari melalui belajar gamelan.
Hal-hal semacam itu disadari oleh pembina, pengurus, dan pengajar pada pesantren ini, sehingga mereka menghadirkan kesenian sebagai salah satu media bagi santri-santrinya untuk mampu belajar hal-hal yang sifatnya sosial maupun keagamaan. Pendekatan tersebut dilakukan untuk membangun kedekatan antara praktik seni dan kehidupan sehari-hari yang saling memiliki dampak maupun pengaruh, serta untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai kontekstual pada warisan budaya. Terlebih edukasi terkait pemahaman seni dan budaya lokal mulai digaungkan sedari dini sehingga para santri sejak muda sudah memiliki ikatan serta kedekatan pada warisan seni dan budaya untuk tetap di lestarikan.
Pemaparan terkait praktik kesenian budaya lokal oleh Pesantren Tri Mulyo Jati tidak hanya menyasar kepada santri melainkan juga kepada ibu-ibu dari masyarakat sekitar, yakni dengan melestarikan kesenian Gejog Lesung yang sudah terancam punah. Gejog Lesung merupakan sebuah ansambel musik kesenian lokal yang dahulunya dilakukan setelah waktu panen padi tiba. Cara memainkan gejog lesung ialah dengan menumbuk alu (kayu panjang) ke permukaan lesung dengan secara bergantian sehingga menghasilkan sebuah irama bunyi yang khas, kemudian diiringi oleh nyanyian dan tarian.
Kesenian Gejog Lesung banyak ditemukan di masyarakat Jawa karena memang pada dasarnya terletak dalam wilayah agraris. Namun, yang membedakan Gejog Lesung Tri Mulyo Jati dengan yang lainnya adalah kesenian Gejog Lesung di pesantren ini dipraktikkan oleh ibu-ibu masyarakat sekitar. Eksplorasi dilakukan secara bersama-sama hingga pada akhirnya mereka secara mahir mampu menyajikan komposisi-komposisi Gejog Lesung yang luar biasa.
Dari pengamatan kami melihat bagaimana pemahaman akan pembagaian pola pukulan sudah ada, di mana secara pola pukulan terbagi menjadi 5 pola dengan mempertimbangkan frekuensi pukulan yang dihasilkan; rendah (bass), tinggi (treble), sedang (mid), maupun pukulan-pukulan yang berfungsi menjadi motif. Artinya, walaupun ibu-ibu tersebut tidak menempuh jenjang pendidikan musik secara formal tetapi pemahaman musikal dari mereka tetap tumbuh, termasuk pada bagaimana mereka menamakan pola-pola pukulan tersebut dengan istilah-istilah lokal yang ada di sekitar. Hal ini menunjukan bahwa proses pembelajaran akan sesuatu tidak melulu harus dilakukan melalui pendidikan formal, belajar dari alam sekitar pun merupakan sebuah proses belajar dengan model belajar “mengalami”.
Upaya dalam menjalankan dan mempertahankan kesenian Gejog Lesung yang dilakukan oleh pesantren Tri Mulyo Jati merupakan suatu hal yang layak diapresiasi, sebab kesadaran akan hal tersebut sangat jarang ditemui bahkan pada institusi seni besar yang telah established. Hal tersebut menjadi bukti upaya pesantren ini dalam mengembangkan bakat individu dan mempengaruhi masyarakat sekitar untuk membangun karakter dalam melestarikan kesenian lokal secara bersama-sama.
Seni pada umumnya seringkali dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hiburan, pertunjukan, dan lain sebagainya. Pandangan ini tidak salah, karena memang pada dasarnya seni mengandung nilai estetis dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hiburan, panggung, pertunjukan menjadi ruang untuk hadirnya nilai-nilai estetis tersebut.
Namun, jika kita lihat lebih dalam lagi seni ternyata memiliki daya lebih dari sekadar itu. Seni mampu berperan pada persoalan-persoalan yang ada pada masyarakat, yaitu tentang bagaimana peran seni dalam pemberdayaan masyarakat maupun menjadi media katarsis bagi masyarakat. Seni secara umum berfungsi lebih dari sekadar untuk hiburan, Dapat kita cermati bagaimana seni berfungsi pada urusan-urusan yang lebih luas dan mendalam, utamanya yang berkaitan dengan bagaimana seni mampu menjadi jalan bagi masyarakat untuk berkembang dan berdaya.
Pesantren Tri Mulyo Jati merupakan salah satu contoh yang dapat kita lihat bersama dalam melakukan praktik edukasi seni yang dinamis dan menyenangkan. Tidak seperti pesantren kebanyakan, pesantren justru dinilai mampu membangun nuansa baru dengan menghadirkan seni sebagai salah satu pendekatan untuk mendorong nilai-nilai moral dan sosial dalam kehidupan yang diemban oleh para santri yang juga berdampak pada masyarakat sekitar.
Upaya dalam melestarikan warisan kesenian dan budaya lokal yang dilakukan oleh Pesantren Tri Mulyo Jati merupakan sebuah semangat yang harus di refleksikan oleh institusi seni lainnya karena ia mampu memperkuat identitas budaya lokal sehingga tidak terjebak dalam kolonialisasi oleh arus barat. Melalui program yang dihadirkan oleh pesantren dalam menjembatani seni untuk dapat beririsan langsung dan berdampak positif dalam masyarakat sehingga membentuk sebuah citra sebagai katalisator yang mampu memberikan motivasi pada lingkungan sekitar. Upaya pengembangan bakat dan pelestarian seni dan budaya lokal pada santri sedari dini serta beberapa lapisan masyarakat merupakan sebuah langkah taktis untuk membangun pondasi dalam mempertahankan warisan seni dan budaya yang diberikan oleh nenek moyang.
Penulis: Riza Alif Aulia, Juanda M Arvis
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Riza Alif Aulia