Dunia sedang menghadapi pandemi virus corona. Pandemi ini disebabkan virus yang oleh ahli virus disebut SARS-CoV-2 dan menyebabkan penyakit COVID-19. Kedua nama resmi ini dibuat oleh International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV). Pandemi ini menyebar pada semua negara di dunia dan – saat tulisan ini dibuat – menjangkiti lebih dari sepuluh juta orang.
Indonesia tidak terelakkan dari pandemi ini. Kasus penderita pertama dan kedua diumumkan sendiri oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Semua provinsi dan 452 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia telah melaporkan kasus positif. Virus corona menghambur di hampir seluruh wilayah di Indonesia: di kota maupun desa, pada yang tua maupun muda, tanpa memandang kelas sosial apapun.
Bersamaan dengan pandemi, muncul berbagai kosakata (baca: bahasa) baru yang kemudian dipercakapkan masyarakat dalam aktivitas keseharian. Istilah medis yang biasanya asing seperti droplet, rapid test dan swab test hadir dalam pemberitaan media massa hingga menjadi bagian pembicaraan di gardu ronda. Pun kosakata lain yang tidak berhubungan dengan istilah medis juga mencuat seperti webinar untuk mewakili seminar daring, WFH (work form home), dan BDR (belajar dari rumah) karena kegiatan pengumpulan orang banyak tidak dianjurkan. Paling menarik, karena menyangkut kepentingan publik nasional, adalah kosakata politik yang lahir karena pandemi seperti lockdown, karantina wilayah, dan PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
Fenomena bahasa ini, utamanya bahasa politik, memengaruhi dan mencerminkan kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi. Ketidakjelasan strategi pemerintah ditandai berbagai pilihan bahasa yang digunakan. Pilihan bahasa dalam komunikasi publik ini kemudian membuat kerancuan dan kebingungan masyarakat. Tulisan ini akan melihat bagaimana bahasa politik menjadi perkara yang problematik selama pandemi berlangsung.
Bahasa Politik dalam Pandemi
Bahasa memiliki peran penting dalam proses berpikir manusia. Melalui bahasa, wacana yang dimiliki manusia dapat diteliti. Wacana mengatur dan membatasi bahasa komunikasi yang dikatakan atau ditulis pemilik wacana tersebut (Taylor, 2014). Mengenai mengatur, Wiggins dan Potter (2008) menjelaskan bahwa wacana mengonstruksi perbendaharaan kata, pilihan kata, idiom, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, wacana juga berorientasi pada tindakan yang berarti bahasa yang dikatakan dan ditulis kemudian diwujudnyatakan dalam tindakan (Wiggins & Potter, 2008).
Pilihan bahasa politik yang problematik ini mulai muncul bahkan ketika virus corona belum dilaporkan di Indonesia dan belum ditetapkan sebagai pandemi. Beberapa menteri memberikan komentar mengenai virus corona ini. Salah satunya adalah pendapat Menteri Kesehatan Terawan untuk mencegah virus corona dengan cara “enjoy saja” (26/01/2020). Ada pula Menteri Perhubungan Budi Karya yang berseloroh bahwa “COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing” (17/02/2020). Kedua pendapat ini bernuansa meremehkan bahaya virus corona.
Kedua pendapat tersebut kemudian diikuti dengan kebijakan yang sembarangan. Di sektor kesehatan pada awal pandemi, tenaga kesehatan kesulitan mendapatkan alat pelindung diri yang sesuai dengan standar. Pembatasan mobilitas manusia, yang menjadi tanggung jawab sektor perhubungan, malah terlambat dilakukan sehingga virus corona menyebar ke semua provinsi. Bahkan potongan harga tiket pesawat sempat diberikan dengan dalih menggenjot sektor pariwisata. Padahal pembatasan mobilitas manusia menjadi salah satu kunci menekan penyebaran virus corona.
Orang nomor satu di negara ini pun tidak luput untuk berbahasa dengan problematik. Dalam sebuah wawancara menjelang bulan Ramadhan Mei 2019, Jokowi menyatakan akan melarang mudik lebaran namun tetap mengizinkan pulang kampung. Pernyataan ini menjadi polemik karena pulang kampung sebenarnya merupakan definisi dari mudik. Polemik semakin menjadi karena Menhub Budi Karya berpendapat sebaliknya bahwa “mudik dan pulang kampung itu sama dan sebangun. Jangan buat itu dikotomi. Jadi enggak ada perbedaan”.
Kedua pendapat yang berseberangan ini pun membingungkan. Tidak hanya masyarakat yang bingung untuk bertahan di perantauan atau tetap pulang kampung. Bahkan aparat yang bertugas di lapangan pun kebingungan. Hanya di jalur keluar Jakarta saja, memang terdapat 94.575 kendaraan yang diminta putar balik sejak 24 April-28 Mei, namun malah terdapat 465.582 kendaraan yang bebas melengang sejak 17-23 Mei saja.
Bahasa yang problematik ini juga muncul dalam komunikasi publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Gugus tugas ini bertanggung jawab langsung kepada presiden. Misalnya ketika model sekaligus dokter Reisa Broto Asmoro ditunjuk menjadi salah satu juru bicara pemerintah dalam laporan harian perkembangan kasus virus corona. Penunjukan ini kemudian dipermasalahkan Ombudsman karena ketidakjelasan proses seleksi, kriteria, dan akuntabilitas informasi yang disampaikan. Warganet pun ramai memperbincangkan kejadian ini dan memperkirakan penunjukan Reisa lebih karena latar belakangnya sebagai selebritis. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah kemudian mengundang motivator Merry Riana untuk memberi motivasi pada masyarakat yang sayangnya malah bias kelas sosial. Hal-hal aneh ini sebenarnya tidak mengejutkan karena sebelumnya pemerintah menyatakan bahwa strategi penanganan virus corona menggunakan pendekatan psikologis 80% dan hanya sisa 20%-nya pendekatan medis.
Sejumput kecil rentetan pernyataan dan kejadian yang problematik di atas merupakan wujud nyata dari Protokol Komunikasi Publik Penanganan COVID-19 yang dibuat oleh Kantor Staf Presiden. Dalam dokumen tersebut, istilah “tenang” mendominasi dengan muncul dalam bagian latar belakang, tujuan komunikasi, pilar komunikasi publik, narasi utama, dan pendekatan yang dilakukan. Pendekatan untuk “jangan gunakan kata ‘genting’, ‘krisis’ dan sejenisnya” dalam dokumen tersebut menjadi akar utama pernyataan dan kejadian yang problematik selama pandemi.
Pernyataan, kebijakan, dan protokol komunikasi ini lahir dari dan memperlihatkan wacana yang dimiliki pemerintah adalah wacana “bukan krisis”. Wacana ini bisa dilihat sebagai penyangkalan pada kondisi krisis yang disebabkan pandemi ini. Padahal faktanya, seluruh dunia kini sedang menghadapi krisis yang sama. Kita telah membaca dan mendengar ke-“tenang”-an, “enjoy”, dan kelakar yang hadir memperlihatkan tanggapan bahwa pandemi biasa saja atau bahkan meremehkan pandemi. Penyangkalan ini kemudian dapat kita lihat dalam penanganan pandemi yang berantakan dan kebijakan pembiaran mobilitas manusia seperti pada masa “bukan krisis”.
Wacana “bukan krisis” ini merupakan wacana yang sembrono dan menghambat penanganan pandemi sehingga berlarut-larut.
Sadari Krisis!
Menghadapi pandemi yang bisa mengancam nyawa siapa saja perlu dimulai dengan kesadaran (baca: kepemilikan wacana) bahwa situasi yang dihadapi merupakan krisis. Kesadaran ini dapat dibangun mulai dari konteks individu dan komunitas. Kesadaran terhadap krisis akan memunculkan tindakan pencegahan pribadi proporsional seperti jaga jarak, cuci tangan dan memakai masker yang disiplin sebagai kebutuhan dan bukan sekadar mematuhi himbauan yang ada. Memiliki kesadaran krisis ini dapat menahan kebutuhan tersier macam berwisata atau sekadar nongkrong selama pandemi berlangsung.
Wacana kesadaran terhadap krisis ini, terutama dan mendesak, harus menjadi kesadaran dalam struktur pemerintahan. Tanpa wacana ini, penanganan pandemi virus corona akan terus jalan di tempat. Hanya dengan kepemilikan wacana ini, pemerintah dapat mencegah tindakan sembrono dan menangani pandemi dengan serius. Wacana krisis mutlak dimiliki agar mampu memperkirakan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi. Baru setelah perkiraan kemungkinan terburuk ini dibuat, strategi dapat dibuat, dan eksekusi penanganan pandemi virus corona yang efektif dapat terwujud.
*) Esai karya Robertus Krisnanda Windhartoko, juara 1 dalam Sayembara Penulisan Sastra “Bersama Lawan Corona” Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma, 2020.
Referensi:
[1] Virus corona akan menjadi istilah yang dipakai dalam tulisan ini untuk kemudahan pembaca.
[2] World Health Organization, “Naming the coronavirus disease (covid-19) and the virus that cause itu”, diakses pada 3 Juli 2020.
[3] Kompas, “Fakta lengkap kasus pertama virus corona di indonesia”, diakses pada 3 Juli 2020.
[4] Liputan 6, “18 provinsi dengan penambahan kasus positif covid-19 di bawah 10 per 2 juli 2020”, diakses pada 3 Juli 2020.
[5] Taylor, S. (2014). Discourse analysis. Encyclopedia of critical psychology (pp. 449-451). Teo, T. (Ed). New York, NY: Springer Reference.
[6] Wiggins, S., Potter, J. (2008). Discursive psychology. The sage handbook of qualitative research in psychology (pp.73-90). Willig, C., & Rogers, W. S. (Eds). Thousand Oaks, CA: Sage.
[7] Warta Ekonomi, “Virus corona makin ganas, menkes bilang: enjoy aja!”, diakses pada 3 Juli 2020.
[8] https://republika.co.id/berita/q5ul4k409/kelakar-menhub-kita-kebal-corona-karena-doyan-nasi-kucing pada 3 Juli 2020.
[9] Tempo, “Tenaga medis mulai kekurangan apad untuk tangani pasien corona”, diakses pada 3 Juli 2020.
[10] Tirto, “Positif corona, pemerintah tetap diskon tiket pesawat domestik”, diakses pada 3 Juli 2020.
[11] Kumparan, “Beda pemahaman jokowi dan menhub soal makna mudik-pulang kampung”, diakses pada 3 Juli 2020.
[12] Ibid.
[13] Kompas, “Larangan mudik sejak 24 april, total 94.575 kendaraan disuruh putar balik”, diakses pada 3 Juli 2020.
[14] Kompas, “Ada pandemi, total arus mudik lebaran 2020 tercatat 465.582”, diakses pada 3 Juli 2020.
[15] CNN Indonesia, “Ombudsman pertanyakan status reisa di gugus tugas covid-19”, diakses pada 3 Juli 2020.
[16] Kompas, “Gandeng dokter reisa hingga merry riana, upaya pemerintah perbaiki komunikasi soal covid-19?”, diakses pada 3 Juli 2020.
[17] Detik, “Bnpb ungkap strategi lawan corona: 80% pendekatan psikologis, 20% pendekatan medis”, diakses pada 3 Juli 2020.
[18] Kantor Staf Presiden, “Protokol komunikasi publik”, diakses pada 3 Juli 2020.
1 comment