Hari (22/3) itu, hujan seperti tak ada ampun terus mengguyur Yogyakarta sedari siang. Menyusuri jalan perkotaan dari Ruang MES 56 menuju Lifepatch sebenarnya tak memakan waktu lama. Namun, menerabas hujan lebat adalah perkara lain. Ada sebungkus pisang goreng yang harus dijaga tetap hangat untuk dijadikan kudapan di acara Cakapuan.
Barangsiapa punya ketertarikan dengan dunia kesenian, hampir tak pernah lepas dengan segala hiruk-pikuk kegiatan yang berkelindan di dalamnya. Ada pertunjukan seni, pameran seni, festival, dan ruang diskursif seperti diskusi dan workshop yang kerap kali memenuhi tanggalan. Dari sekian ramainya acara, saya (beruntung) menyempatkan waktu untuk mengikuti acara “Ngobrol-ngobrol santai bersama Praktisi Perempuan Lintas Bidang”. Kurang lebih seperti itulah yang tertulis pada poster acara Cakapuan #1 yang berlangsung di Lifepatch pada tanggal 21-22 Maret 2023 lalu.
Saya sedikit terlambat ketika Puan Grace memberikan materi tentang “Kerja Arsip Dasar”. Setelah mengatur nafas dan menyiapkan diri yang sedikit kuyub, saya masuk ke dalam ruang depan dan mulai mengikuti materi yang diberikan. Ruangan sudah cukup ramai untuk duduk melingkar menghadap ke cahaya proyektor yang disorotkan di papan tulis. Saya, kemudian membenamkan diri dalam suasana belajar bersama yang orang-orang lain yang turut hadir di dalam ruangan diskusi.
Ada serangkaian sesi yang kemudian silih berganti diberikan oleh organisator Cakapuan. Di hari kedua terselenggaranya acara ini, ada juga sesi belajar “Penggunaan Rumus pada Excel” yang diberikan oleh Puan Tiara. Lalu ada Puan Karen yang bercerita tentang bagaimana “Kerja Penulisan & Pendidikan Seni Rupa” pada anak kecil. Sebelum jeda panjang untuk sesi terakhir, Puan April membagikan praktik berkeseniannya tentang “Komposisi Desain dalam Karya Tufting”. Ada sedikit jeda untuk makan malam, sebelum akhirnya Cakapuan #1 berakhir dengan pemutaran film Dibalik Lantai Dansa (2022) karya kolektif Tutti Frutti.
Sayangnya, saya tak sempat mengikuti sesi belajar di hari pertama. Jika tak ada yang berubah, maka di hari pertama ada sesi belajar dengan beragam materi seperti “How to be a Good Communicator” oleh Puan Wijil, “Pengelolaan Artist dalam Kerja Event Organizer” oleh Puan Dean, “English for Artist” oleh Puan Fira, dan “Storytelling pada Penulisan Fiksi & Digital Media” oleh Puan Desi dan Puan Dilla. Untuk sesi penutup di hari pertama bahkan menyuguhkan dance performing oleh Puan Siska berjudul The Breath.
Menuju Ruang Inklusif
Hasrat untuk berkumpul dan belajar seringkali menjadi landasan bagaimana ruang-ruang diskursif lahir. Ruang-ruang semacam ini, seperti yang dihadirkan oleh Cakapuan sebagai sebuah platform, tentu sudah banyak dilakukan oleh berbagai komunitas lainnya. Konsep ini bukanlah sesuatu yang baru. Saya bahkan lebih suka menyebut bahwa hal itu biasa saja!
Sebagai sebuah platform, apa yang dilakukan Cakapuan dapat dibaca sebagai suatu usaha untuk mendefinisikan ulang apa yang disebut sebagai ruang yang inklusif. Dalam konteks ini, ‘ruang’ yang dimaksud tak lagi terbatas pada bangunan kasat mata dengan dinding yang mengelilingi. Apa yang disebut sebagai ‘ruang’ dalam konteks ini adalah ruang transendental, suatu rongga tak terbatas yang lebih luas daripada dinding-dinding dingin yang terkesan membatasi.
Hari ini, tak ada yang bisa terlepas dari apa yang disebut sebagai modal, termasuk membentuk suatu ruang. Ada bekal yang harus disiapkan oleh organisator Cakapuan untuk menjalankan kegiatan selama dua hari. Pertama, bekal diskursif atau pengetahuan yang kemudian ditawarkan menjadi rangkaian sesi belajar dari para organisator sesuai dengan pengalaman dan keterampilan masing-masing. Dalam praktiknya, sesi belajar ini berlangsung tak seperti belajar di kelas atau kursus formal dengan sifatnya yang cenderung hierarkis dalam relasi guru-murid. Sesi belajar ini lebih terasa seperti “kerja kelompok” yang biasa dilakukan bersama teman belajar dalam relasi yang lebih egaliter.
Kedua, praktik kolaborasi. Untuk edisi pertama ini, Cakapuan berkolaborasi dengan kolektif Lifepatch guna menemukan ruang fisik yang tepat untuk menjadi tempat belajar. Pemilihan ini mungkin menjadi siasat Cakapuan untuk memilih tempat yang tak melulu harus berada di wilayah Selatan Yogyakarta seperti dominasi kanal-kanal kesenian (Yogyakarta) pada umumnya. Praktik kolaborasi juga secara tak langsung dilakukan Cakapuan bersama para peserta melalui konsep urun kudapan senilai Rp20.000 sebagai kontribusi untuk mengikuti kegiatan selama dua hari.
Meskipun terdengar sepele, tetapi ada kultur egaliter yang coba ditawarkan Cakapuan melalui konsep urun kudapan ini. Kudapan yang dibawa oleh para peserta, nantinya akan dikumpulkan dan dapat disantap oleh siapapun yang terlibat di dalamnya. Artinya, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati beragam kudapan yang telah dikumpulkan. Kalau mau berbicara soal perhitungan untung-rugi, tiap peserta justru mendapat keuntungan karena bisa menyantap bermacam-macam kudapan.
Ketiga, citra Cakapuan sebagai platform awalan di antara derasnya arus kesenian. Citra ini, secara tak langsung kemudian mengantarkan Cakapuan untuk bertemu teman dan orang-orang baru. Dengan citra “bukan siapa-siapa”, platform Cakapuan justru mengalami perjumpaan dengan audiens secara organik. Bahwa menjadi “siapa-siapa” dalam konteks sosial tertentu (dalam hal ini skena kesenian), barangkali menjadi hal yang memberatkan dan membatasi gerak.
Dari obrolan di sisa-sisa waktu sebelum acara bersih-bersih tempat, para organisator Cakapuan menyiratkan semangat yang sama untuk tetap menjadi sebuah platform dibandingkan menjadi komunitas atau kolektif. Meskipun demikian, transformasi identitas Cakapuan di kemudian hari menjadi apapun juga tak ada salahnya.
Dari paparan di atas, modal dan segala usaha yang dilakukan Cakapuan telah berhasil menciptakan suatu momen untuk berkumpul dan belajar bersama dengan cara yang sederhana, murah, dan egaliter. Distribusi pengetahuan dan membangun relasi dengan orang baru bukanlah sesuatu yang mahal untuk dihadirkan di ranah-ranah kesenian.
Platform ini juga telah membangun ruang inklusif bagi beberapa orang yang tak hadir dalam arus utama kesenian Yogyakarta. Praktik semacam ini sudah tentu bisa jadi contoh dan bukti bahwa ruang inklusif itu biasa saja. Karena biasa saja itulah, maka tak perlu wacana laten yang gawat-gawat dan citra yang eksklusif hanya untuk berkumpul dan belajar bersama.
Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: dok. Cakapuan