Godspeed You! Black Emperor: Post-Rock atau Post-Revolusi?

Godspeed You! Black Emperor (GY!BE) tidak melulu bicara tentang keruntuhan; mereka juga menciptakan ruang untuk sebuah harapan.

Roland Barthes, menulis esainya yang terkenal “The Death of the Author” di tahun 1967 mengemukakan bahwa ketika sebuah karya dipublikasikan, seniman tidak lagi memiliki kontrol atas makna atau interpretasi yang dihasilkan oleh penikmat seni. Dari argumen Barthes tersebut saya dapat berlindung dan memaknai untuk saat ini bahwa Godspeed You! Black Emperor (selanjutnya saya sebut GY!BE saja) sejatinya adalah kolektif musik post-rock. Ya, paling tidak sebagian orang juga menyebutnya begitu.

“Godspeed You! Black Emperor tidak saya anggap sekedar band, bahkan mungkin bukan band,” tulis Herry Sutresna dalam buku kumpulan tulisannya yang diterbitkan oleh Elevation Books, “Ia mirip sebuah ide dari sebuah buku. Emosi dari sebuah film. Euforia dari sebuah perayaan, kemarahan pada aksi protes dan harapan dari sebuah doa. Dengan segala mistifikasi identitasnya, GY!BE sendiri bagi saya secara personal lebih dari sekedar sebuah grup musik yang memiliki beberapa kumpulan lagu dalam beberapa album dalam satu rentang waktu.”

Perlu digarisbawahi, terlalu kompleks memang untuk menglorifikasi GY!BE dalam sebuah kalimat. 

Memulai perjalanan sonik tahun 1994 di Montreal Kanada dan hingga kini beranggota 10 personil seperti yang tertulis di deskripsi laman Bandcamp mereka: Aidan Girt – drum, David Bryant – gitar elektrik, Efrim Manuel Menuck – gitar elektrik, Mauro Pezzente – bass, Michael Moya – gitar elektrik, Sophie Trudeau – biola, Thierry Amar – upright bass, Timothy Herzog – drum, glockenspiel, Karl Lemieux and Philippe Leonard – 16mm projector—ya operator proyektor adalah bagian dari grup dan sama penting perannya dengan personil lain dalam setiap pertunjukan GY!BE.

Komposisi panjang yang atmospheric, distorsi yang gelap nan mencekam, serta narasi tanpa kata yang bercerita tentang kekacauan. Karya-karya yang mereka tawarkan serat akan pengalaman yang penuh gairah, bukan hanya untuk telinga, tetapi juga untuk kesadaran sosial. Dalam tiap lagu, ada perasaan mendesak tentang revolusi yang tak terselesaikan dan juga ketegangan yang siap meledak, memprovokasi pertanyaan yang mendalam. Jadi, apakah ini semacam musik post-rock atau cerminan dari post-revolusi?

Aksi panggung Godspeed You! Black Emperor di Webster Hall (dok. Kate Hoos)

GY!BE tidak berbicara banyak kepada media. Mereka jarang memberikan wawancara dan ketika mereka melakukanya, kata-kata mereka bak lensa yang tajam mengupas ketidakadilan dalam dunia modern. Musik mereka merupakan suara pemberontakan yang meresap ke dalam ketidaktahuan sosial, menempatkan banyak pendengarnya dalam rasa gelisah yang tak tertanggungkan. Dengan lirik yang minim dan komposisi yang didorong oleh repetisi, crescendo, dan ambient, mereka menyampaikan sebuah pesan yang lebih besar dari kata-kata itu sendiri.

Album penuh pertama mereka “F♯ A♯ ∞” (1997), memperlihatkan pengaruh besar mereka terhadap gagasan anarkis, bercerita mengenai distopia dan dunia pasca apokalip—terhitung sampai album terbaru yang akan keluar tahun ini, saya prediksi tak akan jauh dari tema-tema keruntuhan dunia dalam album sebelumnya.

Setiap karyanya, pendengar dipaksa memaknai sendiri pesan-pesan yang terkandung dalam lagu mereka—setiap nada, dari gebukan drum yang berat sampai gesekan biola yang muram, menciptakan suasana kegelisahan dan ketidakpastian, layaknya suara latar revolusi yang belum terjadi.

GY!BE mengkonstruksi musik yang tidak menawarkan solusi, tetapi menciptakan ruang untuk merenungkan apa yang salah dengan dunia di sekitar kita saat ini.

GY!BE tidak melulu bicara tentang keruntuhan; mereka juga menciptakan ruang untuk sebuah harapan. Terdapat momen dan melodi yang lembut di tengah gelombang bunyi yang brutal, seolah memberikan isyarat bahwa dalam keruntuhan, dunia baru dapat terlahir. Tetapi dunia baru itu tidak mudah untuk didapatkan—harus didesak dan dipaksa keluar dari kehancuran dunia lama.

Musik mereka adalah cerminan dari dunia yang mereka impikan—dunia tanpa penindasan, di mana kekuasaan tidak terpusat, dan di mana manusia bebas menentukan nasib mereka sendiri. Terbukti dalam cara mereka mengelola band; tanpa pemimpin dan lebih mengutamakan pendekatan kolektif dalam tiap proses kreatif. Dari sini dapat disimpulkan bahwa mereka anarkis sejak dalam pikiran.

Sempat disinggung di awal paragraf, akhirnya pertanyaan ini kembali muncul ketika kita mendengarkan GY!BE adalah apakah mereka adalah sekadar band post-rock, atau apakah musik mereka merupakan cerminan dari sebuah dunia yang telah melewati revolusi yang tak terlihat?

Dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, Godspeed You! Black Emperor menyusun musik yang bukan hanya menjadi soundtrack bagi keruntuhan, tetapi juga bagi dunia yang sedang menanti untuk dibangun kembali.

Dengan demikian, mereka berada di perbatasan antara post-rock dan post-revolusi—GY!BE adalah suara dari dunia yang sedang runtuh, dan sekaligus dari dunia yang akan datang.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Heiner Bach

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Film 'Lagu Untuk Anakku' (2022): Merawat Ingatan '65 Lewat Senandung

Next Article

Morfem 'Seketika Sekarang Juga': Kejutan dalam Keseketikaan