Membaca Langit, Merawat Tanah: Eksperimentasi Senyawa Membangun Vajranala

Melalui “Vajranala”, Senyawa menafsir ulang apa itu kekuasaan, dari mana mulanya, dan siapa yang mampu memiliki kuasa.

Pertanyaan tentang asal-usul ilmu pengetahuan manusia, membawa kita pada beragam pintu yang menghubungkan kita dengan liyan. Evolusi manusia dari waktu ke waktu berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermuara dari kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup. Begitu pula kemampuan manusia mencipta dan memahami dunia sekitar terus berkembang setiap zaman dengan mengikuti petunjuk alam.

Salah satu yang mungkin dilahap habis oleh manusia di masa awal sejarah adalah menerjemahkan hubungan antara posisi dan gerakan benda langit, terutama planet-planet di dalam sistem tata surya dan peristiwa-peristiwa di Bumi. Mulai dari peradaban kuno di Mesopotamia, masa Renaisans, hingga era modern tak lepas dari persilangan ilmu astrologi dalam kehidupan sehari-hari.

Ada masa di mana manusia membaca langit untuk merawat tanah. Pengetahuan yang membentang di langit, oleh manusia dipelajari untuk dapat merawat kehidupan mereka. Ada kisah populer tentang seorang ksatria gagah nan rupawan bernama Orion dalam kisah klasik mitologi Yunani. Riwayat hidupnya diabadikan di langit menjadi rasi bintang Orion atau dikenal sebagai Sang Pemburu. Ia menjadi gemintang yang gambarnya terpampang di langit malam untuk selama-lamanya. Di sampingnya, berkilauan rasi bintang Scorpio (kalajengking) sebagai pengingat akan harga yang harus dibayar atas kesombongan dan kerapuhan hidup fana.

Dalam budaya Jawa, rasi bintang Orion disebut dengan nama Bintang Bajak atau Waluku sebagai penanda masa tanam. Di dalamnya, terbentuk tiga bintang kembar sejajar dan miring yang melekat di bagian sabuk pemburu (Orion Belt). Jejeran bintang ini digambarkan seperti luku atau alat bajak yang bintangnya terletak pada sambungan antara lengan bajak dan mata bajak. Tiga bintang itu kemudian dikenal dengan nama Alnitak, Alnilam, dan Mintaka. 

Konon, di Indonesia ada tiga candi Buddha yang dibangun berdasarkan panduan rasi bintang Orion. Bintang Alnitak, Alnilam, dan Mintaka yang berbaris sejajar dalam garis imajiner mewujud garis lurus di antara Candi Mendut, Candi Pawon, dan Candi Borobudur di Jawa Tengah, Indonesia. Peneliti A.J. Bernet Kempers dalam buku Ageless Borobudur menyebutkan bahwa ketiga candi ini merupakan peninggalan sejarah bercorak Buddha yang terkait erat dalam gaya, arsitektur, dan atmosfer pahatan.

Saya kira, begitulah awalan untuk memahami apa yang hendak diceritakan duo eksperimental Senyawa dalam album Vajranala (2024). Ada narasi tentang rasi bintang Orion, Alnilam kemudian Candi Pawon, dan pengetahuan lainnya yang coba diinfus ke dalam Vajranala. Dari hal-hal itu, ada keyakinan dalam Senyawa untuk mewariskan pengetahuan yang dapat terus dipelajari sepanjang zaman.

Susah-susah gampang menerka apa yang menjadi iterasi Senyawa kini di dasawarsa kedua. Namun, tulisan ini mencoba menelusuri jejak-jejak dari praktik bermusik Senyawa yang menyilang di antara pengetahuan, musik eksperimental, dan kemandirian.

Ukiran pada batu Monumen Vajranala (dok. Senyawa Mandiri)

Musik Eksperimental Tidak Hanya tentang Musik

Sejarah peradaban, mengajarkan kita tentang budaya yang telah dikerjakan oleh manusia di masa sebelumnya. Lebih dari itu, segala pengetahuan dan alam pikiran manusia telah terwujud dan tersembunyi di dalam benda-benda yang diciptakannya. Dari situlah kemudian kita belajar, bagaimana cara untuk menyusun kerangka menghadapi masa mendatang.

Di semester pertama 2024, Senyawa merilis album Vajranala. Menariknya, album ini dikerjakan atas tafsir akan masa lalu untuk menjadi sesuatu di masa depan. Sebagai sebuah proyek musik, Senyawa memilih jalan lain yang lebih menguras tenaga dan pikiran untuk dikerjakan. Alih-alih hanya mengerjakan “album musik” saja, Rully Shabara dan Wukir Suryadi justru berusaha melampauinya. Dalam perbincangan lainnya, mereka menyebut bahwa ketidaktahuan akan hasil eksplorasi suatu gagasan itulah yang mereka sebut sebagai eksperimental.

Perlu sedikit mundur ke belakang untuk dapat melihat lanskap proyek musik eksperimental yang telah dibangun oleh Senyawa. Pada dasawarsa pertama (2010-2020) ada sekitar lima album penuh yang disusun Senyawa dalam dramaturgi tertentu, dimulai dengan album Senyawa (2010), Acaraki (2014), Menjadi (2015), Puncak (2016), dan Sujud (2018). Di antaranya masih ada album selingan atau kolaborasi dengan musisi lain.

Jika diamati secara mendalam, alur penciptaan album Senyawa membentuk suatu siklus: proses antara Rully dan Wukir menemukan bentuk masing-masing. Bisa dibayangkan misalnya setiap album tersebut mewakili fase-fase tertentu, dimulai dengan pertemuan Rully dan Wukir seperti pertemuan zat murni (Senyawa), lalu proses meramu/meracik bentuk (Acaraki), menemukan bentuk utuh (Menjadi), tumbuh melampaui batas (Puncak), dan diakhiri dengan bersujud (Sujud).

Hal yang sama juga dapat dicoba pada dasawarsa kedua untuk menerka lanskap musik eksperimental mereka selanjutnya. Paruh kedua ini, dimulai Senyawa dengan album Alkisah (2021), sebuah album yang membicarakan tentang kekuasaan dan revolusi yang mungkin terjadi ketika kekuatan dunia runtuh. Narasi musik Alkisah kemudian termanifestasikan dalam praktik distribusi kekaryaan tanpa label musik tunggal sebagai sikap desentralisasi. Dengan kata lain, membicarakan kekuasaan dengan gerakan desentralisasi melalui musik. Musik eksperimental tidak lagi hanya tentang musik. Senyawa membuktikannya dengan bentuk eksperimen lain di luar “musik” sebagai perpanjangan tangan mereka.

Lantas apa yang kini ingin dihidangkan Senyawa di album Vajranala?

Setelah membicarakan kekuasaan di album sebelumnya, Vajranala seperti tafsiran ulang tentang apa itu kekuasaan, dari mana mulanya, dan siapa yang mampu memiliki kuasa.

Tidak ingin terputus dengan siklus yang sudah dibangun pada Alkisah, narasi musik Vajranala mencoba memanjangkan nafas bermusik Senyawa.

Album Vajranala dibagi menjadi beberapa bagian, di antaranya tiga babak utama dan tiga babak penutup yang tertuang menjadi enam lagu. Dimulai dengan “Alnilam”, “Vajranala”, “Kaca Benggala”, lalu ditutup dengan “Kaca Benggala II”, “Vajranala II”, dan “Hikmah”. Seperti sebuah cerita bersambung, tiga babak utama terjalin membentuk narasi utuh. 

Dimulai dengan babak pertama, “Alnilam”. Sebuah tembang panjang eksplorasi Senyawa tentang ilmu pengetahuan yang terpancar dari langit. Maka dimulailah dengan melihat rasi bintang Orion lalu menghubungkannya dengan bintang biru maharaksasa bernama Alnilam. Kemampuan membaca ilmu pengetahuan semacam ini, bagi Senyawa adalah awal mula dari kekuasaan. Mereka yang mampu menerjemahkan ilmu pengetahuan di langit akan mengerti tentang penunjuk arah, penanda masa tanam, penentu musim, dan sebagainya. Pengetahuan adalah sumber kekuasaan bagi siapapun yang dapat memahaminya. 

Pada babak kedua, dilanjutkan dengan “Vajranala”. Kata ini dengan mudah dapat ditemui dalam narasi sejarah Candi Pawon yang memiliki nama terdahulu Candi Brajanalan. Secara garis imajiner, Candi Pawon berada di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur, seperti halnya tiga bintang di konstelasi Orion: Alnilam di antara bintang Alnitak dan Mintaka. Jika babak pertama diwakili oleh abstraksi bintang di langit, maka babak kedua adalah bentuk fisik di atas bumi. Candi menjadi wujud fisik yang dibangun manusia berdasarkan ilmu pengetahuan yang telah didapatnya. Ada masa di mana sejarah manusia terukir pada pahatan batu. Peninggalan ini telah menemani peradaban dan menjadi saksi akan kuasa manusia sejak beribu tahun lamanya.

Teks (lirik) dalam babak ini juga kental dengan atmosfer agama Buddha atau relief yang terukir pada Candi Pawon. Meskipun begitu, Senyawa tidak pernah benar-benar mewakili satu budaya (atau agama) tertentu dalam proses penciptaan karyanya. Dengan kata lain, Senyawa melalui “Vajranala”, meyakini bahwa peninggalan sejarah seperti candi adalah laku manusia untuk mewariskan pengetahuannya.

Akhir dari babak utama adalah “Kaca Benggala”. Serupa bercermin, apa yang dilihat pada kaca cermin adalah bayangan kita sendiri. Pada “Kaca Benggala”, maka apa yang dilihat akan memantulkan kembali berkas-berkas cahaya di hadapannya.

Album Vajranala dimulai dengan babak pertama melihat langit, babak kedua mewujudkan ilmu pengetahuan, maka babak ketiga ini adalah kesadaran diri bahwa segala yang dipelajari hanya akan terjadi di atas tanah: bumi.

Bukan pada langit, bukan pada batu, melainkan pada daratan yang membentang di segala penjuru menuju benua-benua.

Tafsir akan kekuasaan dan ilmu pengetahuan dalam album Vajranala adalah bentuk politik Senyawa untuk membicarakan tanah. Bahwa apa yang selama ini diusahakan dan diperebutkan hanya akan berakhir menjadi kesia-siaan jika tanah dan lingkungan tercemar atau porak-poranda.

Untuk melengkapi narasi pada tiga babak utama, Senyawa menyertakan tiga lagu lainnya sebagai penutup. Dua lagu di antaranya berjudul “Kaca Benggala II” dan “Vajranala II” sebagai penebal narasi yang telah dilafalkan pada lagu-lagu berjudul sama sebelumnya. Sedangkan terakhir adalah “Hikmah” sebagai penali yang mengikat narasi-narasi sebelumnya. Lagu terakhir ini bisa jadi kata kunci untuk menerka kiblat album Senyawa berikutnya.

Penting bagi sebagian orang untuk terus dapat mengungkapkan gagasan melalui musik.

Dari Senyawa, setidaknya kita dapat menaki bahwa musik eksperimental tidak hanya tentang musik, tetapi mampu menjadi wacana pengetahuan yang terus bergerak.

Menerjemahkan juga mewujudkan gagasan liar dan melepas diri pada pakem industri musik pada umumnya agaknya telah menjadi capaian Senyawa sebagai sebuah kelompok musik.

Mewujud sebuah monumen, ada kisah tentang pengetahuan, mitologi, dan peninggalan sejarah terpendam yang dapat menjadi artefak bagi manusia di masa depan. Dengan kata lain, Vajranala adalah metafor untuk menandai proyek musik Senyawa sekaligus monumen fenomenal di abad 21. 

Monumen Vajranala di dusun Ringinanom, Magelang (dok. Senyawa Mandiri)

Di Balik Monumen: Swasembada Dasawarsa Kedua

Jika pada album Alkisah Senyawa hadir menggetarkan kancah musik eksperimental dengan melibatkan lebih dari 44 label rekaman indie di luar dan dalam negeri, maka Vajranala hadir dengan wujud fisik monumen setinggi 3,5 meter. Segala tafsir akan pengetahuan yang ditulis di album Vajranala, kemudian termanifestasikan menjadi Monumen Vajranala yang menyerupai candi. Monumen ini dibangun di dusun Ringinanom, Kecamatan Tempuran, Magelang (Jawa Tengah) dengan menggunakan bata merah berukir sebanyak 4100 buah dan dikelilingi 26 batu andesit. Bagian terbaiknya adalah monumen ini juga dirancang untuk dapat mengeluarkan api. Sebuah simbol akan penyucian.

Monumen Vajranala diyakini Senyawa dapat menjadi pengingat bahwa candi adalah penanda antara ilmu langit dan tanah yang abadi. Peradaban manusia masa lalu telah dimulai dengan mengumpulkan pengetahuan yang diwariskannya pada batu. Menyerempet konsep swasembada, ada nilai-nilai kultural yang berkelindan dalam praktik kerja Senyawa. Misalnya saja nilai spiritual dan nilai gotong royong untuk menunjang kebutuhan mereka. Pendekatan Senyawa terhadap nilai-nilai tersebut memiliki implikasi sosial tersendiri.

Seni, apapun itu, barangkali sudah tak lagi hanya dilihat sebagai bentuk estetis, tetapi lebih dari itu: spiritual. Nilai spiritual dilekatkan pada karya seni untuk membaca tujuan, menentukan arah, dan memberikan arti yang mendalam bagi siapa pun yang menikmatinya. 

Pada Monumen Vajranala, jika diperhatikan pada bagian depan bawah, ada batu yang diukir menyerupai bentuk otak manusia. Bagian ini ditaruh justru tidak pada bagian atas candi, tetapi sebaliknya. Pilihan ini adalah bentuk kritis untuk merefleksikan ulang bahwa seharusnya otak– kemampuannya untuk berpikir, dijadikan pondasi utama. Segala bentuk pengetahuan yang dipelajari oleh manusia haruslah menjadi pijakan utama untuk bertindak. 

Tidak hanya itu. Pada bagian fasad monumen terpampang jelas ukiran meliuk menyerupai akar sebagai simbol turunnya ilmu pengetahuan dari langit yang mengakar di Bumi. Di sekitarnya, terdapat titik-titik yang memenuhi sisa ruang sebagai jelmaan ragam individu yang terbentuk dan berkumpul di antara adiwidia. Adalah Anton Setiawan, sosok seniman yang merancang konsep artistik Monumen Vajranala itu semua.

Ada pengembangan yang terjadi ketika Monumen Vajranala disusun ulang di desa Ringinanom. Sebelumnya, monumen ini pertama kali dikerjakan dan dipresentasikan Senyawa di gelaran Indonesia Bertutur, sebuah festival seni budaya tahunan. Monumen kemudian dirobohkan dan dibangun kembali dengan beberapa penyesuaian terhadap tanah yang dipijak.

Rully Shabara dan Wukir Suryadi gelar syukuran di Monumen Vajranala (dok. Senyawa Mandiri)

Sadar bahwa monumen ini dibangun pada garis wilayah khusus di antara candi-candi megah lainnya, maka pemilihan bahan batu harus tetap dipertimbangkan dengan realistis. Anton memilih menggunakan dua jenis batu: lava rock (batuan vulkanik) atau andesit yang mudah ditemukan di daerah gunung berapi aktif (Gunung Merapi) dan bata merah yang mewakili kesamaan tekstur Situs Bowongan, sebuah candi banon (bata merah) tak jauh dari Monumen Vajranala.

Dalam praktiknya, proyek musik ini telah melibatkan seniman atau kelompok kerja lain untuk merancang sebuah monumen secara gotong-royong. Ada peran Senyawa Mandiri, sebuah entitas yang bergerak secara inisiatif yang dijalankan oleh Anton, Triome, Reza Darwin, dan Dholy Husada untuk mendukung cita-cita ini. Selain itu, jaringan mandiri yang tumbuh di antara Senyawa dan individu/komunitas lainnya, dengan mudah menuntun Anton untuk melibatkan pekerja lainnya seperti seniman Thoif, Chrisna Fernand, Untung Pribadi dan Sanggar Seni Bangun Budoyo, juga Mardi (pengrajin bata merah) dan Tarto (pengrajin pahat batu). Sebuah video dokumenter juga dikabarkan akan dikerjakan untuk mengabadikan perjalanan panjang Senyawa dan semestanya membangun Vajranala.

Kembali pada proyek musik Vajranala, Senyawa mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi dalam diri dan sekitarnya di paruh awal dasawarsa kedua. Apa yang telah dikerjakan semakin menebal garis perjalanan Senyawa menuju apa yang dicita-citakan. Di balik itu semua, selalu ada upaya untuk tetap mendefinisikan ulang daya tahan dan kemandirian.

Karya yang kuat selalu punya ruang untuk dibicarakan, dikenang, dan dihadapkan pada suatu realita di zamannya.

Apa yang telah dikerjakan Senyawa memancing munculnya imajinasi baru di dunia musik. Bahwa musik eksperimental tidak lagi tentang musiknya saja. Bahwa narasi liar bukan semata-mata sebagai tujuan, tetapi sebuah kemungkinan yang representatif atas situasi chaos masa kini.

Jika syair selesai dituliskan, nada sudah dilantunkan, dan batu telah disusun, apatah kisah Vajranala yang dirangkai Senyawa tentang ilmu pengetahuan dapat menjadi dongeng di masa depan?


Foto sampul: Reza Darwin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Orang-Orang Karangmalang: Kumpulan Puisi Faza Nugroho

Next Article

Merawat Bahasa, Meruwat Kata: Resensi Buku 'Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo'