Berdamai dengan Post Break-up Syndrome?

Trauma batin dan mental ketika patah hati kerap melahirkan emosi negatif untuk menyalahkan diri sendiri. Ini adalah sedikit banyak dari dampak Post Break-up Syndrome.


Mungkin The Script lewat lagunya Six Degrees of Separation sedikit banyak menggambarkan kondisi manusia pada umumnya setelah putus hubungan dengan kekasihnya. Dalam lagu ini The Script mengupas apa yang mereka sebut sebagai enam tahap atau tingkatan setelah perpisahan. Bagi yang belum tahu menahu perihal lagunya mungkin bisa dibaca penggalan lirik bagian chorus ini:

“First, you think the worst is a broken heart
What’s gonna kill you is the second part
And the third is when your world splits down the middle
And fourth, you’re gonna think that you fixed yourself
Fifth, you see them out with someone else
And the sixth is when you admit you may have fucked up a little…”

Sudah dibaca dan diresapi? Begitulah mungkin yang coba diungkapkan The Script melalui lagunya. Mungkin banyak yang tak terlalu memedulikan, bahkan menganggap persoalan patah hati setelah putus adalah hal remeh temeh yang tak perlu diambil pusing apalagi dianggap serius.

Namun tren yang baru-baru ini muncul lumayan terasa gaungnya; lebih peduli terhadap kesehatan mental. Beberapa mulai menganggap serius hal ini. Begitu juga beberapa musisi tanah air seperti Kunto Aji, Nadin Amizah, dan Baskara atau yang biasa dikenal dengan nama panggung Hindia. Mereka dengan konser Mantra Mantra dan Tur Bayangan, dua musisi keren ibukota itu dengan lantang menyuarakan tentang kesehatan mental. Meskipun mereka membahas kesehatan mental secara universal, uniknya para penggemar mereka acap kali menyebut dan berkeluh kesah mengenai kesehatan mental dan kondisi mereka pasca terpuruk terseok percintaan dalam kolom komentar kanal Youtube atau tab mention Twitter.

Mungkin klise memang jika kita melihat perspektif dari kesehatan mental jika hanya melihat dari sudut kecil dunia percintaan, namun memang begini adanya. Perihal percintaan memang sepertinya akan menjadi topik paling laku dalam ranah budaya populer. Pembicaraan dari yang ringan sampai yang serius perihal cinta masih (dan mungkin) akan tetap nongkrong di jajaran topik papan atas pergaulan.

Berikut adalah penggalan lirik dari Sulung milik Kunto Aji yang hadir menjadi soundtrack film beken Dua Garis Biru. Lirik ini pula yang sering dikutip menjadi tweet atau nongol di status Whatsapp remaja tanggung.

“Cukupkanlah ikatanmu,
relakanlah yang tak seharusnya untukmu…”

Lirik yang cukup menohok dan menyayat kesadaran tentang apa itu melepaskan, merelakan, dan mencukupkan dirimu untuk sesuatu yang tak mungkin bisa lagi kau genggam bukan?

Menurut Urban Dictonary, post break up syndrome (PBUS) diartikan sebagai when ur so bummed about just bein dumped by the person you loved, that you start acting like a total retard atau secara lebih gampang diartikan sebagai perasaan hancur lebur ambyar pasca putus cinta. Tren meromantisasi patah hati ini juga turut diramaikan dengan mencuatnya maestro campur sari atau pop Jawa, almarhum The Godfather of Broken Heart, Didi Kempot.

Di akhir 2019 silam namanya melejit berkat cuitan-cuitan di Twitter tentang lagu-lagu beliau yang selalu tentang kepedihan dan sakit hati. Nomor andalan di antara ratusan lagunya antara lain Pamer Bojo, Cidro, atau Layang Kangen menjadi teman setia muda-mudi tanggung patah hati yang dulunya malu-malu jika ketahuan nyetel lagu campur sari, namun kini mulai berani memutar di tongkrongan dengan berderai air mata.

Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sebaiknya kita mengadapi rasa sakit hati yang sedu sedan pasca putus cinta ini? Jawaban saya jelas, dan ringkas: tidak tahu. Karena persoalan bagaimana mengobati hati yang patah adalah persoalan personal yang orang lain mungkin tidak akan bisa berbuat banyak selain mendengarkan mereka curhat atau menemani mereka mabuk-mabukan tentunya. Ingat, orang yang sedang jatuh cinta saja batunya minta ampun apalagi yang putus cinta. 

Berapa puluh judul film, puisi, atau novel populer yang membicarakan tema besar patah hati atau terseoknya kehidupan seseorang pasca ditinggalkan pasangan? Jawabanya ada banyak sekali tentunya. Hal ini selain menunjukkan betapa populer tema ini, di sisi lain juga berarti bahwa putus cinta adalah suatu hal yang jamak terjadi.

Beberapa orang (mungkin banyak sih sebenarnya) yang menganggap fase galau adalah hal yang memalukan dan kekanakan. Namun, bagaimana jika hal ini menjadi lebih serius dan lebih jauh lagi. Hal ini tentang bagaimana sebuah peristiwa kecil putus cinta mampu mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu yang spektakuler, seringnya dalam artian buruk. Sudah banyak cerita sesorang yang (maaf) merelakan dirinya bertemu maut lantaran putus cinta.

Trauma batin dan mental yang menggunung pasca putus cinta seringkali melahirkan emosi negatif seperti keadaan menyalahkan diri sendiri, keinginan untuk melukai diri atau mencari pelampiasan ke arah yang tak seharusnya adalah sedikit banyak dari dampak Post Break-up Syndrome ini. Tidak berniat untuk membenarkan romantisasi berlebihan akan apa itu patah hati, namun percayalah setiap orang setidaknya pernah sekali mersakan ini dan kalo dipaksa jujur pasti sakit sekali bukan? Dan hal ini sungguh sangat f*cked up!

Tidak pernah ada jawaban pasti yang dapat merumuskan apa dan bagaimana seharusnya kita semua menghadapi Post Break-up Syndrome ini. Sejauh apa perasaan itu membawa dan menyeret kita, sebenarnya kita tidak pernah tahu. Pada akhirnya memang mungkin, hanya bila mungkin ini dapat dijadikan jalan tengah paling sederhana adalah dengan menerima keadaan kita, menerima bahwa kita memang tidak sedang baik-baik saja, klise.

Ada banyak hal yang memang harus kita terima begitu saja dengan legowo. Cinta atau apalah itu ha-hal yang melibatkan tentang perasaan, emosi dan jiwa yang abstrak dan absurd memang sulit dan mungkin tak akan bisa kita pahami sepenuhnya. Semua pada akhirnya kembali kepada diri kita sendiri. Mau bagaimana dan jadi apa kita setelah rentetan hal brengsek pasca putus cinta ini, semua terserah pada kita.

Time doesn’t heal, it’s you that heal yourself.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi: Arieq Ibnu Nur

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts