Selama perenungannya di pengasingan Cipinang hingga Banda Neira, Sutan Sjahrir memanfaatkan waktunya untuk meningkatkan pengetahuannya tentang perkembangan dunia dan sejarah kemanusiaan.
Si Bung Kecil, sapaan yang disematkan kawan-kawannya ketika memanggil Sutan Sjahrir. Lelaki dengan tubuh kecil ini memutuskan untuk menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Gemeente Universiteit van Amsterdam pada tahun 1929. Di Belanda Sjahrir tinggal bersama keluarga kakak perempuannya yang menikah dengan Dr. Djoehan Wiriadikarta. Di Negeri Kincir Angin ini, perbedaan kelas sosial bukanlah suatu permasalahan. Hal ini yang mengakibatkan Sjahrir dengan mudah bertukar pikiran dengan masyarakat Belanda. Sjahrir banyak mendapatkan pengetahuan baru dari teman-temannya.
Kebiasaannya berdiskusi membuat pemikiran Sjahrir semakin berkembang. Sebagai mahasiswa yang suka berkumpul, kesempatan bergaul dengan mahasisiwa-mahasiswa Belanda merupakan pengalaman baru bagi Sjahrir. Akan tetapi Sjahrir tidak lupa untuk menjaga hubungan baik dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia lainnya, termasuk mahasiswa dari Minangkabau.
Beberapa hari setelah tiba di Amsterdam, Sjahrir menulis pesan kepada ketua Social Democratishe Studenten Club (Klub Mahasiswa Demokrat Sosial) di kota itu. Tujuannya yakni mencari informasi tentang gerakan pemuda tersebut. Belum lama Sjahrir menapaki kota Amsterdam, berita duka datang; ayahnya meninggal dunia. Dr. Djoehana beserta kakak perempuan Sjahrir memutuskan untuk kembali ke Hindia.
Sjahrir kemudian pindah ke rumah Sal Tas ketua himpunan mahasiswa Sociaal Democratishe Studenten Club (Klub Mahasiswa Demokrat Sosial). Beberapa kali Klub Mahasiswa Demokrat Sosial menerbitkan sebuah jurnal bernama De Socialist dan memuat pandangan-pandangan Sal Tas di dalamnya.
Menurut Sal Tas, Sjahrir adalah mahasiswa yang gigih dalam mempelajari sosialisme. Koleksi buku bacaan Sjarir dari Hilferding, Rosa Luxemburg, Karl Kausky, Otto Bauer, Max dan Engels membawanya mulai mendalami tentang perkembangan dan ajaran sosialisme. Selain itu untuk mengetahui lebih dalam tentang sosialisme, Sjahrir bekerja pada Serikat Federasi Buruh Angkutan Internasional (International Transport Worker’s Federation, ITWF). Dari situlah, Sjahrir mengecap segala kehidupan kaum buruh.
Ketika Sjahrir di Belanda, Mohammad Hatta sudah menetap di Belanda selama delapan tahun. Hatta masih menempuh pendidikan di Sekolah Bisnis Rotterdam. Pria yang kelak menjadi wakil presiden pertama Indonesia ini, sudah cukup dikenal dalam dunia politik Belanda. Hatta menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia, suatu organisasi mahasiswa patriotik dari Hindia yang berpusat di negeri Belanda.
Di bawah bimbingan Hatta, Sjahrir bergabung dalam Perhimpunan Indonesia pada tahun 1929. Pada tahun 1930, Hatta melepaskan jabatannya dan digantikan oleh Abdullah Sukur, dan Sjahrir dipilih menjadi seketaris Perhimpunan Indonesia.
Dibalik Jeruji Cipinang
Pada tahun 1931 Sjahrir memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di Belanda. Lelaki yang lahir di Kota Padang Panjang ini memilih pulang ke Indonesia untuk bergabung bersama tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya. Setibanya di Indonesia, ia bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru). Selama tiga tahun Sjahrir memperjuangkan cita-cita dengan memperluas fasilitas pendidikan.
Pada tahun 1934, tentara Hindia Belanda melakukan operasi penangkapan terhadap pengurus PNI. Ketika Sjahrir ingin berangkat ke Belanda, ia ditangkap oleh tentara Hindia Belanda dan dipenjarakan di Cipinang, bersama Mohammad Hatta.
Ketika di Cipinang, Sjahrir aktif menulis catatan harian mengenai “masalah kolektif dan individu”. Istilah kolektif atau kolektivitas banyak digunakan oleh orang Eropa. Kemungkinan jika menggunakan istilah “sosialitas” orang melihat suatu kecenderungan dari sosialisme. Berbagai tindakan diambil orang atas nama kolektivitas itu dengan dalil bahwa individu harus tunduk pada kepentingan kolektif. Di Belanda hal ini terlihat sebagai suatu gejala penyimpangan karena negeri tersebut merupakan tanah asal demokrasi.
Selain itu, Belanda merupakan negara individualis yang tertua di Eropa Barat. Masyarakatnya rata-rata merupakan orang-orang Kristen yang selalu membanggakan dirinya sebagai keturunan orang-orang yang mempertaruhkan jiwa, raga, dan hartanya. Hal ini bertujuan memperoleh kebebasan hati nurani bagi individu yang banyak membicarakan perihal “kolektif”. Mereka menganggap bahwa wajah individualis di mana-mana sudah berubah. Sikap orang-orang menjadi nasional-sosialis.
Tidak hanya membahas mengenai budaya individualis yang menjadi kolektivis, Sjahrir juga membahas arti kebebasan. Menurutnya, dilihat dari segi filsafat dan sosiologi, tidak ada manusia yang bebas. Kehidupan manusia seluruhnya sudah diatur oleh hukum-hukum seperti hukum fisik, biologis, dan sosiologis. Walaupun tidak ada kebebasan secara ilmiah dan filosofis, bagi orang yang yang mendewa-dewakan kebebasan, kebebasan merupakan asas tertinggi. Padahal cita-cita kebebasan mereka hanyalah sebuah reaksi paksaan lahir dan batin terhadap ketidakadilan.
Menurut Sjahrir, kaum sosialis yang pertama kali membantah teori tentang kebebasan yang abstrak tersebut. Kemudian memberikan dorongan bagi kelahiran dan perkembangan ilmu sosiologi, yakni ajaran tentang terikatnya individu, bukan saja pada hukum-hukum alam melainkan juga pada hukum-hukum masyarakat. Sehingga tidak ada lagi hak-hak individu, yang ada hanya kewajiban-kewajiban individu. Kewajiban tersebut hanya berhak untuk mengabdikan dirinya pada kolektivitas.
Pengasingan di Boven Digoel dan Banda Neira
Ketika Sjahrir dipindahkan dari Cipinang ke Boven Digoel pada tahun 1935, Sjahrir menganggap Boven Digoel adalah tempat di mana fasisme diterapkan oleh Belanda. Kondisi Boven Digoel mengakibatkan orang-orang pengasingan menjadi putus asa untuk hidup. Mereka ditempatkan di hutan dan tanahnya tidak subur. Karena kondisi yang kurang baik, banyak orang menderita penyakit malaria.
Ketika Sjahrir di Boven Digoel, ia mendapatkan kesempatan untuk mendalami psikis-fisik bangsa Indonesia. Menurutnya, kesempitan jiwa dan kekurangan pendidikan adalah kerugian hidup bagi seseorang. Selain itu dapat mengakibatkan rusak fisik dan urat saraf manusia, kondisi ini bertentangan dengan sifat-sifat sosialisme modern. Kondisi di mana manusia tidak diperlakukan sebagai manusia semestinya.
Sjahrir berada di Boven Digoel hanya setahun. Pada tanggal 11 Febuari 1936, Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira. Di sinilah Sjahrir mendapatkan kesempatan untuk mendidik anak-anak di lingkungan sekitarnya. Bagi Sjahrir, memberi pelajaran kepada anak-anak tidak semata-mata untuk mendidik dan mengajar. Namun juga untuk dijadikan teman dan penghibur hidupnya selama di pengasingan.
Kondisi di Banda Neira sangatlah berbeda dengan Digoel. Sjahrir dapat bergerak lebih bebas di tengah masyarakat. Walaupun demikian, Sjahrir tetap mendapatkan pengawasan pemerintah daerah. Di Banda Neira, Sjahrir dapat mengembangkan daya pikirannya. Dengan demikian ia juga dapat mengikuti dan merenungkan perkembangan politik dunia dari berita berupa surat kabar, terutama terbitan Belanda.
Sjahrir mengikuti perkembangan perang saudara di Spanyol tahun 1936 dan perkembangan Jepang yang berhasil menduduki Shanghai tahun 1937. Dengan mengikuti berita internasional, Sjahrir mendapatkan banyak informasi. Informasi yang paling penting yakni penyebaran fasisme yang dilakukan oleh Jerman di Eropa. Sedangkan di Asia, penyebaran fasisme yang dilakukan oleh Jepang.
Sjahrir berada di Banda Neira sampai tahun 1942. Pada tanggal 31 Januari 1942, Ambon diserang tentara Jepang. Penyerangan ini mengakibatkan si Bung Kecil dan Hatta dipindahkan oleh tentara Belanda ke kompleks polisi Sukabukmi, Jawa Barat.
Perjalanannya dari penjara ke penjara, pulau ke pulau, mematangkan kepribadian Sutan Sjahrir. Selama perenungannya di pengasingan Cipinang hingga Banda Neira, Sutan Sjahrir memanfaatkan waktunya untuk meningkatkan pengetahuannya tentang perkembangan dunia dan sejarah kemanusiaan.
Sumber:
Sjahrir, S. (1990). Renungan dan perjuangan. Jakarta: Djambatan.
Tempo. (2010). SJAHRIR :Peran besar bung kecil. Jakarta: Tempo.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Berkunjung ke Penjara Boven Digoel (tjuandha)