Ibu Kita (memang) Kartini | Refleksi Nilai-nilai Kartini

Selama ini perjuangan Ibu Kartini hanya dirayakan dengan ceremonial dan hanya sebatas parade pakaian adat yang dilaksanakan oleh anak usia taman kanak-kanak sampai sekolah dasar.


Menyongsong hari Kartini tahun ini, apakah aspirasi patriotisme yang dilakukan Ibu Kartini dan perjuangannya terhadap penindasan dalam feodalisme atau kolonialisme itu layak dirayakan sebatas ceremonial dan parade pakaian adat, tanpa memperhatikan situasi, disposisi, dan esensi hati nurani Ibu Kartini?

Kesadaran Moralitas yang Kongruen

Sigmund Freud dengan jenius menjelaskan bahwa ketaatan dimotivasi secara negatif oleh rasa takut terhadap hukuman. Jika nilai-nilai itu diperkenalkan kepada orang yang memiliki wewenang, maka muncullah perselisihan. Hubungan yang tidak ambivalen ini adalah fakta psikologis dan klinis yang Freud simpulkan, sehingga dalam analisisnya, Freud mencapai titik kulminasi tentang bentuk hati nurani, yaitu hati nurani positif dan hati nurani negatif.

Hati nurani positif adalah hasil dari dinamika ego-ideal, sedangkan hati nurani negatif adalah hasil dinamika super-ego. Ego-ideal tidak dicapai melalui proses identifikasi sang patron. Sekalipun hubungan kasih sayang tanpa keraguan itu ada, prinsip moral yang penuh kasih dan tidak berambivalensi terhadap ego tidak akan membenci semua hal yang berkaitan dengan sang patron itu. Maka terhadap kegagalan, yang dinilai bukanlah rasa takut atau rasa bersalah melainkan penolakan diri. 

Hati nurani positif ada dalam diri Ibu Kartini. Ia mencari untuk menemukan apa yang di-kata-kan nuraninya yang mendasari dirinya memilih untuk memperjuangkan dan melawan adat yang mewabah di zamannya tersebut.

Nurani Ibu Kartini

Nurani Ibu Kartini sebagai aspirator patriotisme dan perjuangan melawan penindasan dalam feodalistik atau kolonialisme timbul karena hal-hal wajar. Pada mulanya, nurani ini timbul untuk menyelamatkan hatinya sendiri dari pemerkosaan adat yang merampas kemerdekaannya terhadap masa depannya. Maka dengan senjata pena dan buku, ia menyelamatkan hatinya dengan literasi. 

Ia tanggalkan dunia-dunia yang menjeratnya dan memasuki dunia nuraninya; gagasan, ide-ide, dan ia menemukan idealisme sosial yang lebih bermutu di tengah peradaban kolonialisme. Penolakannya terhadap adat feodalisme dan kolonialisme yang merampas seluruh dirinya, menyebabkan suatu akibat dalam dirinya. Lambat-laun (dan pasti), Ibu Kartini memasuki moderenisme Barat dan dengan getolnya menumbangkan kekuasaan serdadu feodalisme Jawa yang mengejarnya untuk dijadikan kembali sebagai hamba.

Perlu dicatat bahwa semua ini datangnya bukan karena soal kebetulan atau beja, melainkan suatu kepastian melawan vonis feodalisme Jawa (saat itu) yang “sakitan” dan itu untuk dijadikan hidup yang “sakitan” pula. Adanya daya dorong yang getol dan nuraninya itu menyebabkan hidupnya laksana selembar baja pipih yang diasah lama-kelamaan menjadi pisau tajam.

Karena kesadarannya terhadap fungsi sejarah, maka Ibu Kartini seakan-akan hidup dalam paksaan untuk menggarap semua hal yang belum pernah digarap. Karena itu, maka orang-orang melihatnya sebagai “penggelisah”, sebab ia dilihat hidup dalam “ketidakpastian” atau “ketidaktetapan”.

Reflectio in Actionem

Titik kulminasi nilai hidup dan nurani Ibu Kartini telah mencapai pada puncaknya; generasi muda-mudi bangsa ini. Kulminasi itu sebatas parade busana adat. Lantas ke mana esensi nilai nurani Ibu Kartini yang harus dipahami? 

Belajar dari dan bersama Ibu Kartini, api hati yang semakin terguncang adalah bahan bakar munculnya energi melawan yang salah. Senjata utama untuk maju bukan pistol, pisau, atau berbagai laras panjang, melainkan pikiran dan hati nurani.

Dengan apa perjuangan itu diangkat dan didengungkan. Kesadaran dan keterarahan pikiran perlu untuk diasah dengan hati nurani. Hati nurani ternyata memberikan energi besar yang murni dari dalam diri, tanpa campur tangan apa pun, sehingga muncul api besar dalam diri yang disebut sebagai spirit

Pandangan itu sangat jelas, bahwa Ibu Kartini memberikan rumusan fundamental sejarah mental yang harus diwariskan ke generasi-generasi milenial. Mind, body, spirit di mana makna dan hakikatnya sama dengan dokrtin trinitas – tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. 

Keseimbangan Ibu Kartini bersumber pada kesadarannya, bahwa roso-nya pada manusia tidak hanya satu jalan, melainkan banyak jalan dan kepercayaan bahwa kebajikan itu dapat ditempuh memiliki syarat; asal persiapan telah dikuasai, maka kebaktian pada manusia itu akan tercapai.

Semua nilai yang terurai dalam bagian ini hanyalah segenggam garam untuk samudera. Saya ingin genggaman garam ini sampai kepada pembaca yang akan senantiasa mengambil sejumpirt ujung jari untuk memberikan rasa kepada orang lain. Semoga, Ibu Kartini dirayakan atas nilai-nilai hidupnya, dengan pencarian hikmah hidup Kartini. Ibu kita memang Kartini.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Cinta dan Kemenangan; Kumpulan Puisi Azman Hassam

Next Article

Seni sebagai Media Bimbingan Konseling