Gunungkidul The Next Bali: Pariwisata untuk Siapa?

Dengan semangat ingin menjadikan Gunungkidul seperti Bali, hampir setiap hari yang dibahas pemangku wilayah hanya pariwisata dan pariwisata.

Beberapa tahun terakhir ini Pulau Bali tengah menjadi soroton. Bukan hanya perkara turis asing bebal yang suka bikin onar, tetapi juga masalah masifnya kerusakan lingkungan. Atas nama pariwisata, pihak-pihak tak bertanggung jawab seenak jidat merampas tanah dan ruang hidup warga lokal di Pulau Dewata.

Salah satu contoh perusakan lingkungan di Bali yang baru-baru ini viral di media sosial adalah pengerukan tebing batu kapur di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Tanpa sepengetahuan warga, tebing di Pantai Pemutih itu hancur dan serpihan-serpihannya jatuh ke laut sehingga membahayakan para nelayan dan mengancam ekosistem laut.

Kita tahu, sebagai daerah tujuan wisata dunia, setiap hari Bali dipadati turis mancanegara. BPS mencatat, lebih dari 400 ribu warga asing setiap bulannya datang ke Pulau Seribu Pura ini. Saking berjubelnya wisatawan dari luar negeri, nggak sedikit warga Bali yang kini mulai merasa terasing di tanah leluhurnya sendiri.

Ya, sejak raksasa investasi ‘menghajar’ Pura Tanah Lot di Kabupaten Tabanan, Bali pada tahun 1990 silam, komunitas lokal di Bali mulai (merasa) tersisihkan. Banyaknya villa, restoran, pusat perbelanjaan, dan hiburan malam di wilayah ini, dinilai dapat mengancam eksistensi masyarakat adat karena mengganggu warga lokal dalam melaksanakan ritual.

Melihat kondisi pariwisata di Bali yang mulai banyak mengeksploitasi alam dalam skala besar dan turis asing yang mengusik masyarakat lokal, pemangku wilayah di Gunungkidul justru ingin mengikuti jejak langkah Pulau Dewata. Narasi ini digambarkan dengan gamblang dalam buku Gunungkidul The Next Bali (2022) karya Cyrillus Harinowo, dkk.

Buku setebal 258 halaman itu, (intinya) ingin menjadikan Gunungkidul sebagai “Bali kedua”. Alasannya jelas, karena Gunungkidul memiliki segudang potensi alam yang luar biasa, sehingga bisa menarik kunjungan wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Dengan begitu, penguasa berharap agar para investor mau menanamkan modalnya di kawasan destinasi wisata.

Sekilas, wacana tersebut seperti angin segar untuk warga Gunungkidul. Ketika daerah ini sudah benar-benar menjadi tujuan wisata internasional dan ramai dikunjungi turis asing, para elit mengklaim nantinya akan memberi dampak ekonomi yang signifikan bagi para pelaku wisata.

Pertanyaannya, apakah narasi “Bali Kedua” ini benar-benar mampu meningkatkan taraf ekonomi warga? Siapa yang lebih banyak diuntungkan dari proyek pariwisata ini?

Pariwisata Gunungkidul untuk Siapa?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, sebaiknya kita menengok kenyataan di sekitar dulu. Kita tahu, seiring dengan bertumbuhnya media sosial, nyaris setiap akhir pekan sepanjang jalan menuju pantai selatan Gunungkidul macet dipenuhi kendaraan. Banyak sekali plat nomor luar Gunungkidul yang tampak antre di depan pintu TPR. Sebuah tanda kalau pariwisata di Bumi Handayani semakin berkembang pesat.

Menurut data dari Dinas Pariwisata (Dispar), dilansir dari Sorot Gunungkidul pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor wisata mencapai sekitar Rp24,8 miliar dengan total kurang lebih 4.117.190 pengunjung untuk tahun 2023. Angka ini sudah sangat melampaui harapan yang sebelumnya Dispar hanya menargetkan 1,6 miliar saja.

Kalau pendapatan daerah sudah melebihi target, lantas kenapa harus terus membangun objek wisata yang cenderung eksploitatif itu?

Ya, meski pendapatan daerah melimpah-ruah, nyatanya angka kemiskinan di Gunungkidul dari tahun ke tahun nyatanya masih sangat tinggi dan keadaan ekonomi warga gini-gini saja. BPS mencatat, penduduk miskin di Gunungkidul tahun 2023 sebesar 15, 60 persen atau sebanyak 122.240 jiwa. Artinya, masih banyak warga yang belum bisa menikmati kue pariwisata.

Saya menduga, kurangnya koordinasi antara pemerintah dan warga lokal menjadi salah satu penyebab utama masalah di kawasan obyek wisata. Penguasa seolah hanya ingin memuaskan hasrat para pemodal saja, tanpa memikirkan nasib masyarakat sekitar.

Lihat saja, setelah warga bersusah payah membangun, menjaga, mengembangkan daerahnya dan berhasil dikenal wisatawan dari luar daerah, investor datang mencoba “merampas” semua lahan.

Situasi ini persis yang dialami warga di sekitar Pantai Watu Kodok, Kelurahan Kemadang, Kapanewon Tanjungsari pada tahun 2013 lalu. Yang mana para pelaku wisata lokal dipaksa angkat kaki dari kampung halamannya sendiri oleh investor.

Konflik perebutan lahan di Pantai Watu Kodok hanya segelintir contoh dari banyaknya pemodal rakus yang diam-diam ingin mencaplok semua kawasan wisata. Inilah kenyataan yang tengah dihadapi sebagian warga Gunungkidul: mereka yang membangun dan mengharumkan nama Bumi Handayani di mata dunia, tapi pelan-pelan investor selalu berhasil menggusur.

Bukannya berdiri bersama dan memihak warga, pemangku wilayah justru acap kali menjabat erat tangan para pemodal. Ada kesan bahwa warga bukan lagi menjadi prioritas utama di mata penguasa. Malah seperti bermain kucing-kucingan dengan warganya sendiri. Semua dilakukan semata-mata demi memenuhi perut para bandar tanpa mempedulikan ancaman besar yang harus dihadapi warga di masa mendatang.

Jadi, mau wisata berbasis internasional atau apalah itu, tetap saja yang diuntungkan hanya segelintir orang saja. Sisanya, warga lokal hanya akan menjadi penonton bus-bus besar berdatangan sambil memungut sampah-sampah wisatawan asing bececeran di jalan raya, seperti yang sering kita lihat belakangan ini.

Potensi Merusak Karst dan Mengasingkan Warga Lokal

Alih-alih berdampak baik bagi ekonomi bagi masyarakat, saya rasa saat ini dunia pariwisata di Gunungkidul malah cenderung merusak. Ini bisa dilihat dari banyaknya resort yang berdiri di atas kawasan bukit karst. Walhi Yogyakarta melaporkan, setidaknya ada tiga resort yang melanggar pola ruang dan kawasan bentang alam karst (KBAK), yakni Drini Park, Stone Valley by HEHA, dan Resort Beach Club Bekizart.

Hasil riset yang dilakukan oleh Walhi Yogyakarta menunjukkan bahwa Drini Park dan Stone Valley by HEHA menyalahi Perda DIY No 10 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DIY tahun 2023-2043, karena kawasan tersebut masuk dalam KBAK. Sementara itu, Resort Beach Club Bekizart juga berdiri di kawasan karst yang dinilai Walhi dapat merusak instalasi sumber air bawah tanah.

Tentu ini sangat ironi. Mengingat beberapa wilayah tersebut sangat rentan mengalami kekeringan. Bukannya membuat kebijakan yang dapat mengurai masalah kekeringan, Pemkab Gunungkidul justru mengeksploitasi alam besar-besaran yang mempertebal krisis air bersih di sepanjang kawasan pantai selatan.

(dok. Jevi Adhi Nugraha)

Dampak dari pengurangan kawasan karst ini nggak hanya memperburuk masalah air bersih saja, tapi juga menyingkirkan aneka satwa di Gunungkidul. Banyak sekali kawanan monyet ekor panjang yang masuk ke lahan pertanian warga akibat habitat mereka dibabat habis oleh pihak pengembang. Bukannya untung, sebagian para petani Gunungkidul setiap tahunnya harus buntung karena gagal panen.

Sementara itu, ketika proyek pariwisata sudah jadi, warga terancam asing di tanah leluhur sendiri. Lihat saja, beberapa kawasan wisata di Gunungkidul kini sudah mulai dijadikan ruang privat oleh pihak pengembang. Situasi ini pernah dialami oleh warga Bolang, Kelurahan Giritirto, Kapanewon Panggang, ketika pembukaan wahana HeHa Ocan View pada Februari 2021 lalu. Saat hendak melihat wahana baru tersebut, masyarakat lokal harus bayar biaya masuk kawasan. Kalau pengin masuk gratis, warga sekitar harus menunjukkan identitas KTP.

Jadi, narasi ingin melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan wisata hanya isapan jempol semata. Pada akhirnya, selain kena dampak (potensi) krisis air akibat masifnya pemangkasan bukit karst, warga juga akan menjadi turis di kampung halamannya sendiri.

Bisnis Pariwisata Datang, Lahan Pertanian Habis

Dengan semangat ingin menjadikan seperti Bali, hampir setiap hari yang dibahas pemangku wilayah hanya pariwisata dan pariwisata. Mereka lupa kalau Gunungkidul (pernah) menjadi lumbung pangan DIY, yang mampu menghasilkan padi dan jagung dengan kualitas terbaik.

Sekarang, kampung-kampung di Gunungkidul seolah “dipaksa” menjadi desa wisata dan mau nggak mau warga secara perlahan segera angkat kaki dan meninggalkan lahan pertanian.

Ya, sektor pariwisata seolah menjadi tujuan utama pemangku wilayah di Gunungkidul. Di kampung saya sendiri, beberapa kali para pemodal datang dan mulai melirik lahan-lahan pertanian yang punya potensi bisa dijadikan obyek wisata. Nggak sedikit warga yang kemudian tergiur karena dikasih harga yang sedikit lebih tinggi dari rata-rata.

Sudah nggak terhitung berapa banyak warga di Bumi Handayani yang harus melepaskan tanahnya demi tujuan “Gunungkidul The Next Bali” ini. Sebagian warga Gunungkidul membelanjakan uang hasil jual tanah tersebut untuk memperbaiki rumah dan membeli kendaraan. Alhasil, warga harus meninggalkan profesi sebagai petani dan beberapa banting setir menjadi tukang bangunan, membuka warung kecil-kecilan, hingga kerja serabutan.

Kenyataan pahit ini saya dapatkan ketika sedang meliput pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) beberapa waktu lalu di kecamatan Rongkop. Ada warga yang mau nggak mau harus melepas lahan pertaniannya di dekat JJLS ke pihak pengembang. Awalnya, warga tersebut mengaku senang karena bisa memperbaiki rumah hasil dari menjual tanah. Namun, saat ini dia mengaku bingung mau kerja apa karena tanah habis sehingga nggak bisa mengolah ladang kembali.

(dok. Jevi Adhi Nugraha)

Dampak buruk pembangunan pariwisata besar-besaran ini juga dialami oleh seorang warga di kecamatan Paliyan. Akibat masifnya pemangkasan bukit-bukit karst, sekarang banyak monyet ekor panjang turun bukit, lalu masuk ke lahan pertanian. Ketika saya temui, petani tersebut mengaku bahwa hasil panen kacang dan jagung miliknya dari tahun ke tahun terus menurun.

Melihat kenyataan tersebut, saya nggak sanggup membayangkan jika Gunungkidul benar-benar menjadi “Bali”. Bakal berapa banyak bukit karst saja yang harus hilang di tangan para pemodal. Berapa banyak warga Gunungkidul yang harus kehilangan profesinya sebagai petani.

Apakah tujuan pembangunan memang seperti ini? Apakah selalu mengorbankan warga hingga mereka kehilangan identitas dan jati dirinya?

Narasi Mengerdilkan Identitas Warga Bumi Handayani

Dari semua rangkaian peristiwa di dunia pariwisata Gunungkidul belakangan ini, saya merasa ada pihak yang mencoba mengkerdilkan identitas warga di Bumi Handayani. Warga seolah hanya dipandang sebagai komoditas yang menghasilkan pundi-pundi uang di mata para kapitalis. Fenomena ini tampak jelas ketika penguasa meminta kepada beberapa otoritas kelurahan agar menjadikan kampungnya sebagai desa wisata.

Buku Gunungkidul The Next Bali yang diluncurkan pada 2022 dan dihadiri langsung Bupati Gunungkidul, jelas membujuk para investor agar berkeliling ke Gunungkidul, lalu ikut membangun bisnis wisata. Penguasa wilayah meyakinkan kepada para pemodal bahwa Gunungkidul mampu menarik wisatawan mancanegara seperti di Bali.

Melihat kondisi pariwisata Bali sekarang yang sudah overtourism, merusak lingkungan, dan berkubang sampah, saya sebagai warga Gunungkidul, secara tegas menolak rencana ini. Mumpung belum terlalu remuk, sudah saatnya pemangku wilayah nggak hanya bicara soal pariwisata.

Sekali lagi, masih banyak potensi ekonomi lain di Gunungkidul jauh lebih besar dari sekedar proyek wisata yang mengancam kelestarian alam.

Ingat, Gunungkidul adalah lumbung pangan DIY yang punya kekuatan mumpuni untuk menghidupi anak-cucu.

Jadi, sebaiknya pemangku wilayah lebih peduli dengan nasib para petani dan kelestarian alam dengan membuat kebijakan-kebijakan yang ramah lingkungan.

Sebab, kami masyarakat Gunungkidul punya karakter dan identitas sendiri. Semua kekayaan alam dan budaya di tanah ini bukan untuk dijual ke pihak-pihak asing, tapi sebagai pedoman hidup warga Gunungkidul dari para leluhur, yang nanti akan diteruskan ke generasi berikutnya.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Jevi Adhi Nugraha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Bedah Lirik Eye Contact, Band Punk Aneh Tapi Mengerikan Asal Yogyakarta

Next Article

Orang-Orang Karangmalang: Kumpulan Puisi Faza Nugroho