Bra, Solusi Kapital Meredam Histeria Massa

Ibu dan bulik saya sering mengeluh risih ketika saya keluar rumah tanpa mengenakan bra. Saya rasa ibu dan bulik saya hanyalah sebagian dari banyaknya masyarakat dunia yang tak nyaman dengan ‘beredarnya’ payudara di muka publik. Betapa menyedihkan, padahal ibu dan bulik saya juga punya payudara! 

Lelaki bertelanjang dada di muka publik dilumrahkan masyarakat, akan tetapi, sedikit saja perempuan mempertontonkan anggota tubuhnya, masyarakat langsung gegeran. Ini marak terjadi di kalangan masyarakat yang banyak terjamah modernitas berbasis monoteisme. Tubuh perempuan seringkali ditafsir dan diyakini sumber dosa yang mengancam sehingga harus ditutupi, dipenjara, serta ditanggulangi sedemikian rupa.

Nah, para pemodal tahu betul cara memanfaatkan histeria massa tersebut, yaitu dengan memproduksi berbagai bentuk penutup dada bagi perempuan. Salah satunya, bra. Sungguh ide yang jenius, melihat betapa sekarang perempuan urban sangat tergantung dengan yang namanya bra!

Sekarang kita bisa melihat, bahwa “beha” merupakan hasil dari tawar-menawar yang dikonstruksi selama berabad-abad. Tubuh seorang perempuan dipolitisasi atas dasar kepentingan agama, norma, dan ekonomi. Lucunya, saya menemukan paradoks dalam konstruksi tersebut: kalau memang bra diciptakan untuk mengandangi penampakan badaniah perempuan yang konon katanya berbahaya, lantas mengapa banyak variasi ‘bra cantik’ yang justru membuat payudara tampak makin yahud dipandang? 

Ah, barangkali memang benar, masyarakat kita adalah masyarakat yang misoginis benci-tapi-rindu! Munafik?

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho

Foto: (iStockphoto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Catatan Lepas Setelah Membaca Na Willa

Next Article

Mimpi itu Berinisial "K"

Related Posts