Andaikan Orang-Orang Tahu Kemalasan itu Penting

Sejak membaca esai Bertrand Russell, saya merasa mendapat pengesahan untuk menjadi pemalas selamanya dan otomatis berhenti menganggap malas sebagai sesuatu yang buruk.

Pertama-tama, perkenankanlah saya memberi usulan agar kemalasan digolongkan sebagai perbuatan baik dan terpuji, bahkan perlu dikampanyekan sebagai gerakan solidaritas massa di kehidupan modern. Sebab ia adalah solusi; solusi bagi semua masalah kita hari ini.

Sebelum membaca salah satu esai Bertrand Russell itu dalam buku Bagaimana Saya Menulis (2020), yang merupakan antologi esai-esainya, saya memiliki keyakinan sebagaimana khalayak umum meyakininya bahwa “malas adalah perbuatan buruk dan hina, atau sekurang-kurangnya tidak berguna, dan lantaran itu tidak sepatutnya dilakukan”.

Apabila dibuat semacam daftar hal buruk, malas tentu tidak akan bertengger di posisi teratas daftar tersebut (paling buruk), ia lebih tepat berada di posisi terbawah. Namun, mau bagaimana pun tidak ada alasan yang cukup untuk melegitimasi—apalagi menganjurkan—perbuatan ini.

Seorang ibu yang mendapati anaknya hanya leyeh-leyeh di sofa dan keasyikan main gawai, beranjak hanya saat lapar atau kebelet buang air, lalu tertidur pulas sepanjang hari, pasti akan amat marah. “Jangan malas-malasan!” itulah kira-kira yang akan didampratkan padanya; atau ibu itu akan mengambil air menggunakan gayung kamar mandi, kalau tidak diguyur, minimal dipercikkan pada wajah anaknya.

Ibu dengan personifikasi seperti ini saya temukan pada tetangga-tetangga rumah di desa yang kelas ekonominya menengah ke bawah, penganut fanatik pemikiran bahwa hal-hal buruk termasuk kemalasan harus dibumihanguskan dari peradaban.

Saya patut bersyukur sebab tidak memiliki ibu dan nenek yang suka mendamprat kemalasan. Meskipun saya memiliki keyakinan bahwa malas adalah hal buruk, saya sendiri merupakan pemalas. Mereka membiarkan saya bahagia dan menikmati kemalasan. Di hari-hari libur panjang pesantren, di mana saya terbebas dari berbagai tanggung jawab sebagai pengurus pesantren yang menjemukan, saya akan menggelepek di atas kasur. Jika sudah penat, saya akan pindah ke lantai. Terus seperti itu nyaris sepanjang hari: bercengkrama dengan bantal, gawai, buku, dan laptop.

Sejak membaca esai Russell itu, Memuja Kemalasan, saya merasa mendapat pengesahan untuk menjadi pemalas selamanya dan otomatis berhenti menganggap malas sebagai sesuatu yang buruk. Bagaimana Russell menyajikan argumentasinya dalam esai itu, saya tidak ingat betul.

Namun secara garis besar,  ia mengatakan bahwa persoalan-persoalan besar umat manusia terjadi karena manusia terlalu sibuk, tenggelam dalam perlombaan untuk jadi yang terdepan, dan mengagung-agungkan akselerasi kemajuan. Intinya, bergerak atau beraktivitas lebih dimuliakan dibandingkan berdiam, apalagi malas-malasan.

Russell tentu tidak sedang bercanda. Andaikan seisi dunia merelakan dirinya menjadi pemalas, tentu ada banyak persoalan dunia ini yang teratasi. Misalnya, persoalan macet di jalanan kota metropolitan seperti Jakarta dan udara yang kian polutif akibat terlalu banyak kendaraan beroperasi.

Jika semua orang jadi pemalas, jalan-jalan yang biasanya padat akan lengang, lalu volume emisi menipis sehingga udara menjadi segar untuk dihirup banyak orang. Selain itu, bahan bakar minyak (BBM) akan mungkin dihemat untuk jangka lama sampai transisi pada energi terbarukan terlaksana.

Mencairnya gletser, degradasi lapisan ozon, dan meningkatnya temperatur dunia akan segera turut teratasi, sekali lagi, tentu asalkan kita berani menyambut kemalasan sebagai gerakan solidaritas dunia. Tetapi, jangan disalahpahami malas dalam arti hanya berdiam diri di dalam rumah, tapi tidak terlepas dari dunia luar. Meskipun seharian bergolek di atas sofa, seorang bisa tetap melakukan belanja daring, dan ini artinya masih melakukan perbuatan polutif lewat pengiriman pesanannya itu; atau seorang bos besar dapat mengendalikan pabrik dan ratusan buruh di dalamnya dari rumah. Jelas, ini bukan malas yang dimaksud.

Malas yang diinginkan di sini adalah ‘malas yang sesungguhnya’, yaitu ia tidak melakukan apa-apa selain menikmati seadanya. Tidak keluyuran, tidak berbelanja berlebihan, dan hanya berkutat pada aktivitas rumahan: makan-tidur. Termasuk pula tidak bersekolah atau membaca buku agar jadi pintar seperti para cendekiawan dan ilmuwan kita.  Dalam istilah lain, hal ini dapat disebut sebagai ‘kemalasan primordial’.

Berhenti Berusaha Menjadi Pintar

Kita mungkin tidak sadar, selama ini, akar kehancuran keseimbangan ekologi dunia adalah akibat dari jerih payah para penemu yang tidak ingin berhenti berkarya dan memuaskan hasrat ingin tahunya. Teknologi-teknologi ciptaan mereka memudahkan manusia memenuhi kerakusan dan mempertontonkan kebuasan. Bila di era-era sebelumnya, untuk membabat satu hektar pohon membutuhkan banyak tenaga manusia, kini dengan mesin-mesin besar buatan para ahli mesin, puluhan hektar dapat dibabat dalam waktu yang singkat; atau lubang-lubang curam dan besar bekas tambang sama mudahnya dibuat; atau perjalanan berkilo-kilo meter dapat diringkas dengan mengendarai motor, kereta, bus dan pesawat, namun menyisakan emisi yang merusak lapisan ozon dan paru-paru.

Tuduhan ini, bagi sebagian orang, mungkin dianggap tidak berdasar. Tapi saya kira, tidak. Memang para ilmuwan tidak pernah menginginkan keburukan atas temuannya, namun tanpa mereka sadari, temuan mereka kerap kali membantu orang-orang jahat melakukan kerusakan yang lebih besar dari sebelumnya. Sebuah kredo mengatakan, ‘suatu hal biasa dianggap buruk jika menjadi penyebab keburukan terwujud’. Sejak studi keatoman digumuli, tuan-tuan fisikawan tidak pernah membayang hasil studi mereka akan digunakan sebagai piranti genosida. Pada paruh pertama abad 20, Amerika mewujudkan itu. Mereka menjatuhkan bom atom (nuklir) di Hiroshima-Nagasaki. Dua kota di Jepang itu luluh lantak dan dalam rentang empat puluh lima menit ratusan ribu orang kehilangan nyawanya.

Kita tidak akan memungkiri bahwa ada banyak dampak mengagumkan dari kerja fisikawan pada kehidupan umat manusia. Misalnya, dengan berasaskan fisika atom memungkinkan virolog mengurut DNA patogen menular, atau penyelamatan pasien kanker dengan terapi neutron yang asasnya adalah fisika tentang partikel berenergi tinggi, atau Sinar X yang lumrah digunakan sebagai alat diagnosis tidak mungkin ada tanpa pemahaman partikel-gelombang dalam fisika kuantum. Melihat dedikasi agung para fisikawan, sangatlah tidak pantas menyebut mereka sebagai penyebab kejahatan. Namun, dengan alasan apa pun, kenyataannya di lapangan, hal-hal buruk dimungkinkan untuk terjadi berkat penemuan brilian mereka.

Bayangkan jika para orang tua tidak lagi marah pada anak-anak mereka yang hanya malas-malasan. Mereka tidak memaksa anak-anak untuk menghabiskan waktu di bangku sekolah yang membosankan dan menekan. Selain kebahagiaan mereka dibiarkan menikmati kemalasan, tanggung jawab orang secara finansial pun berkurang. Kita tidak lupa bahwa biaya pendidikan terlalu mahal, khususnya di dunia kampus. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, perlu banting tulang (dari merantau ke negara sampai menjual tanah warisan) agar dapat menuntun anak mereka hingga ke bangku universitas.

Dengan tidak sekolah, membaca buku, atau semacamnya, tentu mereka tidak akan menjadi orang pintar seperti Albert Einstein, Charles Darwin, atau profesor-profesor di universitas. Meminjam istilah Andrea Hirata, mereka akan disebut ordinary people (orang-orang biasa). Dengan demikian, populasi ilmuwan tidak akan terus bertambah dan otomatis telah mengurangi hal-hal buruk yang masih belum dan akan terjadi di dunia selanjutnya.

Kemalasan juga mampu mengatasi persoalan akut seperti kapitalisme-neoliberal. Dalam sejarah, untuk menyadari bagaimana kebobrokan kapitalisme, kita perlu menunggu risalah-risalah sosialisme-komunisme Marx, Lenin, Althusser, atau pemikir kiri lainnya. Baru setelah itu masa pengkonsolidasian dan pemberontakan atasnya dilakukan. Dua tahapan ini membutuhkan waktu yang lama agar terwujud, sekaligus pengorbanan tanpa pamrih kader-kadernya—pembantaian PKI di masa Soeharto, misalnya. Namun, apabila menjadikan kemalasan sebagai suatu ideologi, kita dapat melakukan efisiensi dan akselerasi. Orang-orang malas pasti jenuh untuk membeli ini-itu. Barang-barang produksi pun banyak tidak terjual sehingga industri-industri eksplotatif dan polutif pun tutup. Kapitalisme bangkrut.

Setelah membaca dampak positif dan agung kemalasan yang tidak terkira ini, saya harap Anda tidak perlu ragu lagi untuk menjadi pemalas. Malas adalah cara paling murah berbuat baik. Dengan hanya bermalas-malasan di sofa sepanjang waktu, mengkonsumsi barang-barang cuma pada yang dibutuhkan, dan tidak menghadirkan pikiran atau keinginan aneh kecuali menikmati kemalasan itu sendiri, Anda telah menyelamatkan dunia. Anda adalah sang penyelamat. Ya, Anda telah melakukan suatu hal yang mulia.


Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: Akwila Chris Santya Elisandri

1 comment
  1. Ditengah kemalasan ini saya sudah merasakan apa yang dituliskan mas didlm cerita ini, cerita ini sangat menarik untuk dibaca. dan ini yg menurut saya pas ketika saya membaca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts