Untuk merayakan perhelatan Record Store Day Indonesia 2023 (RSD 2023), The Adams merilis ulang ketiga albumnya; S/T, V2.05 dan Agterplass dalam bentuk piringan hitam. Perilisan ulang ketiga album The Adams dalam bentuk piringan hitam ini disambut meriah oleh para penggemarnya. Pada tanggal 5 Mei 2023, Demajors mengadakan program “Rilis di Toko” yang diperuntukkan bagi penggemar The Adams yang ingin membeli piringan hitam mereka secara langsung di toko dan ditandatangani oleh seluruh personel The Adams.
Namun, Demajors tidak menyediakan ketiga piringan hitam itu dalam jumlah yang banyak pada program tersebut. Demajors hanya menyediakan 350 keping, di antaranya 100 keping album S/T dijual dengan harga 275.000, 100 keping album V2.05 dijual dengan harga Rp.275.000 , dan 150 keping album Agterplass dijual dengan harga Rp.450.000. Otomatis, tidak semua orang yang datang ke toko Demajors Jakarta mendapatkan salah satu dari ketiga piringan hitam tersebut.
Setelah euforia “Rilis di Toko” usai, di Twitter, muncul cuitan dari akun @hasief yang membagikan tangkapan layar. Tweet itu menunjukkan bahwa ketiga piringan hitam album The Adams yang sudah ditandatangani tiba-tiba dijual kembali oleh seseorang di salah satu situs marketplace dengan harga Rp.21.500.000. Gila! Sangat meroket. Bagaimana bisa harganya menjadi selangit?
Manusia memanglah rakus.
Meroketnya harga tiga piringan hitam album The Adams membikin kesal penggemar The Adams yang rela mengantre lama demi memuaskan batinnya sebagai seorang kolektor piringan hitam atau sebagai penggemar musik. Saya yakin mereka tidak ingin menimbun atau “berinvestasi” dengan salah satu dari ketiga album The Adams.
Setidaknya bagi saya sebagai seorang kolektor rilisan fisik musik, khususnya kaset, pernah merasa geram juga karena beberapa keping kaset album dari band kesayangan saya harganya melejit. Contohnya kaset pita album S/T milik Efek Rumah Kaca yang dirilis saat perhelatan Cassette Store Day 2013 (CSD 2013) tiba-tiba harganya naik menjadi sekitar Rp.850.000-Rp1.000.000 – saya belum menemukan harga jual awal dari kaset pita ini. Atau kaset pita album Dunia Batas milik Payung Teduh yang dirilis saat RSD 2015 yang harga awalnya hanya dibanderol sebesar Rp.35.000 dan dalam kurun waktu satu hingga tiga tahun, tiba-tiba harga kaset tersebut menjadi sekitar Rp.200.000-Rp.400.000. Siapa yang harus disalahkan?
Berkat kenaikan harga rilisan fisik yang tidak masuk akal, saya sekonyong-konyong terlatih menjadi seorang yang melulu memikirkan untung dari penjualan rilisan fisik daripada sekadar mengoleksinya. Laku saya terhadap rilisan fisik menjadi berbeda. Saya mulai mengoleksi kaset hanya untuk menjualnya kembali. Apalagi yang saya “buru” adalah kaset-kaset band lokal yang rilis saat RSD. Kaset menjadi semacam barang investasi yang “murah” – jika dibandingkan dengan logam mulia – dan saya sempat merasa senang dengan model investasi semacam itu. Namun pada akhirnya, saya jadi sebal.
Semakin Cepat Anda Merayakan Record Store Day, Sudah Dipastikan Anda Beruntung
Dari tahun ke tahun, RSD hanya berlangsung selama dua hari. Maka, jika para kolektor rilisan fisik tidak mempunyai waktu untuk merayakan RSD, siap-siap saja, Anda akan menjadi orang yang buntung. Rilisan-rilisan eksklusif band-band besar biasanya cepat ludes. Tak menunggu sampai akhir perayaan, satu jam setelah perayaan dinyatakan sudah dimulai saja rilisan-rilisan eksklusif sudah “diculik” oleh kolektor lain.
Time is money. Waktu adalah uang. Eliesta Handitya, di dalam esainya yang berjudul Mengalami Waktu dalam Gerak Kapitalisme mengatakan bahwa dalam sistem kapitalisme, kecepatan serta efisiensi seseorang berdampak kepada tingkat produktivitas seseorang. Tidak menghargai waktu pada sistem kapitalisme, tak menutup kemungkinan kita akan tergilas oleh “kereta cepat” efisiensi dan produktivitas.
Konteks dari esai tersebut adalah nilai produktivitas buruh dalam bekerja. Namun, jika makna dari rilisan fisik bergeser menjadi makna profit, maka sesungguhnya orang-orang yang berbondong-bondong menuju tempat di mana perayaan RSD berlangsung juga sedang “bekerja” untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.
Saya sempat menyinggung persoalan makna pada paragraf di atas. Orang-orang yang tidak memiliki alat produksi seperti seorang buruh (saya), sudah pasti terlunta-lunta dalam mendapatkan untung. Produsen di dalam kajian budaya populer yang telah menjadi komodifikasi, tidak lagi terlibat dalam sistem perdagangan ini. Artinya produsen tidak ikut campur memberikan makna terhadap produk budaya populer (rilisan fisik).
Makna rilisan fisik berubah dari waktu ke waktu. Pada awalnya rilisan fisik digunakan para sesepuh agar hanya bisa mendengarkan musik karena zaman dahulu belum ada layanan streaming musik digital. Hari ini, rilisan fisik dimaknai sebagai sumber penghasilan yang menjanjikan.
Baca Juga: Perayaan Atas Musik dan Cendera Mata Band di 16 Kota | Music Merch Festival 2023
Mengapa Rilisan Fisik Dijual Terbatas dan Harus Eksklusif?
Semenjak saya paham akan cara main RSD, saya termotivasi untuk segera lari secepat angin menuju venue RSD. Pada RSD 2018 saya membeli dua kaset: Longway to Nowhere milik Teenage Death Star dan Illsurrekshun milik Homicide. Seingat saya, harga awal kaset Longway to Nowhere dan juga Illsurrekshun tidak sampai menyetuh angka Rp.100.000. Sialnya, kedua kaset itu kini berharga Rp.200.000-300.000. Kalau kata Yusuf Mansur, “Dari mana duitnya?”
Meilisa Fani Herdiati, Andi Iriawan, dan Hadiah Fitriah dalam studinya tahun 2021, menyebutkan ada tiga faktor yang mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu barang limited edition atau dalam kasus rilisan fisik adalah rilisan eksklusif yang dikeluarkan saat momen RSD. Ketiga faktor itu ialah: isyarat kelangkaan (scarity cue), kebutuhan akan keunikan (need for uniqueness) serta kolaborasi brand-retailer.
Sudah menjadi hal yang wajar bagi kolektor rilisan fisik membeli rilisan eksklusif dari RSD. Kebutuhan akan keunikan kolektor rilisan fisik menjadi pendorong bagi mereka untuk menjadi berbeda antar sesama kolektor. Jika kolektor A memiliki piringan hitam The Adams yang bertandatangan seluruh personel The Adams, sedangkan kolektor B yang sama sekali tidak mendapatkan satu kepingpun dari ketiga piringan hitam album The Adams, maka kolektor A merasa istimewa.
Di dalam studi itu menyebutkan ada faktor pengucilan dan penolakan sosial bagi seseorang yang tidak mampu atau tidak berkesempatan mendapatkan barang-barang limited edition. Mengapa? Karena hal ini berkaitan langsung dengan interaksi sosial seorang konsumen. Secara sadar ataupun tidak, si konsumen yang tidak beruntuk akan membedakan dirinya sendiri dengan konsumen yang beruntung. Kebutuhan akan keunikan inilah yang mengantarkan seorang kolektor rilisan fisik heboh ketika merayakan RSD.
Baca Juga: Pemuja Harry Roesli dan Pengalaman Mengoleksi Rilisan Fisik bersama Rifkki Arrofik
Pertimbangan kecepatan waktu dan hasrat untuk menjadi unik menurut saya sebagai orang yang lamban cukup membebani saya sebagai kolektor rilisan fisik untuk membeli rilisan eksklusif RSD. Selain itu, kaset-kaset “mahal” yang sudah saya beli dan sudah saya niatkan untuk menjualnya kembali dengan harga yang tinggi, malah kaset-kaset tersebut teronggok di rak kaset bersama kaset-kaset berdebu lainnya.
Mulai hari ini saya sadar bahwa saya tidak cocok merayakan RSD. Biarkan saya dan watak kelambanan saya yang melindungi saya dari nafsu liar meninggikan harga rilisan eksklusif RSD. Bagi orang-orang yang masih melakukan hal-hal keji demikian, saya harap kalian berhenti. Kalian sama sekali tidak keren.
Kalian lebih baik memborong logam mulia dan lakukan investasi dengan emas tersebut. Niscaya, kalian akan kaya tujuh turunan!
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Demajors Records