Rekam Jejak Satu Dekade Kemunculan Era Boyband-Girlband di Indonesia: Sebuah Kajian Praktik Industri Budaya

Personil Boyband asli Indonesia SMASH /Ilustrasi kuyou.id

“Kenapa lidahku kelu tiap kau panggil aku? Selalu merinding romaku tiap kau sentuh aku. Kenapa otakku beku tiap memikirkanmu? Selalu tubuhku lunglai tiap kau bisikkan cinta.  You know me so well, girl I need you. Girl, I love you. Girl, I heart you.”

– SM*SH (2010)


Para generasi yang mengalami masa remaja pada tahun 2009 hingga 2012 tentu tak asing dengan penggalan lirik lagu berjudul I Heart You yang dinyanyikan oleh boyband megahits Indonesia, SM*SH. 

Secara historis, SM*SH dan boyband-girlband di Indonesia lahir akibat gempuran masif budaya musik Korea Selatan, K-Pop, yang masuk ke Indonesia dan digemari banyak kalangan. Hanya dalam kurun waktu satu dekade, Korea Selatan berhasil menyebarkan produk budaya populernya secara global. 

Fenomena persebaran budaya Korea Selatan atau yang lebih dikenal dengan istilah Korean Wave ini mulai mewabah di seluruh penjuru dunia sejak awal tahun 2009. Migrasi budaya ini tentu tak terlepas dari peran media massa dan media sosial yang secara masif memberikan informasi tentang budaya populer Korea seperti: film, musik, dan kuliner, juga orang-orang yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, kebudayaan Korea Selatan dapat dengan mudah melebur dan diterima negara lain. Bahkan, berbagai negara turut mengadopsi kebudayaan Korea Selatan, mengkontekstualisasikan budaya tersebut dengan budaya lokal, serta menjadikannya komoditas budaya yang memiliki nilai jual tinggi.

Hal di atas bukanlah sesuatu yang mengherankan, mengingat minat pasar yang muncul akibat Korean Wave sangat besar. Di Indonesia, salah satu budaya Korea Selatan yang berhasil menarik minat kawula muda adalah budaya musik K-Pop yang mengusung format boyband dan girlband. Format boyband dan girlband ini cukup menjanjikan dari segi komersial; beberapa personil laki-laki dengan beragam karakter suara dan kemampuan koreografi modern yang mumpuni diwadahi dalam sebuah boyband, sementara girlband adalah versi perempuan dari konsep boyband

Pada masa itu, siapa yang tak kenal dengan Siwon Super Junior dan Yoona SNSD? Berharap akan mendulang kesuksesan yang sama, boyband dan girlband lokal pun kemudian banyak bermunculan. Meskipun kerap memancing pro-kontra dari banyak kalangan, debut pionir boyband dan girlband lokal seperti SM*SH dan Cherrybelle berhasil meraup popularitas dan keuntungan besar dalam waktu relatif singkat. Hal ini kemudian membuat para agensi dan label musik berlomba-lomba melahirkan boyband dan girlband baru. 

Selanjutnya, mudah ditebak, konsep boyband dan girlband ala Korea Selatan lambat laun menjadi komoditas budaya baru di Indonesia, yang bermuara pada praktik industri budaya dalam ranah musik. Ironisnya, dengan exposure yang begitu besar terhadap kemunculan boyband dan girlband baru, akhirnya para penikmat musik mulai jenuh dengan tren yang ada. Hal ini membuat pamor boyband dan girlband menurun, kemudian perlahan-lahan sama sekali tak terdengar gaungnya. Fenomena semacam ini dirangkum oleh Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dengan istilah industri budaya.

Laju perkembangan industri yang masif dan cepat berdampak terhadap berbagai aspek, salah satunya budaya. Ditunggangi arus industri, budaya diperlakukan layaknya sebuah produk dalam logika kapitalisme dan sebagai dampaknya, budaya mengalami reduksi makna. Fenomena ini kemudian memunculkan istilah industri budaya yang diperkenalkan oleh Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer dalam bukunya yang berjudul Dialectic of Enlightenment (1973). 

Dalam buku itu, Adorno dan Horkheimer mengkritisi kehadiran budaya dalam masyarakat kapitalis sebagai budaya yang berasal dari produk industri semata dan bukan merupakan ekspresi kultural masyarakat. Industri budaya yang membawa hasil kerja seni sebagai produknya, ternyata lebih mengutamakan aspek ekonomi alih-alih membawa pencerahan kepada masyarakat. Dalam perkembangannya, industri budaya yang bersifat dinamis berhasil meleburkan budaya massa sebagai ciptaan industri dan budaya yang muncul secara spontan sehingga melahirkan budaya populer. Hal ini pula yang kemudian terjadi pada fenomena menjamurnya boyband dan girlband ala Korea Selatan di Indonesia. 

Budaya musik boyband dan girlband di Korea Selatan sebagai budaya massa memberikan ide bagi negara-negara lain untuk melakukan hal serupa demi meraup massa dan keuntungan sebesar-besarnya.

Adorno dan Horkheimer menganggap bahwa kehadiran industri budaya dalam masyarakat telah mereduksi nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh, dimana manusia hanya dipandang sebagai objek untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Alhasil, penciptaan budaya baru dalam logika kapitalisme lambat laun mengikis esensi dari budaya itu sendiri. 

Dalam kerangka kapitalisme, budaya telah diubah menjadi sebuah komoditas atau yang lebih dikenal sebagai komodifikasi budaya. Bagi Adorno dan Horkheimer, masyarakat sebagai konsumen hanya berperan tak lebih dari “angka-angka statistik”. Dengan demikian, secara tidak langsung keberadaan industri budaya menjadi tembok penghalang bagi kreativitas produksi individual yang mau tidak mau harus mengikuti standar yang telah ditetapkan. Padahal, kreativitas sebenarnya juga dibutuhkan dalam sistem industrial. Namun, kreativitas yang dimaksud bukan merujuk pada penciptaan sesuatu yang benar-benar asli, melainkan lebih kepada inovasi yang kreatif. 

Jika dikaitkan dengan fenomena boyband dan girlband di Indonesia, dapat dilihat bahwa mayoritas grup yang ada berkiblat pada boy/girl group dari Korea Selatan, yang mana tidak mencerminkan budaya asli Indonesia. Oleh karenanya, pada tahun 2009-2012, boyband dan girlband yang muncul selalu memiliki pola yang hampir seragam dan tidak ada pembeda antara satu dan yang lain. 

Rasa-rasanya, terdapat formula tak tertulis yang dimunculkan oleh para boyband dan girlband lokal pada masa itu; personil dengan visual yang indah, skill vokal yang biasa saja tak begitu dipermasalahkan, yang utama adalah bisa menari dengan baik dan juga atraktif, sehingga digemari banyak orang. Homogenitas inilah yang kemudian membuat popularitas boyband dan girlband Indonesia meredup secara drastis dan menghilang perlahan-lahan.

Bagi Adorno, dalam praktik industri budaya, dibandingkan menciptakan sesuatu yang baru tanpa jaminan dapat meraih keuntungan dan bahkan dapat bermuara kepada kerugian, alangkah lebih baik mengadopsi sesuatu yang sudah familiar dalam masyarakat. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa pakem dalam industri budaya adalah menggabungkan sesuatu “yang lama” dan “familiar” ke dalam suatu kualitas baru. Selanjutnya, media digunakan sebagai sarana distribusi produk industri budaya.  Tak dapat dipungkiri, keberhasilan boyband dan girlband Indonesia mencapai puncak masa keemasannya pada tahun 2011 didukung oleh publikasi secara masif oleh para awak media.

Dahulu, hampir setiap hari masyarakat dapat melihat wajah personil SM*SH, Cherrybelle, atau XOIX dalam segmen acara TV, radio, dan media cetak yang berbeda-beda. Senada dengan hal tersebut, Adorno dan Horkheimer mengamati bahwa mayoritas produk yang dihasilkan oleh industri budaya diterima oleh masyarakat dengan respon baik tanpa banyak perlawanan atau penolakan. Namun, dalam kasus fenomena boyband dan girlband yang sempat menjamur di Indonesia, produk yang ditawarkan oleh industri budaya belum begitu memiliki karakter kuat dan semuanya hampir seragam. Oleh karenanya, popularitas dan keuntungan yang diperoleh pun datang dan berlalu dengan relatif cepat. Sangat khas dengan industri budaya.

Editor: Tim Editor Sudutkantin

Daftar Pustaka

Adorno, Theodor W., and Max Horkheimer. 1973. Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments. Edited by Gunzelin Schmid Noerr. California: Stanford University Press.

Arviani, H. 2013. Budaya Global dalam Industri Budaya: Tinjauan Madzhab Frankfurt Terhadap Iklan, Pop Culture, dan Industri Hiburan, 1(2), 130-141. Journal of Communication.

Blunden, A. 1998. Theodor Adorno and Max Horkheimer (1944) The Culture Industry: Enlightenment As Mass Deception. (online) https://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm (diakses pada 19 Desemberer 2021)

Nastiti, Aulia. D. (2010). “Korean Wave” di Indonesia: Antara Budaya Pop, Internet, dan Fanatisme Pada Remaja. Journal of Communication. 1 (1), pp 1-23.

1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts