Dari Dapur, Estetika Benda Sehari-hari Menuju Ruang Galeri

Semua orang mengalami pengalaman estetis, bedanya seorang seniman merespons pengalaman tersebut dan mampu membawa estetika benda sehari-hari menuju ruang galeri.

Dalam sebuah event pameran tentu kita pernah dihadapkan dengan sebuah karya yang ‘aneh’. Aneh di sini artinya membingungkan karena yang ditampilkan justru bukan benda seni (Lukisan, grafis, dan patung), namun benda yang biasa kita lihat atau bahkan benda pakai sehari-hari (kursi, gelas, kasur, dll). Sehingga secara otomatis menciptakan tanya dalam benak: ini seninya di mana?. 

Hal ini sangatlah wajar apalagi kalau kita sebelumnya belum pernah ke pameran seni atau hanya terbiasa dengan karya seni tradisional (lukis, grafis, patung) yang secara visual memang lumayan mudah untuk kita nikmati keindahannya.

Namun, di era kontemporer ini kesenian sudah berkembang begitu pesatnya hingga melebur ke berbagai aspek dan konteks. Seni kontemporer melampaui batasan tradisional dan mengaburkan batas-batas antara kehidupan sehari-hari dengan dunia seni. Misalnya mencerminkan dinamika globalisasi dan kemajuan teknologi yang kompleks dan plural. Bahkan saat ini kita bukan hanya dihadapkan dengan kebingungan mengenai apa yang indah dan tidak indah, melainkan apa yang dapat dikatakan sebagai benda seni dan bukan seni.

Bagi kalangan pecinta seni tentu tak asing dengan karya seni kontoversial pada zamannya berjudul “The Fountain” (1917) yang menampilkan urinoir porselen yang ditandatangani dengan nama samaran “R. Mutt”. Karya tersebut milik seniman Prancis-Amerika bernama Marcel Duchamp. Pada awalnya tentu karya ini mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan skena seni, namun pada akhirnya karya ini justru mampu menggeser fokus seni dari keahlian teknis dan estetika menuju ide dan konseptualisasi.

The Fountain (Duchamp)

Untuk memahami karya yang ‘aneh’ ini tentu kita perlu mengetahui dan berkaca pada sebuah gerakan yang muncul dalam situasi Perang Dunia 1, gerakan ini bernama Dadaisme. Sebuah gerakan yang memperjuangkan nilai-nilai anti perang yang kemudian diperlihatkan dengan anti seni. Sehingga prinsip yang dipegangnya adalah ‘epater le bourgeois’ (kejutkan kaum borjuis) dengan cara mempertanyakan, memperolok cita rasa dan batasan nilai seni tinggi (Sugiharto, Untuk Apa Seni?, 2020).

Kecenderungan ini sebenarnya bukan hanya sebatas aliran seni saja, namun lebih tepat dikatakan sebagai gerakan kebudayaan karena pengaruhnya menembus batas-batas disiplin seni lain, seperti sastra, teater, musik, dan lainnya.

Dalam gerakan Dadaisme terdapat satu konsep dalam berkesenian yaitu konsep ready made. Konsep ini ditemukan pertama kali pada awal abad ke-20 oleh Marcel Duchamp sendiri. Konsep ini menjelaskan mengenai karya seni yang diambil dari benda sehari-hari yang diambil dari konteks aslinya untuk kemudian dipresentasikan ulang dalam konteks yang berbeda menjadi karya seni dengan atau tidak sama sekali modifikasi. Ducham sendiri mendefinisikan ready made sebagai benda sehari-hari yang dipilih sebagai karya seni. Inilah salah satu kejeniusan seorang seniman dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Setidaknya dalam memandang sebuah realitas dan kemudian meresponsnya.

Seniman memiliki kemampuan untuk menciptakan pemaknaan baru dari benda-benda yang dijumpainya sehari-hari. Dalam buku Estetika: Jalinan Subjek, Objek dan Nilai (2016) Deni Junaedi disebut pengalaman estetis. Tentu semua orang mengalami pengalaman estetis, bedanya seorang seniman merespons pengalaman estetis itu menjadi sebuah karya. Sehingga benda yang sama memiliki makna yang berbeda ketika dihadapkan dengan konteks yang berbeda pula (dalam hal ini galeri misalnya).

Andy Warhol, perintis gerakan pop-art pernah berefleksi bahwa jangan-jangan kehidupan yang kita jalani itu sendiri adalah seni. Sehingga karya-karya yang diciptakan identik dengan budaya konsumerisme yang sesuai dengan kondisi sehari-hari saat ini. Lalu, adakah seniman muda Indonesia yang media berkeseniannya memanfaatkan benda sehari-hari? Tentulah ada.

Salah satunya adalah Galih Johar. Seniman muda asal Yogyakarta ini intens sekali dalam merupa ulang objek-objek remeh-temeh yang ditemuinya sehari-hari. Kita dapat mengamati beberapa karyanya di media sosial pribadinya @galihjohar. Ketika melihatnya pertama kali, sering kali mengernyitkan dahi terlebih dahulu. Namun semakin lama diamati, seolah-olah keanehan itu bak menjelma seorang filsuf dari entah berantah kemudian membisikkan kepada saya mengenai hakikat kebendaan dan membuat saya terbelalak.

Karya-karya Galih Johar telah berhasil membebaskan benda-benda dari arti yang sempit menuju makna yang lebih luas dan mendalam. Hal ini sejalan dengan sabda Gilles Deleuze mengenai keinginan seni untuk menciptakan yang terbatas bisa memulihkan yang tak terbatas. Memulihkan di sini menurut Wahyudin dalam Bukan Sekadar Merek Jeans dan Lukisan Pemandangan (2023) adalah “kemampuan mengatasi khaos” secara psikologis.

Dalam seni kontemporer, perlu kita ketahui bahwa ide dan konteks merupakan pilar yang sangat penting. Hal ini membuka kemungkinan ruang interpretasi dan makna yang baru dan lebih luas dalam seni. Karya seni bukan hanya hasil dari keterampilan teknis saja, namun juga sebagai media untuk menyampaikan gagasan, kritik sosial dan politik, serta eksplorasi-eksplorasi filosofis.

Pada akhirnya seni kontemporer merupakan sebuah cara pandang baru dalam memandang realitas. Seni kontemporer memanfaatkan benda sehari-hari untuk menantang batasan antara seni rendah dan seni tinggi serta mengaburkan garis antara kehidupan sehari-hari dengan dunia seni. Dengan mengangkat benda sehari-hari ke dalam konteks karya seni, seniman kontemporer mengajak audiens untuk mempertanyakan asumsi mereka tentang makna, nilai, dan identitas yang menunjukkan bahwa realitas adalah konstruksi sosial yang dapat dipertanyakan.

Dalam pengantar singkat tentang Postmodernisme (2003), Christopher Butler menjelaskan bahwa seni kontemporer mencerminkan ketidakpastian dan keragaman zaman kontemporer. Seni kontemporer menjadi cermin dari kompleksitas dunia modern. Dengan demikian seni bukan hanya berfungsi sebagai alat estetika, namun juga sebagai medium kritis yang mengundang kita untuk mengeksplorasi perspektif baru dalam memaknai dunia sekitar kita.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Crunchy-Crunchy Bloody karya Galih Johar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts