Turis Intelektual Berjubah KKN

Dalam cara berpikir kampus, kerja-kerja pengabdian atau “pemberadaban” ala-ala KKN, merupakan bukti bahwa tuntutan Tri Dharma mereka telah terpenuhi. Benarkah?

Menjelang semester genap ini, beranda Menfess Twitter sudah mulai engap dengan pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa yang hendak dibebankan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Topik-topik seputar “KKN tips”, “Barang yang wajib dibawa”, sampai “Spill proker yang simpel dan gampang” laris jadi perbincangan publik Menfess.

Tak jarang banyak juga yang berkenan merespons topik perbincangan tersebut. Banyak dari mereka yang merespon merupakan mahasiswa purna KKN alias tua, sampai mahasiswa baru yang masih comblang-comblangan di kampus. Terkadang mereka menjawabnya dengan sembrono, mulai dari mempersiapkan bawang merah untuk physical defense, kamera sebagai modus operasi sosial, sampai kondom pun dilibatkan dalam daftar list.

Meskipun demikian, tidak banyak dari mereka yang memperhatikan pola pikir. Alih-alih memperhatikannya, sebagian dari mereka disibukkan dengan urusan perabotan sampai metode praktis pertahanan diri dari tuntutan sosial. Seolah terjun ke masyarakat desa seperti terjun ke medan primitif yang asing dan penuh dengan sarang alien, sehingga defence mechanisms menjadi perlu agar program dapat segera selesai dan tuntutan pengabdian tidak lagi menjadi beban.

Sosialisasi dan Kerja Pengabdian

Dalam cara berpikir kampus, kerja-kerja pengabdian atau “pemberadaban” ala-ala KKN, merupakan bukti bahwa tuntutan Tri Dharma mereka telah terpenuhi. Di samping tuntutan mereka untuk menyediakan sumber tenaga kerja murah. Sehingga sosialisasi sampai diklat menjelang KKN menjadi perlu dilakukan oleh kampus.

Meskipun demikian, masih banyak dari mahasiswa yang kebingungan dan lebih memilih untuk bertanya ke Menfess. Di luar itu, upaya sosialisasi kampus yang kering hanya berkutat pada mekanisme pelaporan dan masalah teknis penerjunan, sisanya kata sambutan dari Pak Rektor. Bahkan kampus tak dapat menjamin bahwa mahasiswa yang diterjunkannya telah siap secara mental maupun pikiran selama menjalani pengabdian.

Konsekuensinya, mahasiswa yang mereka terjunkan menjadi gamang dengan beban teknis yang dibebankan oleh kampus, serta mekanisme pengabdian yang direduksi sebatas penyerahan laporan. Mereka resah jika tak memenuhi standar dan ketentuan laporan, ketimbang resah jika kehadirannya justru gagal merespons problem yang hadir di masyarakat desa.

Lantas, masyarakat desa kedatangan sekelompok entitas baru. Sekelompok manusia modern dengan predikat “berpendidikan”, serta almamater sebagai penanda kelas sosial mereka. Berbekal almamater, sebagian dari mereka dapat memisahkan diri dari ketidakberadaban masyarakat desa. 

Seperti membayangkan VOC ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Maluku, kedatangan mahasiswa KKN di desa rasanya cenderung memiliki motif yang serupa. Mereka datang dengan tatapan curiga, menempatkan masyarakat desa sebagai alien yang hidup terasing dari seperangkat modernisme yang telah mapan di luar sana. Serta sumber daya dan ritme kebudayaan desa yang berpotensi dikomodifikasi menjadi laporan.

Cara Berpikir Pemberadaban

Modus lain yang kerap menjangkiti mahasiswa KKN ketika terjun ke desa adalah cara melihat desa sebagai lokus tertinggal yang perlu diperadabkan. Cara berpikir semacam ini mengandaikan, masih adanya suatu kelompok masyarakat yang hidup berlawanan dengan cara hidup masyarakat modern. Mereka digolongkan tidak layak, karena tidak didapati adanya industri yang mapan, hasrat konsumsi yang minim, serta batas individualisme yang kabur.

Maka sekelompok entitas yang kadung mapan di ruang urban, merasa bertanggung jawab akan realitas yang mereka temui di lapangan. Rasa tanggung jawab tersebut mereka wahanakan dalam bentuk program kerja. Di mana daftar sasaran, rumusan masalah, tujuan, hingga bentuk dan target pencapaian telah disusun, tinggal mendorong masyarakat untuk mensukseskan program mereka.

Masyarakat desa digiring untuk menghadiri sosialisasi, diperlihatkan serangkaian masalah yang sedang menimpa mereka, hingga solusi yang akan para mahasiswa lakukan. Bagaimana bisa anak ingusan yang belum satu bulan menginjakkan kaki di desa, justru berani menawarkan masalah dan solusi untuk desa.

Berbekal kerangka teoritik yang para mahasiswa dapatkan di kampus, mereka gunakan untuk mendefinisikan masyarakat desa, berbekal cara hidup mapannya di kota, mereka gunakan sebagai kebijakan baru di desa. Lantas, ritme kolektif masyarakat desa dimodernisasikan dengan dalih mensejahterakan atau laporan.

Lantas konsekuensi yang bisa dibayangkan jika program mereka berhasil diterapkan, industri baru nan mapan dapat dengan mudah menanamkan modalnya di desa. Sehingga para pemuda tidak perlu lagi bertani atau repot menggelar jathilan, mereka cukup menyerahkan diri kepada perusahaan biar gampang direkrut jadi pekerja.

Turis Intelektual Kampus

Jika para agen pemberadaban tersebut masihlah mapan dengan cara berpikirnya yang demikian, konsekuensinya mereka akan selalu menjadi “turis intelektual” yang asing dengan ritme masyarakat di sekitarnya. Sebagai “turis intelektual” aktivitas mereka tak lebih sekadar mengamati serta memotret realitas dengan mata yang telah dibentuk oleh institusi pendidikan di kota.

Mereka menjadi sosok elit yang berjarak serta jijik makan satu piring dengan subjek di sekitarnya. Berbekal ratusan buku, kerangka teoritik, serta IPK yang mereka peroleh di kelas, secara praktis meningkatkan “derajat diri” lebih baik ketimbang tetangganya yang baru pulang slametan. Mereka terasing dalam gagasan artifisial dan kemampuan ndakik-ndakik-nya yang tak lagi mampu dipahami masyarakat, bahkan berjarak dengan mereka.

Desa menjadi gagal dilihat sebagai lokus, di mana mereka telah memiliki sistem ekonomi, tatanan masyarakat, serta ritme kebudayaannya sendiri. Sehingga hadirnya mahasiswa sebagai agen pemberadaban nampak berselisih tegang dengan realitas di sekitarnya.

Terlebih mengupayakan hadirnya modernisasi di desa, justru berisiko mengebiri seluruh tatanan yang telah terbentuk di dalamnya. Desa menjadi rapuh, tanah dan tumbuhan yang menjadi sumber penghidupan telah mati digerus eskavator, woro-woro kesenian meredup karena para pemudanya disibukkan dengan kredit cicilan, para ibu mengeluh mendapati ketersediaan bumbu dapurnya yang terbatas.

Sehingga bekal atau starter pack yang mestinya disiapkan mestinya bukan lagi masalah perabotan atau panduan praktis mempertahankan diri dari tuntutan masyarakat. Melainkan, lebih pada kesudian diri melebur dengan masyarakat, menawar derajat dirinya yang tinggi, serta menghimpun partisipasi masyarakat dalam bentuk serawung.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul
: Suden

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts