Sepenggal Kisah Sopir Ambulans

Langit bersuara keras. Membunyikan guntur yang menggelagar. Tanda-tanda gerah sejak siang tadi mulai menampakkan wujud yang sebenarnya. Tetes-tetes hujan membasahi aspal jalanan. Air menuruni kaca di hadapanku.

Aku membunyikan sirene, menginjak gas lebih dalam, dan membelah jalanan yang diguyur hujan lebat. Pengendara motor dan mobil langsung menepi ke pinggir. Memberikan ruang bagiku untuk menambah kecepatan. 

“Apa masih jauh?”

“Aku kira, tidak, Pak,” jawab orang di sampingku. Dia bocah baru yang bekerja di unit ambulans dan kebetulan di tempatkan sebagai rekanku.

Sekilas aku melirik ke kiri.

“Kau takut?” 

“Ini hal baru buatku, Pak,” suaranya lirih, khas seorang pemula.

“Kau suka nonton balapan? MotoGP atau F1?

“Tidak, Pak. Aku tidak tahu apa pun soal balapan, kecuali balapan renang.”

“Itu lebih baik daripada tidak tahu sama sekali. Meski begitu, kau tetap butuh banyak pengalaman,” kataku. “Sekarang, buka sedikit jendelamu.”

Bocah baru itu memutar tuas, menurunkan kaca jendela. Cipratan angin kencang dengan suara bising langsung masuk ke dalam. Aku berteriak, “Sekarang kaurasakan sensasinya!” Aku menyeringai puas melihat kekagetan di wajah bocah baru itu.

“Apa masih jauh juga?”

“Setelah dua persimpangan depan, Pak. Ada tikungan, di situ.”

“Ya, aku tahu tempatnya. Lokasi itu memang sudah biasa terjadi kecelakaan saat hujan-hujan begini setiap tahunnya.”

Aku mengingatkannya soal penanganan yang harus dilakukan setibanya di lokasi. “Kau paham?”

Bocah baru itu menangguk mantap.

Begitu sampai, aku langsung memutar ambulans ke arah jalan balik ke rumah sakit. Kami berdua segera turun hujan-hujanan. Aku langsung menghampiri korban kecelakaan yang tergeletak di pinggir jalan. Dikerumuni polisi dan orang-orang yang menepi. Korban kecelakaan itu menangis kesakitan. Luka-luka berada di bagian kepala dan kakinya cukup parah, tampak dari celana jin yang dikenakannya sobek.

Bocah baru itu menuruti instruksiku dengan baik. Dia langsung turun, membuka pintu belakang, menarik tandu dan membawanya ke tempat korban berbaring. Dibantu beberapa orang, kami mengangkat korban ke dalam ambulans. Aku segera berlari masuk ke depan, menyalakan mesin, tancap gas ke rumah sakit.

Aku sendirian di depan. Tanpa perlu menoleh, aku dapat membayangkan apa yang terjadi di belakang. Bagaimana bocah baru itu menenangkan kesakitan korban kecelakaan. Aku pernah melakukan hal yang sama dengan bocah baru itu sekian tahun yang lalu. Namun, setelah pengalaman demi pengalaman terjadi, aku menarik kesimpulan penting soal bagaimana seharusnya menenangkan korban kecelakaan.

Tidak ada yang perlu dilakukan. Tidak perlu terbawa suasana dan membuat kesalahan.

***

Dua tahun lalu, pada suatu siang, aku duduk di kursi belakang ambulans sisi kanan dengan seorang laki-laki yang terbaring kesakitan di tengah dan seorang perempuan yang menemaninya di sisi kiri. Waktu itu, aku dapat dikatakan sudah berpengalaman. Sehingga tidak perlu ada dada yang berdegup kencang melihat seseorang di batas kematian. Berbeda halnya dengan perempuan yang ikut menemani. Dia tampak risau.

“Tidak perlu khawatir,” kataku, “Kita akan segera sampai.”

“Apa maksudnya? Kau akan membiarkan orang ini mati?” balas perempuan itu.
“Ayo lakukan sesuatu.”

“Aku bukan dokter. Tidak ada yang bisa dilakukan, kecuali harus segera sampai ke rumah sakit dan dilakukan pertolongan.”

Orang yang terbaring bergerak-gerak kesakitan.

“Pak, Anda harus bertahan, oke?” kata perempuan itu kepada laki-laki yang terbaring. “Belum waktunya Anda pergi dengan cepat.”

Cara bicaranya sedikit berbeda dengan kebanyakan orang yang ikut menemani di dalam ambulans.

“Berapa lama lagi?”

“Jika tidak ada sesuatu dalam selama perjalanan, sekitar sepuluh menit lagi.” 

Perempuan itu mulai menangis. Hal yang lumrah terjadi ketika mendapati orang terdekat sedang diambang maut.

“Kau tidak tahu,” dia mulai bicara. “Aku sudah susah payah menggali informasi keterlibatan orang ini dalam korupsi pengadaan barang-barang impor. Rekaman konfirmasi sudah ditangan, tinggal kutulis, dan hasil liputan akan tayang. Tapi, lihat sekarang, semua sia-sia jika dia mati begitu saja tanpa dihukum. Enak sekali.”

“Jadi orang ini kemungkinan koruptor?”

Perempuan itu mengangguk.

Aku menghela napas. Aku biasanya tidak pernah mengetahui latar belakang setiap orang yang diangkut dalam ambulans. Informasi soal orang yang dibawa berkisar status dalam keluarga, seperti, apakah ayah, ibu, adik, kakak, kakek, nenek, dan sebagainya. Itu pun kudapat dari raungan atau tangisan orang yang menemani secara tidak langsung

“Sayang sekali, meski begitu, kami bekerja tidak dalam standar pilih-pilih. Semua yang terbaring di dalam sini setara. Orang yang harus segera ditolong,” kataku, kemudian aku berteriak kepada rekanku yang menyopir, “Apa bisa lebih cepat lagi? Koruptor ini akan mati.”

Rekanku di depan menyahut.

Aku lalu sadar, seharusnya aku tidak berteriak dan berkata-kata seperti itu karena tidak sesuai dengan etika kerja unit ambulans. Tapi, pikirku, setidaknya dengan aku memberitahu rekanku di depan, laki-laki itu bisa lekas tiba di rumah sakit secepat mungkin.

Perempuan itu diam menunduk, dan aku juga diam memandangi keadaan. Kemudian, aku menyadari perempuan itu menggenggam alat perekam. Laki-laki itu tidak lagi mengerang-erang kesakitan dengan keras. Suaranya mulai mengecil.

Kami tiba di rumah sakit. Ambulans berhenti di depan IGD. Aku membuka pintu belakang, seorang dokter dan tiga orang perawat sudah menunggu dengan ranjang beroda. Dokter membantuku memindahkan tandu ke ranjang. Para perawat langsung melarikan ranjang ke dalam IGD, dan dokter itu menyusul. Perempuan yang ikut menemani bergeming. Tidak ada tanda-tanda ingin mengikuti orang yang kesakitan itu.

“Lanjut,” kataku kepada rekanku di depan, menutup pintu belakang ambulans.

Kami bergerak ke bagian belakang rumah sakit, tempat unit ambulans berkantor. Aku dan perempuan itu turun terlebih dahulu, sementara rekanku memarkirkan ambulans dalam posisi siap jalan sewaktu-waktu ada panggilan. Pada saat kami turun, perempuan itu mulai berbicara kembali.

“Apa aku boleh menunggu di sini?”  tanyanya.

“Kenapa tadi tidak ikut turun? Kau bisa menunggu di IGD.”

“Aku tidak bisa menunggu di sana. Aku harus menulis berita sesegera mungkin, tapi aku juga perlu mengetahui perkembangan keadaan orang itu.”

“Kalau begitu, kau dapat menggunakan gudang di samping kamar jenazah itu. Di dalam ada bangku yang dapat kau gunakan.”

Gudang yang kumaksud merupakan kantor yang disediakan untuk kami yang bekerja di unit ambulans. Karena aku dan teman-teman di unit ambulans jarang membersihkannya, kami menyebut ruangan itu sebagai gudang. 

Perempuan itu berterima kasih dan masuk ke dalam gudang. Aku menghampiri rekanku yang masih memeriksa ambulans, lalu mengajaknya makan siang di kantin rumah sakit.

Kami berdua makan di kantin yang ada di bagian depan rumah sakit. Kami harus jalan cukup jauh, melewati lorong-lorong yang memisahkan bangsal-bangsal kamar pasien, ruang ICU, ruang operasi, laboratorium, ruang administrasi, ruang tunggu, IGD dan belok ke kantin. Kami pesan makanan yang masih ada. Maklum, pada sore hari, makanan di kantin tinggal sisa-sisa saja. Sudah habis sejak saat jam makan siang. Kami makan dengan cepat tanpa banyak mengobrol. Bagaimana pun, kami harus segera kembali ke gudang untuk siap menerima panggilan darurat. Sebelum pergi, aku mengambil roti dan minuman dingin untuk perempuan itu.

Baru keluar kantin, kami menjumpai kerumunan dengan kamera dan alat perekam di depan IGD. Orang-orang itu mengenakan baju dari beberapa media nasional dan lokal. Mereka sepertinya menantikan kondisi dari laki-laki yang tadi kami bawa. Namun, kami tidak peduli. Kami berlalu ke bagian belakang rumah sakit.

Kami masuk gudang. Rekanku langsung merebahkan diri di kasur busa di sudut ruangan. Aku menghampiri perempuan itu yang tengah sibuk mengetik. Memberikan kantung plastik berisi roti dan minuman, serta mempersilahkannya untuk makan. Dia menoleh padaku, mengucapkan terima kasih sembari mengambil roti. Aku memberitahunya soal apa yang terjadi di depan IGD.

“Sudah ada kabar dari orang yang tadi bersama kita?”

“Aku tidak tahu, itu urusan dokter,” jawabku, “Lagi pula siapa sih orang itu?”

Perempuan itu lantas memperkenalkan diri terlebih dahulu. Kami berjabat tangan dan saling menyebutkan nama. Aku duduk di kursi, mulai mendengarkan dia bercerita.

Perempuan itu adalah seorang wartawan, dan laki-laki itu adalah seorang politikus sekaligus anggota parlemen. Dia tengah mewawancarai politikus itu perihal keterlibatannya dalam suap pengadaan barang-barang impor. Dengan bukti kuat yang dia miliki, dia hanya perlu konfirmasinya saja. Di tengah wawancara, politikus itu terkena serangan jantung. Awalnya, dia mengira politikus itu berpura-pura supaya tidak perlu menjawab pertanyaannya. Namun, asisten politikus itu tiba-tiba muncul, panik, dan segera menghubungi ambulans. Sembari menunggu ambulans datang, perempuan itu memastikan kepada asisten itu bahwa politikus itu memang memiliki riwayat jantung. Asisten itu mengiyakan dengan serius. Karena masih ragu, ketika ambulans datang, perempuan itu ikut untuk memastikan.

“Kau tidak merasa bersalah?” tanyaku.

“Kenapa harus merasa bersalah? Toh, aku hanya menjalankan peranku dan tidak bertindak di luar batas.”

“Bahkan dalam ukuran kemanusiaan yang kau miliki?”

“Tentu saja ada, sedikit. Tapi dia seorang penjahat yang mengambil uang negara.”

“Itu karena kau yang tahu, karena kau menginvestigasinya. Dia belum terbukti bersalah, apalagi diadili.”

“Besok semua orang tahu, begitu berita ini tayang. Persoalannya akan jadi lain.”

Obrolan kami sore itu saling bantah membantah. Aku maupun dia tidak mengalah. Kami baru mengakhiri ketika dia memutuskan pergi ke IGD untuk melihat kondisi politikus itu. Meninggalkan pekerjaannya yang belum selesai. Setengah jam kemudian, dia kembali, memberitahu kalau politikus itu tidak selamat.

“Jadi, apakah kau akan menerbitkan beritamu?”

“Tentu saja. Aku sudah mengumpulkannya sejak sebulan yang lalu. Benar-benar tinggal selangkah lagi.”

“Kusarankan, kau menundanya barang satu minggu setelah orang itu dimakamkan.”

“Ini tidak bisa ditunda, proses pengadaan barang-barang impor akan disahkan lusa besok. Jika kutunda, semuanya akan sia-sia. Kerja-kerja yang kulakukan akan berakhir seperti undangan yang terlambat dikirim.”

“Bahkan, dalam kematian politikus itu, kau masih meminta pertanggungjawabannya. Wilayah yang seharusnya diserahkan saja pada Tuhan.”

“Maaf, aku tidak ingin terus berdebat. Aku ingin menyelesaikan berita ini dulu.”

Aku membiarkannya kembali bekerja. Dia membuka dokumen, mendengarkan rekaman wawancara, dan mengetik hingga Mahgrib tiba. Begitu selesai, dia memintaku membacanya, tetapi aku menolak. Aku tidak ingin melihat kejelekan orang yang baru saja meninggal, kataku. Dia memahami pendapatku.

“Apalagi kau bekerja dengan urusan nyawa seseorang,” katanya. “Kalau begitu, berikan nomor hp-mu. Aku akan menghubungimu ketika beritanya sudah tayang di majalah. Ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah meminjamkan tempat untuk menulis.”

Aku memberitahu nomorku padanya. Tak lama setelahnya, dia pulang.

Kami mulai sering berkomunikasi setelah itu.

***

Sampai di rumah, aku langsung membersihkan tubuhku dari keringat yang menempel seharian ini. Selepas itu, aku masuk ke kamar dan memakai pakaian olahraga yang hangat. 

Aku menyalakan televisi dan pergi ke dapur dan memasak air. Di dapur, aku dapat mendengarkan berita yang disiarkan. Aku mengambil cangkir, memasukkan gula dan teh celup. Mematikan kompor, lalu menuangkan air panas ke dalam cangkir. Uap panas masih naik dari permukaan air. Aku mengaduk air panas di dalam cangkir secara perlahan. Berita kriminal satu persatu disiarkan

Aku menarik napas panjang. Mengendurkan tekanan di dada. Mendadak aku teringat sesuatu.

Aku masuk ke kamar, mencari ponsel di dalam tas yang tergeletak di kasur. Aku mencari nomor seseorang. Ketemu. Aku pencet tombol hijau di ponsel. Sembari berjalan kembali ke dapur, aku meletakan ponsel di telinga kiriku. Terjepit di antara bahu dan kepala.

“Ya, halo?” Terdengar suara perempuan dari ujung telepon.

“Apa kabar?”

“Bagaimana dengan dirimu?”

“Aku baru pulang dari kerja. Seseorang mengalami kecelakaan hari ini, di saat seharusnya aku pulang.”

“Oh.” 

“Hari ini aku kembali membawa ambulans dengan kencang, dengan sirene yang menyala setelah dua bulan hanya mengantarkan jenazah.” Aku memegang bagian pinggir cangkir. Masih panas.

“Itu pertanda buruk. Orang-orang naik motor dengan ngebut. Padahal akhir-akhir ini jalanan menjadi licin karena hujan.”

“Ya, mungkin pertanda buruk. Tapi aku menikmatinya. Ada bocah baru yang kerja mendampingiku.”

“Apakah sopir ambulans harus berpikir begitu?”

“Apa salahnya, aku mendapatkan sesuatu yang menantang dalam pekerjaanku. Bukankah pekerjaanmu juga begitu?”

“Oh.” Perempuan itu tidak menanggapi pertanyaanku.

“Apa kau ada waktu malam Minggu besok?” tanyaku. “Masih ada tiga hari kalau kau mau mengatur jadwal.”

Perempuan di ujung telepon berhenti sejenak. “Akan kucoba.”

“Terima kasih. Ngomong-ngomong, apa saja kegiatanmu seminggu ini?”

“Sebentar,” katanya. “Atasanku tiba-tiba menghubungi. Nanti aku telepon lagi.”

Saat aku menjawab, “Baiklah,” telepon sudah diputus. Aku mengangkat cangkir dan meminum isinya. Panas.

Siaran berita sudah berakhir. Yang terdengar hanya suara dua orang yang sedang bertengkar. Sinetron.

Ponsel di tangan kiriku mendadak berbunyi. Aku menerima panggilan telepon yang masuk.

“Ya?” sahutku.

“Sepertinya aku tidak bisa keluar malam Minggu nanti.”

Aku menghela napas pendek.

“Rekanku meninggal. Dia kecelakaan tadi sore. Mungkin kau yang mengantarnya ke rumah sakit.”

“Maafkan aku.”

“Kecelakaannya sedikit aneh. Maksudku, rekanku itu sedang menginvestigasi kasus istimewa. Namun, hal buruk tiba-tiba terjadi.”

“Maaf, bukannya aku tidak sopan. Jadi, kapan kita bisa mengatur ulang waktu untuk bertemu?” Aku meminum teh di cangkir.

“Aku tidak tahu. Selama beberapa hari ke depan akan menjadi masa berkabung. Situasi di kantorku pasti juga jadi sedikit runyam. Kami mungkin akan diminta hati-hati saat pergi ke luar. Aku mungkin akan meneleponmu kembali setelah situasinya aman.” Dia berhenti sejenak. “Apa kau kecewa, kita tidak jadi jalan?”

“Aku sedang memikirkan kita.”

“Kita?”

“Iya,” jawabku, “Pertemuan kita dua tahun yang lalu.”

“Tidak ada yang tahu hal-hal semacam itu bakal terjadi.”

Aku diam. Memandangi permukaan teh di cangkir. Rasanya aku seperti tersedot ke dalam cairan berwarna coklat bening itu. Ada perasaan tidak enak, tetapi sekaligus melegakan. Tidak enak ketika menjalani saat-saat yang genting seperti menjemput dan membawa korban ke rumah sakit. Namun, melegakan begitu semuanya selesai. Meski akhirnya, korban kecelakaan itu meninggal juga.

Perempuan itu terus memanggilku. 


Penyelaras Aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Bima Chrisanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts