Amfibi | Cerita Pendek Oktavius Ekapranata

Sekarang ini kalau ada yang bertanya padaku, kampung manakah yang paling banyak memberikan pelajaran dalam hidup? Dengan mendongakkan kepala dan tanpa ragu-ragu, aku akan menjawab kampungku, Kampung Seribu Sungai. 

“Kampungmu? Kenapa kampungmu, Nat?” tanya Bintang dengan raut wajah penasaran dan bersungguh-sungguh. 

Sekembalinya aku menyelesaikan liburan akhir semester di kampung halamanku, Kalimantan. Aku mengundang Bintang ke sebuah kedai kopi langganannya. Bintang adalah kenalanku. Kami berdua berada di satu kampus yang sama. Dia orang Jogja. 

“Nata, kenapa diam?” tegur Bintang sambil membenarkan kacamata yang dikenakannya.

“Kenapa?”

“Itulah sebabnya aku bertanya kepadamu.”

Suara Bintang menyadarkanku dari lamunan. Itu yang menyebabkan aku mengalihkan perhatianku kepadanya. Kulihat matanya yang cemerlang penuh dengan rasa keingintahuan. Malam itu kulihat di antara terang cahaya lampu gantung di langit-langit kedai. Bintang begitu ayu dan indah. Rambutnya yang panjang kulihat agak terurai jatuh ke keningnya. 

“Kamu masih capek Nat,” ucap Bintang.

“Kalau gitu kamu pulang duluan aja,” lanjutnya.

Kutajamkan pandanganku ke arahnya. Bintang pun semakin penasaran, ia memegang dan mengenggam tanganku. Matanya berbinar-binar dalam terang cahaya lampu. Terus terang aku katakan padanya, “Sungguhkah kamu ingin tahu?”

“Iya. . .” pungkasnya tersenyum lebar kapadaku.

“Orang-orang di kampungku berubah perilaku seperti makhluk amfibi. Aku pun heran dengan keadaan itu.”

“Ha? Bagaimana?”

“Setelah tidak kembali beberapa tahun ini, orang-orang jadi bisa hidup di daratan dan di dalam sungai. Ketika pertama kali kutapakkan kakiku di kampung dan mengetahuinya, aku syok. Sungguh Bi, aku bingung apa yang sebenarnya terjadi pada kampungku.”

Ia diam saja oleh ceritaku itu, tapi kemudian saat ia ingin menyahut, “Mas sama Mbak Bintang mau pesan apa?” tanya salah seorang pelayan di kedai itu.

“Seperti biasa Mbak, aku pesan kapucino dingin ya. Kalau kamu, Nata?”

“Sama aja, Mbak. Cuma aku yang hangat.”

Pelayan itu pun berjalan menghampiri pengunjung yang lain. Kemudian Bintang memalingkan wajahnya ke arahku dan berkata, “Perilaku orang-orang berubah seperti makhluk amfibi! Yang benar saja kamu, Nat. . . Suka bercanda deh,” pungkasnya.

“Tuh kan. . . Aku yakin pasti kamu nggak bakalan percaya.”

“Apa hal itu serius, Nat?” tanya bintang kembali, sembari jari-jemarinya yang lentik itu meraih rambut pada keningnya dan merapikannya.

“Serius! Kata Mbak Dita, orang yang menghabiskan waktunya meneliti fenomena itu. Orang-orang berubah perilaku dikarenakan sering terjadinya banjir beberapa tahun terakhir ini. Banjir sering kali melanda kampungku, terlampau sering banjir sudah seperti budaya.”

Nata mengambil nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya.

“Yang benar saja, banjir setiap setahun sekali datang berkunjung untuk memandikan dinding-dinding rumah warga! Pernah sekali atap rumah warga sampai nggak kelihatan lagi. Di dalam rumah yang tenggelam itu terdapat sebuah keluarga yang beraktivitas seperti biasa. Seakan-akan mereka tidak berada di dalam genangan banjir. Itulah yang menyebabkan Mbak Dita sangat tertarik meneliti perkembangan kasus perubahan perilaku manusia menjadi amfibi itu.”

“Kok bisa sih? Bukannya di sana masih banyak hutan?” 

“Nah itu dia penyebabnya. Sekarang itu ya, pepohonan tak serimbun dulu, akibat pembabatan hutan. Ada beberapa oknum masyarakat desa di hulu sungai yang memiliki usaha sebagai penjual balok kayu tebeliant ilegal. Jadi, pohon-pohon di hulu sungai sekarang semakin berkurang.”

“Ooo jadi itu, penyebab banjir dan orang-orang berubah menjadi makhluk amfibi,” sahut Bintang menganguk-angukkan kepala.

“Menurut Mbak Dita sih demikian, Bi.”

Setelah masyarakat berperilaku menyerupai makhluk amfibi, banyak hal yang berubah dengan kampungku. Pernah suatu pagi, banjir tiba-tiba datang melanda kampungku setelah diguyur hujan semalaman. Orang-orang melompat ke sana-kemari, sesekali menyelam ke dasar dan berenang menyerupai perilaku katak.

Kala itu, berita mengenai banjir di kampungku dengan cepat tersebar. Tim SAR dari kota pun datang untuk membantu. Aku pernah mendengar kesaksian dari salah satu anggota tim SAR yang terjun kelapangan kala itu. Ia menemukan salah seorang warga di kampungku memiliki kulit yang licin, warnanya merah kecoklat-coklatan. Kakinya terlihat ramping dan semakin memanjang seperti katak. Orang itu melompat-lompat dan berenang dalam banjir yang melanda. 

Sayup-sayup dari kejauhan seorang datang menghampiri, “Mas, Mbak Bi, ini pesanannya sudah jadi, Selamat menikmati,” ucap seorang pelayan sambil menyodorkan minuman. Lalu pergi bersama senyumannya.

Aku merasa tak sunggup merahasiakan ini kepada Bintang, tentang apa yang terjadi pada kampungku, seperti juga ratusan, ribuan, sampai jutaan orang-orang muda di luar sana, yang perlu berbagi kisah terhadap hal yang dialaminya. Aku juga begitu. Terus terang aku katakan, kampungku yang dulu indah, dikelilingi pepohonan, sungai-sungai, suara kicau burung di pagi hari, beberapa ekor tupai lewat di atap rumah tetangga pada pagi dan sore hari, dan hal indah lainnya. Kini perlahan menghilang. 

Tadinya pepohonan yang rimbun tergantikan oleh rimbunnya pohon kelapa sawit. Tanah air habis digusur untuk membuat kebun kelapa sawit. Satu hal yang perlu dipahami ketika banjir sudah seperti budaya, siapkah manusia berevolusi menjadi makhluk amfibi purba?

Dipandanginya aku sejenak yang mulai ingin melamun. Lalu ia berdiri tegak mengenakan jaket jin biru langitnya, warna kesukaanku. Serta mengambil tas bahu yang diletakkannya di sebelah kursi. 

“Ayo pulang,” ajaknya sembari meraih tanganku. 

Angin bertiup kencang menerbangkan rambutnya yang panjang. Bintang pun membawaku melangkah keluar dari kedai kopi itu. Terlihat banyak bintang-bintang di langit malam ini. 

Ada pernyataan yang tak sangup kuutarakan kepada, Bintang. Pernyataan itu tertahan di bibirku dan bersemayam utuh di dalam diriku. Tentang satu keluarga yang beraktivitas di dalam genangan banjir kala itu. 

26 Agustus 2021
Nanga Tebidah, Kalimantan Barat

Catatan:
Kayu Tebeliant berarti kayu besi atau kayu ulin dalam bahasa Dayak Kabahant

Penyelaras Aksara: Agustinus Rangga Respati
Foto Sampul: Oktavius Ekapranata

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts