Kematian yang Lama dan Menyakitkan | Cerita Pendek Aisyah Nihayah

/istockphoto.com/Vicu9

Kau masih memandangi tempat sampah itu selama lima menit penuh. Tempat sampah seharusnya memang jelek, tapi satu di samping rumahmu ini terlalu jelek. Kusam, kotor dan isinya sama sekali tidak menarik.

“Jika kaleng-kaleng itu adalah manusia, pasti mereka telah dibekuk oleh pihak kepolisian karena telah melakukan kejahatan-kejahatan di luar nalar”, kau tiba-tiba berkata.

Yang kau maksud dengan ‘kaleng-kaleng’ adalah Yuengling—bir lokal kesukaanmu dengan rasa mirip air kotor bekas cucian. Kaleng-kaleng bir itu teronggok bisu di dalam tempat sampah. Mungkin warna merah marun mereka yang mengkilap diterpa lampu jalanan berhasil mencuri perhatianmu sesaat yang lalu.

Aku mengendikkan bahu, “Mungkin. Entahlah. Bagiku, rasa mereka memang tidak enak”. Di sisi lain, aku selalu berusaha menanggapi perkataanmu sebaik mungkin karena aku tahu kau hanya butuh seseorang untuk mendengarkanmu.

Kau ganti mendongak, menatap atap rumah yang sayangnya juga tidak lebih baik. Atap rumah itu hitam, reyot dan aku tebak di musim dingin selanjutnya, ia akan ambruk karena tidak kuat menahan guguran salju. Atap rumah itu terlihat sangat ceroboh.

“Apa kau bisa dengar? Atap rumah itu seperti membisikkan sesuatu, Sky. Ia bilang ia adalah pecinta. Apa itu masuk akal? Apa kau juga seorang pecinta?”, kali ini kau bertanya.

Aku ingat terakhir aku mendengarmu memanggil namaku adalah lima hari yang lalu saat aku hampir menjadi korban penjambretan di depan rumahmu. Saat itu kau hanya memanggil, tersenyum dan tidak mengatakan apapun. Kau harus tahu bahwa kau menyelamatkanku saat itu. 

Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi, “Itu tidak masuk akal dan kenapa kau berpikir demikian?”

“Karena kalian mirip. Atap dan Sky. Atap dan langit. Kalian sama-sama berada di ketinggian—”, kau menunjukku dan atap rumahmu secara bergantian, “—tapi, ada apa dengan orang tuamu? Hei, langit itu tidak ada! Yang mereka lihat bukanlah langit melainkan kumpulan gas dan udara. Udara membiaskan cahaya biru dari sinar matahari lebih banyak dibandingkan cahaya merah. Karena itu mereka berwarna biru. Langit adalah istilah paling omong kosong yang pernah ku dengar”

Aku hendak protes sebelum kau mengalihkan pandanganmu lagi. 

Aku menghela nafas, kembali mengikutimu. Aku memang selalu mengikutimu.

“Kau lihat kusen jendela itu?—”

Oh tidak. Sayang sekali. Sayang seribu sayang.

Sepertinya aku tidak bisa lagi mendengar pendapatmu mengenai kusen jendela atau hal-hal aneh lainnya yang lewat di pikiranmu karena satu-satunya alasanmu bertahan hidup telah menjerit-menjerit. Berteriak. Memanggil. 

Kau buru-buru berdiri. Tapi seperti biasa sebelum kita berpisah, kau masih sempat berkata, “Aku akan mengakhiri hidupku. Secepatnya. Aku berjanji”.

Dan aku, telah sejak lama, hanya mengangguk.

***

“Aku akan mengakhiri hidupku. Secepatnya. Aku berjanji”

“Kenapa begitu?”

“Karena ada monster kecil yang hidup di dalam tubuh ibuku. Monster itu hanya seukuran kepalan tangan tapi ia aktif menggerogoti tubuh ibuku dari dalam. Aku tidak bisa mengambilnya. Tidak ada seorangpun yang bisa mengambilnya. Tidak kecuali kami memiliki banyak uang”

“Jika ibumu mati, kau tidak harus ikut mati. Kalian memiliki kehidupan yang berbeda”

Kau diam. Sepertinya kau tersentak dengan ucapanku. Ke dua alismu naik turun. Rahangmu mengeras. Tapi detik selanjutnya kau menggeleng, “Kau tidak akan pernah mengerti”.

Di hari itu, hari pertama saat kau bilang akan mengakhiri hidupmu sendiri, aku masih bisa menunjukkan ketidaksepakatan. 

Aku memukul pagar keras-keras. Besi-besi berderit. Suaranya memekakkan telinga. “KALAU BEGITU BUAT AKU MENGERTI, BAJINGAN!”, aku berteriak.

Kau malah memalingkan muka. Nafasmu tidak teratur untuk beberapa detik. Tapi tampaknya kau berhasil menguasai dirimu sendiri, “Aku pernah mendengar rumor aneh. Ibu bilang aku memiliki saudara kembar. Perempuan. Ayahku terpaksa menjual anak itu untuk diadopsi orang tua lain agar kami bisa membayar biaya sewa rumah selama bertahun-tahun”

“Jangan mengalihkan pembicaraan!”, aku menghardik, mengingatkanmu.

Tanganmu meraih tanganku, “Jika rumor itu benar, aku berharap anak itu memiliki nasib yang lebih baik dibanding nasibku. Orang tua yang lengkap dan sehat. Tempat tinggal mewah di pusat Kota Seattle. Pendidikan Program Studi Ilmu Sains di WSU. Oh! Oh! Dan jangan lupakan seekor anjing Samoyed yang memiliki hobi tidur siang sebagai hewan peliharaan”

Lalu sebuah suara kembali terdengar. Menjerit-jerit. Memanggil. 

Ibumu kembali memanggilmu.

Kau menghela nafas. Kau melepaskan genggaman tanganmu. Kau kembali bicara, “Aku akan mengakhiri hidupku. Secepatnya. Aku berjanji”.

***

Berminggu-minggu kemudian aku mendengar penjual toko roti bergosip bersama banyak orang lain di dekat rumahmu. “Apa kau tahu kabar dari si Gila itu? Apa ia masih keras kepala menunggu suaminya pulang?”, satu orang dengan seru memulai pembicaraan. “Sepertinya begitu. Suaminya berselingkuh saat ia divonis dengan penyakit mematikan. Ia tidak akan sembuh. Nasibnya memang sial sekali”, yang lain menimpali.

Satu-dua orang kompak mengangguk-angguk, menyetujui.

Penjual roti buka suara, “Aku paling kasihan dengan anak laki-laki mereka. Brandon—”, akhirnya namamu disebut, “—anak itu pintar. Ia seharusnya bisa bersekolah atau bekerja di manapun ia mau. Tapi ia malah harus terjebak di dalam rumah itu karena keegoisan ibunya”. Satu orang menepuk bahu penjual roti. Berusaha menenangkannya yang tiba-tiba tampak emosional.

“Si Gila itu selalu menjerit-jerit kesakitan bukan? Sepanjang hari? Kira-kira, dua puluh menit sekali?”

“Hei, tidak. Lima belas”

Satu orang masih protes, “—sepuluh menit! Aku bertaruh lima dolar. Si Gila itu menjerit setiap sepuluh menit sekali. Aku tebak juga, si Gila dan anak laki-lakinya akan memiliki kematian yang lama dan menyakitkan.”

Yang lain tertawa, mengalah. Sedetik kemudian pembahasan dengan cepat berganti. Tapi aku mengembalikan roti-roti yang baru saja hendak ku bayar ke atas rak. Nafsu makanku menguap. Darah di kepalaku terasa mendidih. Sebelum benar-benar pergi, aku sempatkan untuk meludahi teras toko roti itu sebanyak yang ku bisa. 

Mungkin kau benar. Kau memiliki alasanmu sendiri dan aku tidak akan pernah mengerti. Pun orang-orang ini. Mereka juga tidak akan pernah mengerti.

***

Brandon, apa kau bisa mendengarku?

Apa kau masih ingat dengan si Harry Smith? Professor kalkulusku dengan tubuh gendut, kepala botak dan wajah membosankan itu? Untuk pertama kalinya, aku bisa melihatnya menampakkan ekspresi wajah yang berbeda-beda saat aku tiba-tiba berdiri dari kursi setelah mendapat pesan singkat dari kepolisian Seattle yang mengabarkan bahwa aku harus pulang, dengan segera, karena mereka telah menetapkanku sebagai saksi atas tindak bunuh dirimu yang diperkirakan terjadi pagi ini.

Brandon, apa kau bisa mendengarku?

Apa kau masih ingat dengan cerita mengenai teman sekelasku Anthony yang terpeleset minuman soda di lorong universitas? Sepertinya aku telah mendapat karma dari Anthony karena waktu itu aku ikut menertawakannya bersama banyak orang lain. Setelah keluar dari kelas kalkulus, aku berkali-kali ambruk di lorong universitas. Lorong-lorong terasa sangat basah, tapi kali ini bukan karena minuman soda. Mungkin karena air mataku sendiri atau cairan di dalam otak yang merembes keluar karena kepalaku juga ikut berdenyut. Siap pecah kapanpun.

Brandon, apa kau bisa mendengarku?

Seorang wanita kemudian menangkapku. Kejutan! Aku tidak mengenalnya tapi bau parfum wanita asing itu terasa menyenangkan dan aku sempat melihat satu buku berjudul ‘Cosmos’ karangan Neil Tyson dan ‘A Brief History of Time’ karangan Stephen Hawkins di dalam dekapannya. Jika tidak salah, aku juga pernah melihat ke dua buku yang sama, teronggok bisu bersama barang-barang lain, berserakan di dalam kamarmu. Hanya saja buku-buku milik perempuan ini tampak mengkilap dan dijilid dengan baik. Bukan bajakan seperti kebanyakan buku-bukumu.

Brandon, apa kau masih mendengarku?

Aku di sini kehabisan waktu. Intinya, wanita asing yang ku ceritakan sebelumnya ternyata menuntunku ke pusat konseling universitas. Wanita asing itu membantu merapikan rambutku, menanyakan apa yang sedang terjadi, bahkan hendak pergi membelikanku minuman agar keadaanku sedikit membaik. Tapi aku meraih tangannya. Aku bilang padanya bahwa aku tidak bisa berada di pusat konseling sekarang. Aku harus pergi ke kantor polisi. Wanita asing itu kemudian mengangguk dan mengantarku pergi dengan mobilnya menuju kantor polisi tanpa banyak keraguan. 

Sekarang bukan hanya selera bacaan yang terasa familiar, tapi juga sifat terlalu baik dan terlalu peduli. Brandon, apa aku salah jika mengatakan bahwa kau dan wanita asing ini begitu mirip?

***

“Siapa namamu?”

“Brielle”

“Apa aku lupa berterimakasih sehingga kau masih ada di sini?”

“Dan membiarkanmu berdiri di tengah hujan memandangi rumah kosong ini hingga jatuh pingsan? Ku rasa tidak”

Aku berbalik. Menatap wanita asing yang ternyata bernama Brielle ini. Ia masih di sini. Namanya cantik. Wajahnya cantik. Bajunya cantik.

Tapi ia mau repot-repot memayungiku di depan rumahmu yang sekarang telah diberi garis  kuning oleh polisi. Aku berkacak pinggang, “Rumah ini tidak kosong. Tempat sampah, atap dan kusen jendela itu masih di sana. Mereka semua tampak buruk, tapi mereka masih di sana”. Brielle mengusap wajahnya yang terkena tampias air.

“Kau harus pulang—”, suara Brielle bergetar, “—aku tidak sengaja mendengar ucapan-ucapan para tetangga. Mereka bilang, temanmu Brandon dan ibunya pergi sambil saling bergandengan tangan. Tapi kau harus tahu bahwa ada yang salah dalam perkataan mereka. Yang lama dan menyakitkan adalah kehidupan Brandon dan ibunya. Kematian mereka tidak. Jadi jangan bersedih terlalu lama”

Tanpa bisa ku cegah, aku menuruti dorongan dari alam bawah sadarku untuk memeluk Brielle.

Aku menangis di pelukannya. Seattle sedang diguyur hujan lebat. Cuaca sedang luar biasa dingin. Tapi pelukan Brielle terasa sangat hangat.

Kau meninggalkanku, temanku. Tapi semesta sepertinya mengirim teman baru.

Setelah pelukan dan tangisan yang terasa berlangsung selamanya itu kemudian berakhir, aku menatap wajah Brielle dan untuk sedetik, aku benar-benar bisa melihat pantulan wajahmu pada wajahnya. Sehingga aku bertanya, “Brielle, apa kau memiliki seekor anjing Samoyed di rumahmu?”

Anehnya, Brielle menutup mulutnya. Ia terkejut, “Kau pengikut Maya? Bagaimana kau bisa mengenaliku? Oh, astaga! Padahal aku sudah mati-matian menyembunyikan wajahku di Instagram pribadinya. Kau tahu, tahun ini pengikut Instagram Maya telah bertambah lima juta orang. Lima juta! Bisa kau bayangkan itu? Maya memang anjing paling lucu di seluruh dunia”.

Brielle masih terus bercerita mengenai anjingnya sambil perlahan-lahan menuntunku pergi dari depan rumahmu. 

Selanjutnya aku tidak akan terkejut bila Brielle mengatakan bahwa ia tinggal di apartemen atau kondominium mewah di pusat Kota Seattle dan berkuliah di jurusan sains. 

Hei Brandon, kau masih di sana bukan? Sepertinya rumor yang kau dengar adalah benar dan doa yang kau panjatkan adalah kenyataan.

 

Surabaya, 6 Maret 2022

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts
Read More

Sipele Begu

Air dan sampan menari-nari mengikuti arahan dayung yang digenggam Sari. Gelombang danau Toba turut mengombang-ambingkan jiwa Sari yang…