Sipele Begu

Karmita Yuliastari

Air dan sampan menari-nari mengikuti arahan dayung yang digenggam Sari. Gelombang danau Toba turut mengombang-ambingkan jiwa Sari yang sudah hanyut lebih dulu. Matanya kosong padahal pikirannya penuh dan hampir tumpah dari kepalanya. Baik dan buruk sudah membias. Semua benar pada sudutnya masing-masing. Walaupun begitu Sari harus tetap memilih. Dalam hati Sari selalu bertanya-tanya. Haruskah aku hidup dengan kepalsuan? Atau mati dengan keyakinan?

* * *

Sari lahir di Silalahi, sebuah desa pinggiran Danau Toba. Dia suka bermain bersama teman-teman yang lain seperti Butet si cengeng, Anton si rakus, Vani si pemalu, serta Beni dan Geden yang terlahir kompak untuk sombong. Pastinya Sari lebih memilih bermain bersama mereka daripada membantu mamak di kebun bawang atau bapak di kandang babi. Waktu itu Sari berumur delapan tahun dan mulai masuk SD kelas dua. Dia terlihat  sama dengan anak-anak lain. Hanya saja sedari kecil dia ditakdirkan berbeda.

Sari adalah seorang Parmalim, pengikut agama asli suku Batak. Meskipun agama ini diturunkan langsung oleh Raja Batak, pengikutnya sudah mulai berkurang dan hanya sedikit saja. Kebanyakan warga sudah berpindah agama, menjadi penganut agama yang dibawakan para misionaris.

Malim adalah agama yang dia dapat dari orang tuanya yang memang asli dari Huta Tinggi, sebuah tempat di pulau Samosir tengah danau sekaligus pusat tata usaha dari agama ini. Walaupun Sari tidak pernah mengikuti mararisabtu, ibadah mingguan Parmalim yang diadakan setiap hari Sabtu, tetapi dia masih mengikuti patik, hukum Parmalim. Dari kecil Sari selalu diajarkan oleh bapaknya hakikat hidup Parmalim yaitu selalu bersyukur dan berserah.

Sore itu Sari bermain bersama teman-temannya di pinggiran danau. Di tengah permainan, datanglah Bene anak Pak Simbolon, pendeta kampung. Belum lama datang, Bene langsung berkhotbah kepada anak-anak di sana. Dia bercerita tentang Adam dan Hawa orang pertama yang turun ke bumi.

Sari memotong semangat cerita Bene dengan membantah cerita itu. Dia berganti bercerita tentang orang pertama di bumi menurut apa yang diceritakan bapaknya. Orang pertama itu adalah Si Raja Ihat Manisia dan istrinya Si Boru Ihat Manisia yang turun di Pusuk Buhit. Semua orang Batak mengetahui cerita Sari tersebut sebagai cerita rakyat belaka, tetapi bagi Parmalim cerita itu adalah sebuah kenyataan yang terjadi ribuan tahun lalu.

Setelah mendengar cerita Sari, tatapan Bene kepada Sari menjadi meruncing penuh kebencian. Sari tidak mempermasalahkan karena dia hanya menceritakan kebenaran. Geden memecah keheningan itu dengan mengajak mereka semua bermain sampan ke danau.

Sari sangat bersemangat karena memang dari dulu dia suka bermain di danau, basah-basahan di tepi atau ikut bapak menaiki sampan. Mereka berenam pun menaiki dua buah sampan. Vani, Butet, dan Anton naik satu sampan, sedangkan Sari duduk di antara Geden dan Bene di sampan yang lain. Sari tersenyum-senyum menikmati aliran air di pinggir sampan dengan tangan telanjang yang rasanya seperti danau menyalami dia dan menyambut kedatangannya. Biru danau, hijau bukit dan beberapa tambak ikan mas mengisi perjalanan. Dia baru tersadar sampan ini berada terlalu jauh meninggalkan sampan yang lain ketika Vani yang berteriak memperingati. Ternyata, sampan yang dinaiki Sari sudah berada terlalu jauh ke tengah; bahkan melewati tambak Abang Togar. Jantung Sari berdegup kencang karena memang dia tidak bisa berenang dan pastinya ada larangan dari para orangtua untuk tidak ke tengah danau.

Geden dan Bene yang saling berbisik seolah-olah merencanakan sesuatu. Tiba-tiba mereka berdua berteriak.

“Mati kau Sipele Begu!” yang berarti penyembah berhala. Tangan dan kaki Sari mereka tarik dan dia dilemparkan ke hamparan air.

Segala gerakan Sari lakukan untuk tetap mengapung dan bernapas, akan tetapi tidak ada hasil. Sari makin ditarik masuk ke dalam oleh daya bumi. Kepalanya pusing, udara mulai menipis, dan mata Sari mulai buram. Gelap pun datang.

Pada saat Sari membuka mata, ternyata banyak orang yang mengelilingi. Bapak dan Mamak yang memangku Sari masih terlihat menangis. Bang Togar terlihat basah kuyup. Dia mencoba menjelaskan peristiwa itu kepada orang banyak. Tak jauh terdengar juga suara tangisan dari Bene dan Geden. Perlahan orang-orang kembali pulang. Dalam gendongan Bapak, Sari menoleh ke arah danau. Rasa ngeri teramat membuatnya makin menggigil.

Esoknya Sari seakan terlahir kembali. Dia jadi sangat takut untuk pergi ke danau dan bahkan trauma dengan air. Setelah kejadian itu Sari tidak mau mandi 3 hari dan perlahan bau badannya berubah menjadi seperti babi. Mamaknya sudah tidak tahan dan suatu pagi langsung mengguyurnya dengan air sabun.

Berbeda dengan Sari yang takut dengan air, teman-teman Sari justru takut dengan Sari karena dia adalah sipele begu. Semua itu berkat pengakuan Bene yang menenggelamkan Sari supaya Desa Silalahi aman. Akan tetapi suru-suruan danau, arwah, menyelamatkan Sari.

Beruntung masih ada Vani yang masih mau bermain bersama Sari, meskipun karena dipaksa mengupas bawang bersama ibunya. Awalnya Vani juga mengacuhkan Sari. Perlahan Vani mulai terbuka tapi tetap menjaga jarak. Vani melakukannya karena bagi teman yang lain berteman dengan Sari sama saja bersekutu dengan begu, setan, dan Vani tidak ingin kehilangan mereka.

Meskipun mulai diperlakukan jahat, Sari ingin bergabung bersama teman yang lain karena perlakuan tersebut lebih baik daripada rasa kesepian. Sayangnya mereka sering sekali bermain di danau, sebuah tempat yang setelah peristiwa hampir tenggelam lebih buruk dari mimpi buruk bagi Sari. Menatapnya dari jauh saja membuat jantung Sari ingin meledak. Dia habiskan pagi dan siang dengan malam.

Beruntung di malam hari Sari bisa memuaskan hatinya dengan membasahi bantal setetes demi setetes. Menikmati pelukan bantal yang setia melindunginya dari angin yang menyelinap di sela-sela rumah bolon. Sari merasa itu memang sudah takdirnya, seperti yang dibilang oleh Bapak,

“Orang Malim itu harus selalu bersyukur dan berserah!”

Ya walaupun Bapak sering marah-marah sendiri ketika ditagih hutang.

***

Waktu Sari habis dengan melahap segala kertas yang bertinta. Semua hal dia baca, bahkan kertas koran pembungkus tempe. Berkat kebiasaan itu Sari semakin pandai dan akhirnya menjadi juara kelas.

Orang tua Sari sangat bangga, karena di kampungnya bisa membaca lancar saja sudah dianggap hebat. Masih banyak yang buta huruf. Beberapa anak bisa lulus ujian dengan menyontek karya temannya. Banyak anak muda yang pekerjaannya memancing di danau atau berburu babi di hutan.

Meskipun begitu, masih ada orang pandai lain di desa ini yang dijadikan teladan hidup oleh Sari, dia adalah Ibu Vero. Beruntung Sari mengenal dia saat sekolah SMP.  Ibu Vero masih muda dan mengabdikan hidupnya di kampung pelosok dan miskin ini padahal dia berasal dari keluarga berada.

Berkat buku-buku dari Ibu Vero, Sari bisa makin tahu banyak  hal, terutama tentang pelajaran biologi. Sedari kecil memang Sari sudah diajari Bapak ilmu alam yang sudah pasti berasal dari ajaran Malim. Bapak berkata bahwa manusia harus selalu menjaga alamnya, karena alam adalah sumber kehidupan dan penghidupan. Mungkin itulah penyebab Sari menjadi suka niologi, karena sejak dini dia menghormati alam. Sayangnya Sari tidak dihormati oleh teman-teman karena perbedaan keyakinan.

Lulus SMA Sari sebenarnya bercita-cita ingin menjadi seorang dokter, tetapi dia menyadari bahwa hal itu tidak mungkin karena biaya. Biaya pendidikan menjadi dokter paling tidak harus menjual tiga ekor babi setiap semester, sedangkan bapak hanya punya dua ekor.

Bu Vero yang tahu akan hal ini, menawarkan Sari pilihan lain yaitu sekolah di Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Medan. Dia punya kenalan orang di sana. Paling tidak menjadi perawat juga membantu kesehatan orang, ditambah pula biayanya lebih murah. Sari mengambil kesempatan itu. Meskipun Bapak dan Mamak harus berhutang, mereka terlihat bersemangat. Sari merasa lebih berapi-api.

***

Tiga tahun Sari akan bersekolah di sekolah keperawatan di Medan. Dia ingat pesan bapak untuk selalu menjaga diri dan selalu ingat akan identitasnya sebagi orang Malim. Jelas Sari akan menjaga dirinya karena perilaku orang Medan tidak seramah di kampung, semua hal terasa lebih keras meskipun memang pada dasarnya hakikat orang Batak sudah keras. Itu untuk urusan menjaga diri, masalah identitas lebih berat lagi.

Ketika orang tau bahwa Sari adalah seorang Malim, umpatan sipele begu selalu keluar dari mulut semua orang Sari lengkap dengan pengasingan terhadap Sari. Orang Malim bagaikan wabah, yang ketika orang lain tahu langsung menjauh, menutup hidung, mata, dan telinga supaya tidak tertular. Padahal mereka justru harusnya membukanya, terlebih otak dan hati.

Sari membatasi diri dalam berteman. Tidak banyak yang dia kenal dan tidak mendalam pula mengenal mereka. Sari masih berbicara dengan manusia pastinya, selama itu hanya obrolan singkat dan tidak terlalu menggali hal dalam tentang dirinya maka Sari akan bisa mengatasinya. Jika obrolan itu mulai mengorek asal-usul Sari, maka dia hanya akan tersenyum canggung, hanya terdiam dan obrolan akan berakhir  dengan sendirinya, karena lawan bicaranya pasti akan bingung.

Sayangnya Sari pernah menyimpang dari kebiasaan membatasi pertemanan. Dia kurang patuh pada siasat pergaulannya. Sari terlalu dekat dengan seseorang yang dia kenal, mungkin melebihi dirinya sendiri. Simon adalah seorang pria tampan, dengan kekar otot tiap sudutnya yang kuliah di universitas dekat dengan sekolah keperawaatan Sari.

Mereka pertama kali dekat ketika Sari makan mie ayam sendirian dan Simon tiba-tiba duduk di depan Sari. Simon langsung menyodorkan tangannya dan berkata, “Simon.” Mulut Sari membisu dan raut wajahnya jadi tidak jelas antara takut dan senang. Pertama  kali  seorang pria tampan kekar bersalaman dengannya. Simon memecah keheningan dengan bertanya.

“Nama kamu siapa?”

Dengan lirih Sari membalas, “Sari.”

Kala itu bulu kuduknya berdiri, adrenalin mengalir deras dan senyuman tidak bisa Sari tutup-tutupi. Sesederhana itu, kenangan Sari makan mie ayam paling mendebarkan seumur hidup,

Hari-hari terlewati, sudah banyak simpul yang mereka buat, mengeratkan dan mendekatkan. Hubungan mereka baik-baik saja karena ketidaktaatan Simon pada agamanya. Dia jarang berdoa dan bahkan tidak pernah ke gereja. Sempat Sari heran ketika Simon tiba-tiba membuat tanda salib sebelum makan. Sari mendengar bisik Simon kepada Yesus, orang berjanggut yang sering disembah oleh orang Kristen. Simon berterimakasih kepada Yesus atas ikan arsik, makanan khas Batak, yang ada di hadapan mereka. Ucapan itu membenturkan kepala Sari.

Mengapa Simon tidak berterimakasih kepada alam, danau, atau bahkan namboru, ibu, yang memasak ikan itu susah-susah daripada berterimakasih kepada Yesus yang tidak berbuat apa-apa?

Kejadian itu Sari anggap angin lalu. Sari tidak peduli apa yang Simon sembah, yang paling penting baginya Simon selalu mecintai dirinya. Lagi pula Sari juga tau bahwa Simon sangat jarang berdoa.

Setelah satu tahun mereka berhubungan, Simon akan diwisuda. Sari datang di acara itu dan diperkenalkanlah dia kepada kedua orang tuanya. Keluarga Sidabutar ini sangat baik pada Sari. Tanpa basa-basi mereka berjanji membuatkan pesta pernikahan paling besar di Samosir.

Hubungan Sari dengan Simon pun makin mendalam. Rencananya setelah Sari lulus kuliah dan mendapat pekerjaan mereka akan menikah. Sari pun lulus dengan sangat  baik. Bapak dan Mamak pun datang ke acara wisuda Sari. Mereka juga berkenalan dengan Simon.

Simon agak terlihat aneh menghadapi keluarga Sari. Tapi Sari tetap biasa saja bersikap. Mungkin hanya kekhawatirannya saja yang mudah terpantik. Selesai wisuda mereka kembali lagi ke kampung. Bapak sudah menyiapkan pesta esoknya dengan memotong dua ekor babi sebagai syukuran wisuda Sari. Tetangga pun pasti diajak. Malam itu setiap orang kenyang makan saksang, masakan daging babi khas Batak, dan puas minum tuak. Sayang Simon tidak bisa ikut karena ada urusan penting di kantornya.

Tiga hari kemudian Sari harus kembali lagi ke Medan karena Simon ingin mengenalkan dia kepada temannya Susan yang juga seorang pemilik rumah sakit di sana.

Sebelum berangkat kepada masa depannya yang cerah Bapak menasehati Sari.

“Sari, selama ini Bapak sudah bekerja keras membiayaimu, cari hutang sana-sini dan sekarang syukur kamu sudah berjalan menuju jalan yang baik. Kamu sudah punya pasangan yang mencintaimu dan juga pekerjaan yang pastinya akan mudah kau dapat dengan gelarmu. Bapak hanya berpesan jangan pernah lupa dengan tanah Batak. Walaupun kita juga tidak pernah ibadah, jangan lupakan apa yang bapak ajarkan padamu tentang cara  hidup orang Malim,” tutur Bapak dengan mata berkaca-kaca serta pelukan hangat.

Mamak turut serta memeluk Sari dan tak mau lepas.

“Iya Pak, Mak. Sari pasti akan sering pulang,” katanya sambil berpamitan.

Sari bisa merasa getaran yang ada di hati Bapak dan Mamak. Anak satu-satunya sudah dewasa, mandiri dan siap meninggalkan orang tua untuk mewujudkan mimpi. Ketika Sari sudah menikah dan berhasil nanti sudah selesailah pula tugas mereka. Air mata terjun bebas dari bola mata Sari. Dipeluk lagi Bapak dan juga Mamak. Bukan untuk terakhir kali.

Sampai di Medan, Sari dijemput Simon dan langsung dibawa ke rumah sakit. Bu Susan ternyata cukup muda. Sari bersalaman dan berbincang sejenak di kantornya. Tidak ada masalah dalam wawancara itu. Lagi pula ijazah Sari bernilai nyaris sempurna. Sari memasuki rumah sakit ini tanpa perasaan asing, seakan tiap hari dia akan memasuki rumah sakit yang sangat besar ini.

Sekitar lima belas menit wawancara selesai, mereka pun keluar menemui Simon. Simon sedang mengobrol asik dengan seorang berjas putih berkalungkan stetoskop dengan wajah yang tidak asing bagi Sari, tetapi wajah itu mencabik kembali luka lama Sari. Badan sari menjadi menggigil ketakutan dan ototnya seakan membatu dan dingin. Berbeda dengan orang di samping Simon yang ketika melihat Sari langsung tersenyum. Senyum yang bukan seperti orang bahagia tetapi seperti iblis yang menemukan mangsa.

“Sari?” tanya dia.

Sari cuma terdiam mengingat wajah itu yang malah membuatnya makin takut.

“Sari Simalungun dari Silalahi kan?”

“Iya.”

“Aku Bene!” Dia tertawa, langsung mendekat dan menyalami. “Gimana? Masih nyembah hantu kau?”

“Hantu?” tanya Simon.

“Iya Sari kan dulu sipele begu,” kata Bene yang ternyata masih menyimpan dendam masa kecilnya kepada Sari. Bagi Bene, Sari masih hidup sampai sekarang adalah sebuah keberuntungan yang sebenarnya tidak layak Sari dapat. Para penyembah berhala tidak layak menghirup udara dunia.

Nafas Sari sesak mendengar itu. Hal yang dari dulu Sari kubur dalam-dalam kini dibongkar paksa di hadapan Simon kekasihnya.

Wajah Simon dan Bu Susan terlihat kebingungan, tetapi lebih bingung lagi  ari  yang tidak tahu harus bertindak apa. Bene justru makin bersemangat menjadi menjelaskan bahwa Sari adalah pengikut ajaran Parmalim kepada Simon dan Bu Susan. Sari berbisik pada Simon bahwa dia ingin pulang sekarang. Mereka berdua pun pergi ke mobil meninggalkan Bene dan Bu Susan.

Simon memegang kemudi dengan wajahnya yang tajam melihat jalanan. Beberapa kali dia memukul-mukul klakson di jalan yang sepi. Sari terduduk kaki di samping Simon. Beberapa tetes air keluar dari mata sari yang menatap kosong.

“Mengapa kamu tidak bilang dari dulu!” Kata Simon yang lebih keras daripada klakson. Air mata Sari makin deras.

“Aku takut bang.”

“Harusnya aku yang takut dengan orang seperti kamu!” Pertama kali Simon meunjukan sisi lainnya kepada Sari. Tidak ada jawaban lagi dari Sari. Dia hanya diam dan berusaha sebisa mungkin menenangkan dirinya sendiri sepanjang perjalanan.

Sari pun turun dari mobil. Dari dalam mobil Simon berkata.

“Kita sudah tidak perlu bertemu lagi,” ucapan itu dilanjutkan dengan pijakan kaki yang menjauhkan jarak antara Simon dan Sari.

Tiga hari kemudian Sari pulang ke Silalahi. Kedatangan Sari membuat orang di rumah bertanya-tanya. Dia hanya menjawab kangen saja dengan mereka. Katanya, “Suasana  kota sangat bising. Aku sangat terganggu.”

Sebagai orang tua selama dua puluh satu tahun, Bapak dan Mamak mengerti, apa yang terjadi pasti berhubungan dengan kepercayaan mereka.

“Dia sudah tahu?” Mamak bertanya lalu merapatkan bibirnya menjadi garis lurus.

Sari hanya menjawab dengan anggukkan dan senyuman tipis. Bapak menghabisi pucuk rokok yang sedang dihisapnya. Sambil berlalu dia berkata, “Bagaimana juga kita tetap keturunan orang Huta Tinggi yang mengikuti kepercayaan dan hukum Parmalim.”

* * *

Sari kini berada di tengah danau yang dulu telah menimbun jiwanya. Dari awal dia bernapas, dia sudah tahu bahwa danau inilah jalannya. Sebagai seorang Parmalim, dia bersyukur dan berpasrah pada nasib. Meskipun sudah mati-matian dia menahan rasa kecewa yang sudah terlalu dalam. Memang tidak semua ajaran Malim dia pegang dan ketahui, tetapi dia sudah mencoba menjadi manusia yang baik. Semoga Tuhan, Debata Mulajadi Nabolon, Yesus atau apalah nama-Nya bisa memahami Sari.

Di keremangan kilau bulan, Sari bercermin di permukaan air danau. Dilihatnya wajahnya yang kurang lebih sama seperti manusia lain. Hanya daging, pikirnya. Setelah semua pertanyaan mulai tidak bisa dijawab, Sari pun berdiri untuk mencari bukti. Dia ingin membuktikan mana yang benar. Apakah benar pilihannya untuk mengakhiri semuanya di danau ini dan bergabung dengan para leluhur? Ataukah mungkin dia bisa berjalan di atas air seperti cerita tentang Tuhan pengikut agama Kristen dan diberi kesempatan untuk memperbaiki ini semua?

Sari teringat saat itu. Saat ketika dia menceritakan orang Batak pertama kepada teman-teman dengan antusias dan berakhir dengan tenggelam. Dia memang takut, tetapi ada juga kerinduan di dalam hatinya. Rindu untuk menunjukan jati dirinya. Dia lelah bersembunyi, dan untuk terakhir kali dia ingin mempercayai dirinya, mempercayai hatinya, mempercayai dirinya sebagai seorang Malim, bukan sipele begu.

Sari memejamkan matanya. dia lompat ke Danau Toba.

Yohanes Juan Antony Sijabat

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts