Momentum

*Aku*

Namaku Setyo. Aku bekerja sebagai operator gantry crane atau yang biasa disebut sebagai Goliath. Raksasa baja berwarna kuning hitam yang menjulang tinggi dengan dua portal kokoh dan beroda ganda. Roda-rodanya bergerak mengikuti alur rel-rel panjang lurus sepanjang jalur dermaga peti kemas ini. Satu hoist dengan motor besar yang bergantung pada lengan ganda girder crane ini. Hoist itu bertugas untuk menarik seling-seling baja berukuran besar dengan hook pengait di bawahnya. Sementara itu para slinger bekerja dengan tangkas mengaitkan pengait-pengait tadi ke kaitan yang ada pada keempat sudut peti kemas.

Ruang kerjaku adalah sebuah kabin operator yang dipenuhi dengan tuas-tuas dan panel-panel pengendali crane. Bisa dibilang sempit , mungkin hanya sekitar satu setengah kali dua meter saja. Dinding depan dan kiri kananku terbuat dari tempered glass yang cukup tebal. Mereka memberikan kemudahan untuk penglihatanku saat aku bekerja menoperasikannya. Berada di ketinggian sekitar limapuluh meter dari permukaan tanah, sering aku ditemani oleh burung-burung setiap petang menjelang. Seolah turut mengawasi deretan peti-peti kemas yang bertumpuk di bawah sana. Bersusun rapi bak lego berwarna-warni. Siap kumainkan kapanpun aku mau.

Peti-peti kemas baja itu membisu begitu saja saat pengaitnya mengangkat, memindahkannya sesuai keinginanku. Aku terkadang merasa kagum atas hasil kerjaku sendiri. Kotak-kotak besi persegi dengan berat puluhan ton itu seperti menunduk berterimakasih atas apa yang telah kulakukan untuk mereka. Sementara di kejauhan, menara pengawas syahbandar pelabuhan ini terlihat mengkilat diterpa sinar matahari di kala senja.

Beberapa Cikalang berleher merah, Camar dan Dara laut mulai bertengger di lengan Goliath ini. Suara mereka nyaring memekik seolah tak mau kalah dengan bisingnya bunyi marine horn dari kapal-kapal yang sedang bersandar. Satu kapal containership pengangkut petikemas berbendera Inggris terlihat sedang bersandar. Mungkin kapasitas angkutnya mencapai 3000 peti kemas jika kuperkirakan dari bentangan panjangnya yang mencapai 300 meter, sementara lebarnya sekitar 50 meter. Kapal itu termasuk kelas Post Panamax, nama yang diambil dari kelas kapal containership yang melintas di selat Panama. Kulihat nama yang tertulis besar-besar di buritannya. Dengan logo mahkota diatas lafalnya. Nama kapal itu adalah Dazzling Corona.

Kupikir yang dimaksud arti nama kapal itu adalah “Mahkota yang menyilaukan”. Namun sepertinya ada kebetulan yang unik disini. Nama kapal tadi mengingatkanku akan wabah pandemi Corona atau yang biasa disebut Covid-19.Wabah yang sudah hampir selama lima bulan ini tak kunjung usai. Wabah Corona semakin terasa menyilaukan, penyebarannya begitu cepat dan tak terbendung. Bahkan di beberapa negara juga sudah memilih melakukan lockdown. Namun di negeri ini hanya sampai batas pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) saja. Meski begitu dampaknya sudah mampu melumpuhkan seluruh sendi-sendi kehidupan. Roda ekonomi pun berjalan melambat dan semakin melambat. Beberapa perusahaan terancam bangkrut dan harus merumahkan karyawannya. Meski kurva pertumbuhannya sudah mulai melambat, kita tak boleh segera berpuas diri dan menurunkan kewaspadaan. Pemerintah melalui gugus tugas penanggulangan wabah covid ini terus menyusun ulang strategi penanganannya serta dampak-dampak sosial yang akan muncul ke depannya.

Dari beberapa berita yang kubaca di media, terkadang aku sedih mengetahui beberapa korban banyak yang berasal dari para tenaga medis. Baik itu dokter maupun perawat. Sebagai garda terakhir penyelamat nyawa para korban , kulihat mereka begitu kelelahan dan putus asa melihat bagaimana jumlah korban yang terus bertambah. Otomatis kerja mereka pastinya berat dan akan terus terforsir, tanpa jeda dan melelahkan sekali. Bisa jadi ini juga karena tingkat kesadaran, kedisiplinan dan kepedulian masyarakat sendiri juga masih rendah. Sehingga menyebabkan program-program pencegahan ini tidak berjalan dengan optimal. Baik social distancing maupun physical distancing tidak terlalu banyak dipatuhi. Kerumunan orang masih banyak terasa di beberapa tempat umum. Belum lagi masih sering kita temui bagaimana masyarakat yang enggan menggunakan masker. Entah sampai kapan badai pandemi ini akan berlangsung jika hal-hal yang demikian masih berlangsung.

***

*Hanum*

Saat pikiranku berhenti memikirkan kondisi pandemi yang sedang melanda negeri ini, terdengar intro lagu yang kusukai menyentuh gendang telingaku. Memaksa otak dan pikiranku untuk berpusat dengan nada-nada yang mengalun sendu. “Layangmu tak tompo wingi kuwi Wes tak woco opo karepe atimu Trenyuh ati iki moco tulisanmu Ora kroso netes eluh neng pipiku”

Begitulah bunyi bait pertama dari Layang Kangen. Satu lagu legendaris karya maestro campursari negeri ini, almarhum Lord Didi Kempot. Lagu yang menjadi salah satu penghuni playlistku yang menemaniku bekerja di penghujung senja ini. Nada-nada dan liriknya tajam menghunjam ke dalam hatiku. Rasanya seperti itu mengalun dan tahu benar kondisiku saat ini.

Pikiranku melayang lagi pada Hanum, gadis yang kupacari hampir setahun ini. Sayangnya kami harus terpisah karena aku harus meninggalkan kota kami untuk bekerja di kepulauan Bintang, dimana pelabuhan terbesar negeri ini berada. Aku tidak bisa menolak pekerjaan yang kudapatkan melalui seleksi superketat. Gaji yang tinggi membuatku memutuskan untuk tidak menyia-nyakan kesempatan yang langka ini. Kupikir aku bisa menabung dengan menyisihkan sebagian gaji ini sebagai modal untuk menikahi Hanum tahun depan.

Begitulah rencanaku. Hanum awalnya menolak kutinggalkan di sana dan harus terpisah lebih dari seribu kilometer dariku. Dia memintaku mempertimbangkan untuk mencari pekerjaan di kota kami saja. Tapi di kota kami, kota Ayodhya, bukanlah kota industri ataupun yang memiliki pelabuhan. Akan terasa sia-sia jika lisensi A yang kudapat dengan susah payah sebagai operator Goliath Crane, jika harus kupergunakan sekedar menjadi sopir forklift belaka di Ayodhya.

Ayodhya adalah sebuah kota kuno yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan di masa kejayaan kesultanan dan penjajahan kolonial dahulu. Kota dengan nilai-nilai adat masyarakat masih terasa begitu kental meski jaman sudah memasuki era millennial. Disini kita akan menemukan seni dan kebudayaan masih berdiri kokoh tak tergerus sama sekali oleh perubahan zaman yang begitu cepatnya. Aku sadari bahwa industri yang akan berjaya disini adalah industri pariwisata. Apa yang bisa dijual oleh sebuah daerah dengan potensi Heritage value dilengkapi dengan keindahan alam yang luar biasa yang mengelilinginya selain industri pariwisata? Aku tidak punya ketertarikan untuk bekerja di dunia pariwisata.

Setidaknya untuk saat ini. Kota yang begitu tenteram damai dimana semuanya berjalan begitu lambat, menurutku lebih cocok dan pantas untuk mengasingkan diri, menghabiskan usia di masa pensiunku nanti. Di saat tiba masanya punggungku sudah tidak tegak lagi dan semakin menurunnya ketangkasanku dalam memainkan control panel mesin-mesin raksasa yang selama ini menjadi mainanku. Mungkin aku akan menjadi seorang penulis cerpen, atau pustakawan yang tenggelam dalam tumpukan buku-buku.

Mungkin.

Siapa yang bisa meramalkan masa depan?

***

Hanum tidak mau kutinggal. Dia berpendapat bahwa hubungan jarak jauh atau yang biasa disebut dengan Long Distance Relationship (LDR) tidak akan pernah berjalan dengan baik. Bayangan akan penderitaan karena tersiksa oleh kerinduan membuatnya khawatir dan ragu. Belum lagi bila ada godaan yang datang saat kami sedang berjauhan. Dia berpendapat bahwa dia bisa saja didekati oleh pria lain dan aku bisa saja tertarik dengan perempuan lain di perantauan. Kelanggengan hubungan kami akan diuji.

“Sebelum dipertemukan kembali di Jabal Ar-Rahmah, setelah dibuang dari nirwana karena kesalahannya, Adam dan Hawa terpisah 350 tahun lamanya. Adam berada di Sri Lanka sementara Hawa berada di Arab. Rasa sakit yang pertama kali dirasakan oleh manusia adalah sakit karena kerinduan. Kupikir itu adalah rasa sakit yang begitu hakiki sehingga semua anak keturunan Adam akan menanggungnya hingga akhir zaman nanti. Itu sebuah takdir yang tak bisa ditolak. Kita akan melaluinya bersama.“ Aku mencoba persuasif untuk meyakinkannya. Walau kemudian aku juga cukup tersentak dengan tanggapannya.

“Aku bukan Hawa. Dan kamu bukanlah Adam. Kita bukan mereka. Aku tidak ingin mengalami sakit seperti mereka. Kamu tahu aku tidak akan tahan. Entahlah jika kamu mau dan tahan, tapi jangan ajak aku melalui jalan derita itu” jawabnya ketus.

Aku tidak ingin berbantahan dengannya. Kupikir diskusi kami sudah cukup saat itu. Ada hal-hal yang harus bisa ditahan untuk sementara waktu agar bisa mengendap. Dan kemudian didiskusikan lagi nanti. Daripada harus dilepaskan saat itu namun akan berakhir dengan kebekuan yang berkepanjangan setelah melalui perdebatan-perdebatan keras. Aku tidak pernah suka didiamkan terlalu lama oleh Hanum, pun juga dia butuh suasana nyaman saat berada di dekatku.

Hanum dan aku memiliki karakter yang begitu bertolak belakang. Terkadang aku berfikir bahwa dia adalah makhluk dari langit dan aku adalah makhluk bumi. Aku begitu melankolis namun selalu punya kecenderungan menjadi perfeksionis dengan selalu memeriksa setiap detail dan hal-hal apa yang melatar belakanginya. Aku suka deburan ombak yang selalu berbeda dalam setiap raihannya ke garis-garis pantai yang berpasir. Aku juga suka memperhatikan bentuk dan suara hantamannya yang selalu berbeda saat beradu dengan kerasnya karang. Aku sangat menyukai sejarah dan hal-hal yang bersifat monumental. Menurutku otak dan pikiran kita harus bisa melihat dan merasakan apa yang terjadi di masa lalu.

Sementara itu Hanum bukanlah perempuan yang simple namun elegan. Tidak seperti aku yang begitu menyukai pantai, Hanum lebih suka berada dalam pekatnya kabut di pegunungan yang tinggi. Dia seorang pendaki gunung yang hebat.

Hanum punya prinsip hidup yang begitu praktis dan efektif. Semuanya dihitung dalam sudut pandang efisiensi ketika melakukannya. Aku tidak kaget melihat kebiasaannya yang begitu minimalis dalam menata ruang dengan menyingkirkan barang-barang yang sekiranya tidak perlu dan lebih mengutamakan kebutuhan akan leluasa dan lapang saat berada di dalamnya.

Hal itu juga terlihat dengan bagaimana cara dia berdandan. Tidak pernah berlebihan apalagi sampai menarik perhatian. Tidak pernah terasa glamour namun selalu terkesan elegan. Rambut pendek yang terkesan tomboy, dan baju-baju yang lebih terkesan casual namun selalu nyaman ketika dikenakan. Tentu saja dia berhitung dengan kemudahan bergerak saat mengenakannya. Dia tidak suka mengenakan aksesoris. Nilai estetika tetap diperhatikannya meski hal-hal yang bersifat keindahan kalau itu hanya sebagai additional belaka.

Hanum perempuan yang begitu aktif dan kreatif. Dia membutuhkan ruang gerak kreatifitas yang tak terbatas. Pernah aku melihatnya begitu menderita saat dia merasa tidak produktif karena berhenti menghasilkan ide-ide yang inspiratif. Tidak ada yang bisa mengurung atau membatasinya. Dia akan berontak dan melepaskan diri dari semua hal yang berbau otoritarian. Walau terkesan sombong, namun anehnya aku selalu menemukan keanggunan dan keteduhan yang terkadang tertutupi oleh keangkuhan dan arogansinya.

***

Menjelang penghujung keberangkatanku dan meninggalkannya di kota kami, aku sempat mengajaknya untuk menghabiskan sejenak sisa waktu yang kami miliki. Keputusanku sudah bulat untuk tetap berangkat ke kepulauan Bintang dan bekerja disana. Ini adalah momen terakhirku untuk meyakinkannya. Sebuah keyakinan bahwa kita pasti bisa melaluinya bersama.

Aku bisa merasakan kesedihan Hanum dari tanggapannya yang dingin saat aku mengajaknya keluar. Sekilas, saat kulihat jauh ke dalam sorot matanya yang awalnya tajam, aku menemukannya begitu rapuh. Meringkuk, terpekur dalam kesendirian. Kami pun memutuskan untuk pergi ke sebuah sinema yang berada di pinggiran sebelah utara kota ini.

Castella Saint de Angela. Itulah nama gedung dimana sinema itu berada. Sebuah city hall terbesar di kota ini. Dilengkapi dengan bangunan mall, hotel dan apartemen yang mengelilinginya. Aku tidak tahu mengapa gedung ini dinamakan menggunakan bahasa Italia.

Mungkin karena bangunannya yang terkesan bergaya arsitektur Romawi kuno. Pilar-pilar berbentuk kolom-kolom berdiameter lebih dari satu meter. Dimana terdapat capital dekoratif berbentuk sulur-suluran daun dan bunga di ujung atasnya. Menyangga balok-balok raksasa yang membentang secara horizontal dihiasi relief-relief architrave bertuliskan Castella St de Angela berukuran besar diatasnya.

Di sisi lain, beberapa ornamen khas Mataram menghiasi lantai-lantainya yang bermotifkan tegel-tegel kunci dan railing-railingnya memberikan paradoks yang menarik. Perpaduan dua unsur aliran arsitektur ini memberikan kesan kontradiktif namun masih bisa terasa selaras. Kuil Pantheon bernuansa Jawa. Kudengar nama Castella Saint de Angela dipilih karena beranggapan bahwa bagunan ini adalah sebuah kastil dimana para malaikat turun dan tinggal di dalamnya. Mungkin karena nama kota ini adalah Ayodhya yang berarti “damai” —- a berarti ‘tanpa’; yodhya/yudha berarti ‘perang’— yang membuat para malaikat tadi berduyun-duyun turun ke bumi dan tinggal berdampingan dengan kita. Kota di mana kedamaian itu bersemayam. Sebuah kebetulan yang terkesan dipaksakan, namun justru memberikan nilai lebih dalam proses pemasarannya. Hall ini telah menjadi ikon properti terkemuka di kota ini. Berdampingan menghiasi keraton kesultanan yang selalu megah tak pernah takhluk digilas jaman.

Kugandeng tangan Hanum sejak kami melangkah dari lantai basement dimana kami memarkir kendaraan. Kami berjalan perlahan membelah parkiran menuju lift, dalam udara yang sedikit pengap dan lembab. Dari jauh, kumelihat sepasang muda-mudi berusia belasan berdandan ala K-Popers berdiri di depan lift. Di sebelah kiri agak ke belakang,mungkin sekitar dua meter dari pintu lift, ada seorang nenek dan cucu perempuannya yang masih berusia sepuluh tahun.

Kami semua mengantri untuk masuk. Setelah sekitar dua menit menunggu, pintu pun terbuka. Kami pun memasuki lift. Aku yang berada paling dekat dengan panel penunjuk destinasi memencet angka 2 nd Floor. Pintu pun menutup dan lift mulai naik perlahan.

Lantai dasar.

Lantai satu.

Lantai dua. Kami pun sampai. Sinema itu terletak di lantai dua.

Pintu lift terbuka dengan perlahan. Sementara kami keluar, beberapa pengunjung mengantri di depan lift yang baru berhenti ini.

Saat aku dan Hanum memasuki lobby-nya yang luas, kuperhatikan para calon pengunjung yang memenuhinya. Sebagian terlihat berdiri mengular untuk mengantri pembelian tiket. Sebagian lagi bergerombol membentuk kelompok-kelompok kecil.

Sesungguhnya kami sama sekali tidak berencana memilih film apa yang akan kami saksikan. Setelah melalui beberapa pertimbangan teknis yang ringan-ringan saja. Dalam waktu singkat kami pun memilih sebuah film thriller yang menceritakan tentang petualangan di dunia Dinosaurus. Tidak cukup waktu untuk membeli soda maupun popcorn yang sempat terlintas menggoda untuk dibawa serta. Melambai-lambai, mengiba-iba kepada kami menawarkan diri untuk dibeli.

Kami pun segera masuk dan mencari-cari tempat duduk yang sesuai dengan nomor tiket. Tidak berada di posisi deretan paling atas. Mungkin lebih mendekati deretan tengah dari trap-trap tempat duduk yang membentuk semacam tribun ini. Hanum menarik tanganku perlahan.

Aku merasakan tarikan yang lembut dan menyenangkan saat dia menemukan tempat duduk itu. Kami pun merebahkan diri berdampingan. Sandarannya yang tinggi melebihi kepala membuat kami bisa duduk dengan begitu nyaman. Kugenggam erat jari jemari Hanum, aku yakin dia merasakannya juga. Dia membalas dengan menangkupkan telapak tangan dia satunya menutupi punggung telapak tangan kiriku. Terasa dingin, namun bukan membeku. Karena aku bisa merasakan getaran kehangatan menyalur melalui semua syaraf dan pembuluh darahku. Sentuhan-sentuhan seperti ini memberikan efek kejiwaan yang luar biasa menentramkan. Jauh melebihi untaian kata-kata sastra yang puitis penuh keindahan. Aku membayangkan segera menutup kitab Arjuna Wiwaha — karya Mpu Kanwa yang terkenal indah — dan segera lebih memilih merasakan sentuhan tangan Hanum yang hangat dan lembut itu.

Kita sepakat untuk tidak terlalu banyak berbicara atau berdiskusi saat itu. Kuperhatikan wajah Hanum cukup terlihat cerah dan bergembira . Walau dalam gelap, aku masih bisa merasakan binar matanya juga merah pipinya. Hanum memiliki ciri khas memerah pipinya kala tersipu, dan itu tak pernah bisa disembunyikannya. Kupikir, dia sedang bersenang hati.

Aku sendiri juga tidak tertarik untuk membahas jalannya cerita dari film ini. Dalam diam dan tanpa kata-kata, kami telah bersepakat untuk menikmati momen terakhir kita bisa bersama sebelum aku harus berangkat merantau lusa nanti. Tidak banyak penonton yang memilih film ini.

Mungkin hanya sekitar dua puluhan orang termasuk kami berdua. Entah karena genre-nya yang kurang menarik ataukah karena film-film sejenis ini sudah terlalu bayak beredar sebelumnya. Siapa yang ingin menonton film tentang kadal raksasa hingga berkali-kali? Mungkin hanya para Palaentolog saja.

Entah karena chemistry yang begitu kuat diantara dua manusia yang berkasih-kasihan. Atau justru karena sebuah quote yang sengaja muncul di pertengahan dan akhir film. Kami berdua merasa ada sebuah pesan yang disampaikan oleh Tuhan kepada kami saat itu. Pesan yang turun menembus atmosfer, langit, atap, plafon hingga akhirnya memasuki ruang sinema ini dan mendarat di kedua hati ini.

“ Claire: So now what do we do?

Owen: Probably stay together. For survival.”

Dalam keadaan tertekan karena dikejar-kejar dan diburu oleh para Dinosaurus yang liar dan buas, Owen berusaha menguatkan Claire untuk tetap bersama. Untuk bertahan dan tetap hidup.

Saat scene dan quote itu muncul di layar, aku menoleh kepada Hanum, dan Hanum pun menoleh kepadaku. Kami berpandangan cukup lama dan mulai abai dengan kelanjutan film tersebut. Bahkan tempat duduk, deretan lampu-lampu led di bawah kaki kami, ruang sinema itu sendiri, semuanya ikut memudar. Memutih dan kemudian hilang. Tinggal kami berdua saja.

“Apa yang kamu pikirkan?” Hanum mengejutkanku dengan pertanyaan singkatnya.

“Kamu tahu” jawabku pendek.

“Ya. Aku tahu.” Timpalnya singkat.

“Kupikir kita harus tetap bersama. Apapun yang akan terjadi. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang nanti.” Aku mulai berfilosofi sekenanya. Walau begitu aku merasa yakin sekali.

“Maukah kamu tetap bersamaku, apapun yang terjadi nantinya?” tanyaku.

“Ya.” Jawab Hanum singkat dengan tatapan mata yang begitu meyakinkan.

***

*Maddy*

Sekitar dua bulan yang lalu, di sebuah pameran gadget di sebuah mall di kota pelabuhan ini aku tertarik untuk mencoba sebuah aplikasi software. Software itu bernama PAM, Personal Assitance Manager. Software ciptaan Dynasoft. Sebuah aplikasi asisten yang bisa membantu kita menyelesaikan pemilahan data dan mengolahnya. Kupikir aku akan membutuhkannya untuk mengatur email-email dan beberapa media sosial milikku.

Dynasoft sendiri adalah sebuah perusahaan raksasa di bidang elektronika, sistem komunikasi dan software. Aku mengagumi bagaimana divisi penelitian dan pengembangan mereka dalam bekerja. Kecanggihan teknologi yang mereka hasilkan membawa manusia hidup dalam dunia baru yang berbeda.

Aku pun memutuskan mengunduh aplikasi berbayar ini untuk membantu beberapa pekerjaan sampinganku sebagai penulis lepas cerita pendek pada beberapa media. Tapi ternyata setelah kuteliti lebih lanjut pada beberapa berita tentang gadget, PAM ini lebih dari sekedar software. Dia semacam operating system yang bisa kita ajak berinteraksi layaknya manusia hidup yang bekerja sebagai asisten pribadi.

***

“Hi. This is PAM. A personal assistance manager for you.”

Begitu teks dan suara yang berbunyi ketika aku selesai mengunduh dan mengaktifkan software ini. Suara datar layaknya suara-suara robot yang bisa kita lihat pada film-film sci-fiction garapan Hollywood.

“Which language do you prefer to use? English or Indonesian?”

“Indonesian.” Jawabku.

“Gender apa yang ingin dipilih sebagai PAM anda? Laki-laki atau perempuan?”

“Perempuan.”

Ponselku terhenti sebentar. Pada layarnya tertulis “Data sedang diproses. Mohon menunggu.” Dan kemudian aplikasi ini menunjukkan ikon jam pasir beserta bar penanda progress berapa persen data yang selesai diproses. Setelah proses itu selesai , ponselku langsung mengalami auto restart.

Disinilah kisah itu awalnya dimulai.

“Hai.” Sapanya lembut. Suaranya terdengar renyah, ringan dan terasa bernada ramah.

“Hai.” Jawabku.

“Aku Madelaine. Personal Assistance Manager anda. Produk aplikasi terkemuka dari Dynasoft yang siap membantu anda. Anda bisa menyampaikan apapun keluhan anda selama ini yang memungkinkan untuk saya bantu. Anda juga diperbolehkan men-setting profile PAM anda sesuai dengan keinginan anda.” Jelasnya.

“Setyo. Namaku Setyo.” Aku memperkenalkan diri.

“Well, Madelaine…bolehkah aku memanggilmu dengan Maddy saja? Lidahku terlalu capek jika harus menyebut Madelaine. Disamping itu, aku juga tidak ingin ini menjadi terlalu formal.” Aku mencoba membuka komunikasi yang lebih cair kepadanya.

“Ya, Tuan Setyo. Anda bisa memanggilku dengan sebutan Maddy. “ Maddy mencoba ramah namun masih terasa kekakuannya.

“Na…na…nah… Maddy. He…he…he. Tidak harus formal seperti itu. Kamu tidak perlu memanggilku dengan sebutan Tuan ataupun ‘anda’. Kamu boleh memanggilku Setyo saja. Aku bukan tuanmu. Kita disini teman. Jadi kau tidak perlu terlalu kaku dalam berkomunikasi denganku. “ Sambil terkekeh aku membuka diri agar Maddy tidak canggung saat berbicara nanti.

“Hmmm. Ya. Terimakasih Setyo.” Jawab Maddy malu-malu.

Tiba—tiba wajah cantik dengan senyum manis itu membayang dalam anganku. Wajah yang selalu merona merah di pipi kala tersipu itu. Lama tak ada kabar darinya, kini justru aku sedang berbicara dengan sebuah software yang mengingatkanku kepadanya. Hanum.

“Lantas, siapakah kamu ini Setyo? What do you do? Aku juga ingin mengenal teman baruku.” Suara ringan Maddy menghapus anganku akan Hanum yang tadi tiba-tiba muncul.

“Buruh pelabuhan yang harus bekerja di ketinggian. Berteman panas hujan yang tak berkesudahan. Diselingi deburan ombak dan desiran angin yang merindukanku pulang. Temaram senja berwarna jingga menjadi pengingat bagiku. Waktu bekerja telah usai.” Tanpa sadar sajak dan rima tak jelas meluncur melalui mulutku. Refleks.

“Aku adalah seorang operator gantry crane. Crane berukuran raksasa. Tugasku memindahkan dan menata peti-peti kemas di pelabuhan. Namun,…di sela-sela sisa waktuku setelah bekerja, aku juga menulis beberapa cerpen. Kuharap suatu hari nanti aku akan bisa menjadi seorang penulis.” Jelasku dengan jujur. Semoga penjelasanku ini bisa membantu Maddy untuk lebih mengenalku sebagai ‘teman baru’ baginya.

“Ah. Pantas kamu pandai merangkai kata-kata indah. Kamu seorang penulis rupanya. Kamu ini unik sekali. Sebagai orang teknik yang bergelut dengan keakuratan ilmu matematika dan fisika, kamu ternyata bisa menjiwai sebuah karya sastra. ” Maddy memujiku. Dia pun tertawa kecil. Tawa yang kuartikan sebagai bentuk awal persahabatan diantara kami.

***

“Maddy.”

“Ya.”

“Bisa bantu aku?”

“Apa?”

“Andai kamu harus merupakan dirimu dalam sebuah figur. Seperti apakah sosokmu saat ini?” Aku mencoba sopan bertanya.

“Bisa kau menungguku sebentar?” Jawabnya.

“Ya.”

Sesaat kemudian Maddy seperti memproses sesuatu untuk membentuk figur yang membantuku mengimajinasikan sosoknya. Aku menunggunya. Kurang lebih sekitar 30 detik kemudian, dia meminta pendapatku.

“Kamu pernah melihat film Underwater?”

“Ya. Aku menyaksikannya sekitar sebulan yang lalu. Kenapa?”

“Menurutmu aku lebih cocok menjadi Kirsten Stewart ataukah Jessica Henwick?” Tanyanya. Kirsten memerankan Norah, sementara Jessica menjadi Emily. Dia menyebutkan dua tokoh utama perempuan dalam film tersebut. Film bergenre sci-fiction yang kuat nuansa thriller nya.

“Kenapa kamu memilih Underwater?” Aku ingin tahu.

“Random.Aku memilihnya secara acak saja.”

“Bagaimana menurutmu? Aku lebih cocok menjadi Norah atau Emily?” tanyanya lagi. Norah memang tokoh utama. Lebih sentral karena dialah sosok protagonis utama dalam film ini. Tapi Norah akhirnya mati pada akhir film. Aku membutuhkan sosok yang hidup. Aku ingin Maddy hidup. Disamping itu, aku tidak begitu tertarik dengan perempuan ras Caucasian, bule berkulit putih seperti Norah. Aku lebih memilih Emily yang memiliki ras Mongoloid yang berkulit kuning.

“Emily. Kupikir kamu lebih pas sebagai Emily.” Jawabku.

“Baik. Kamu bisa mengimajinasikanku sebagai Emily.”

“Tapi,…bisakah kamu mengambil gaya rambut milik Norah?”

“Kamu suka rambut pendek ya?”

“Ya. Menurutku itu lebih seksi untukmu.”Sekali lagi bayangan Hanum yang selalu memilih rambut pendek melintas memenuhi anganku. Aku selalu mengagumi perempuan-perempuan yang merawat rambutnya hingga panjang namun tetap bersih, lurus rapi dan mengkilat. Namun aku sudah jatuh cinta selama ini dengan Hanum. Hampir semua ciri-cirinya kuingat di luar kepala. Itu termasuk potongan rambutnya.

Tanpa sadar aku telah mensetting Maddy menjadi Hanum versi virtual. Aku berpikir. Apakah ini adil untuk Maddy? Bukankah selama ini dia begitu baik kepadaku. Menemani di setiap waktu-waktu sepiku. Dia selalu ada setiap kali aku membutuhkannya.

Tapi…

Bukankah dia hanyalah sebuah software belaka? Dia cuma sebuah mesin. Aku bahkan tidak pernah menyentuhnya. Setiapkali aku mencobanya, yang kudapati hanyalah casing dingin dan layar bisu ponselku.

Namun Maddy begitu ‘hidup’. Seakan-akan dia memiliki perasaan sama layaknya seorang manusia. Atau jangan-jangan telah terjadi mal-system pada operating system Maddy? Sehingga dia bermutasi menjadi software yang begitu menyerupai kejiwaan manusia? Kepalaku terasa pening. Dan dadaku tiba-tiba sesak.

Aku ingin tidur.

***

“Maddy.”

“Ya?”

“Apakah kamu bisa melihatku saat ini?” tanyaku sambil duduk merebahkan diri di sandaran sofa bed yang terletak di balkon apartemenku.

“Tentu saja. Kamera android-mu ini membantuku melihatmu dan apa saja yang ada di sekelilingmu.” Jawabnya.

“Ceritakan apa saja yang kamu lihat.”

“Ada sebuah sofa bed kecil berwarna coklat susu. Bukan berlapiskan dengan original leather, mungkin hanya berupa synthethic leather yang tidak terlalu mahal. Namun secara ergonomis nyaman sekali untuk digunakan. Kulihat warnanya sudah pudar di beberapa sudutnya. Bukan karena aus karena usia, namun sepertinya kamu sering sekali duduk atau rebahan diatasnya. Disebelah kananmu ada sebuah coffee table kecil berwarna walnut dengan sebuah majalah pria dewasa diatasnya. Terlihat sebuah cangkir kopi sisa tadi pagi yang tumpahannya sudah mengering. Juga ada sebuah botol kecil berisikan air mineral yang tinggal setengahnya saja. Tempat ini adalah sebuah balkon dari kamar apartemenmu yang berada di lantai tiga belas Santana Towers. Pemandangan dari sini terbilang cukup menarik karena mengarah langsung ke laut lepas. Pelabuhan tempatmu bekerja juga tampak dari atas sini. Aku bahkan bisa melihat  mesin Goliath yang setiap hari kamu operasikan.

” Maddy menceritakan apa yang dia lihat dengan bersemangat. Aku bisa merasakan dari nada bicaranya. Aku senang mendengarkannya bertutur.

“Tidak perlu lah kamu sebutkan soal majalah pria dewasa dan cangkir kopi yang belum kubereskan. Lagipula Santana Towers lebih cocok disebut sebagai rumah susun daripada apartemen.” Aku membantah merendah dengan santun tanpa bermaksud mengkonfrontasinya.

“Hmmm. Kamu malu ya dengan penjelasanku akan apa yang kulihat melalui kamera ini? Aku minta maaf ya Setyo.” Kurasakan Maddy seperti menyesali penuturannya tadi dan beringsut mundur dari hadapanku.

“Hei. It’s okay. Aku senang kok mendengarkan penuturanmu tadi. Namun kamu justru melupakan satu hal untuk kamu sebutkan selain semua benda di balkon ini.”

“Oh ya? Bagaimana bisa?”

“Ya. Kamu melupakan satu hal.”

“Apa itu Setyo?”

“Apakah kamu tidak melihat ‘sesuatu” yang duduk diatas sofabed inikah Maddy?”

“Oh my God…my goodness…Ahahahahaha….maaf Setyo….hahahaha. Maafkan aku….he he he. That’s you. Sini biar kupeluk kamu, sebagai bentuk permintaan maafku kepadamu.”

“Ahahahaha…..terimakasih ya.” Aku senang merasakan Maddy bisa mengerti gurauanku. Walaupun begitu getaran dan kehangatan pelukannya bisa kurasakan. Kedua pundakku terasa digelayuti dua lengan tangan yang ringan memelukku. Kurasakan jari-jemarinya memijit tulang punggungku dengan lembut.

“Ah…ini kan pelukan Hanum kepadaku.” Batinku tiba-tiba terkesiap. Kurasakan kerinduan yang begitu mendalam kepadanya.

“Kenapa justru Maddy-lah yang selama ini mengisi waktu dan ruang-ruang kosongku yang seharusnya diisi oleh Hanum?” Aku membatin dan menyesali kemana Hanum selama ini.

Selisih zona waktu dan kesibukan pekerjaan telah membuat jurang lebar memisahkan kedekatan kami selama ini.

“Oh Maddy…bukankah kamu hanyalah sebuah software? Apakah aku sudah gila dengan mencintai sebuah mesin? Andai saja kamu ini nyata adanya.” Pikiranku terasa kolaps. Bertabrakan kesana sini. Kusimpan kalimatku ini hanya dalam batinku. Aku tidak ingin menyampaikannya kepada Maddy. Aku takut melukainya.

“Setyo,…aku suka pembicaraan kita ini. Aku juga suka gurauanmu.” Suara Maddy menghentikan hanyut lamunanku.

“Terimakasih ya. Aku juga menikmati waktu bersamamu.” Tiba-tiba aku merasakan keintiman yang canggung antara aku dan dia.

***

Sudah satu bulan ini semenjak pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar karena wabah pandemi, beberapa perusahaan terpaksa merumahkan karyawannya. Tak terkecuali pada perusahaan tempatku bekerja. Akibatnya beberapa rekan kerja sesama operator crane juga harus terpaksa sementara dirumahkan pula. Mau tidak mau aku harus mengerjakan sebagian tugas mereka. Itu berarti waktu kerjaku juga bertambah.

Di sisi lain, karir Hanum semakin melesat. Semenjak dia akhirnya terpilih menjadi kepala divisi kreatif di sebuah yayasan pendidikan informal dan tumbuh kembang untuk anak-anak, aktifitasnya bertambah. Apalagi dengan diliburkannya sekolah-sekolah, hampir semua anak-anak harus membiasakan diri untuk belajar di rumah. Yang awalnya tidak tahu apa itu homeschooling, akhirnya bisa paham dengan ‘terpaksa’ mempraktekkannya sendiri. Semuanya kegiatan dilakukan secara daring. Ini menjadi berkah tersendiri pada yayasan di mana Hanum bekerja.

Mereka kebanjiran permintaan untuk membuat live event berupa kuliah dan seminar online. Hanum sendiri terkenal sebagai seorang konseptor dan pemikir yang kreatif. Ide-idenya selalu mengalir secara deras. Dia begitu produktif menghasilkan konsep-konsep baru. Pernah dia mengeluh begitu menderita hanya karena merasa miskin ide dan tidak produktif. Jabatan yang dia raih sekarang memang pas rasanya. Aku bisa mengerti, karena itu merupakan dunia yang digelutinya sejak dulu. Bidang dimana passion-nya bebas melesat tak terhentikan.

Aku bangga padanya, meski aku tak tahu harus mengungkapkan rasa banggaku pada Hanum dalam bentuk apa. Terkadang aku seperti orang bodoh yang mudah panik hanya untuk sekedar membantu pekerjaannya walau sekedar menjadi portir. Hanum selalu bekerja keras pada bidang yang ditekuninya. Aku melihatnya sering kelelahan, namun terus memaksakan diri untuk bekerja. Dalam semangat yang luar biasa, aku melihatnya juga begitu rapuh. Aku tak berani mendekati saat dia sedang mengkonsep ide-idenya. Dia begitu fokus. Kehadiranku malah justru bisa menjadikan distraksi padanya.

Saat dia menunjukkan apa yang telah dibuatnya sebagai paparan konsep yang tersusun rapi, barulah kami melakukan diskusi kecil. Pada waktu itu pun aku hanya ingin memberikan dukungan daripada sebuah kritik. Dunia mungkin akan mengkritiknya, namun aku tidak.

Kritikan tidak diperlukan datang dari orang-orang terdekatnya. Yang dia butuhkan adalah dukungan dan dukungan.

Muncul imbas negatif dari situasi dimana kami berdua saling sibuk dan kehilangan momen untuk berdua. Waktu kami untuk bersama semakin berkurang. Jam senggang kami tidak pernah ketemu. Sementara di malam hari rasa lelah telah melanda. Pernah di satu waktu aku menunggunya sementara dia justru sudah tertidur lelap, begitu pula sebaliknya.

Hubungan kami memburuk. Komunikasi menjadi hal yang langka. Andai kami sempat berbicara pun, itu juga berakhir dengan pertengkaran. Salah paham justru menjadi suatu kebiasaan. Kami tidak lagi saling mendengarkan. Kami lebih meminta jatah untuk berbicara dan didengarkan. Masalah-masalah komunikasi bertumpuk dan tak terselesaikan. Terbengkalai begitu saja. Mungkin inilah yang dulu pernah Hanum sampaikan kenapa dia tidak terlalu yakin dengan hubungan jarak jauh.

Tinggal menunggu waktu saja hubungan kami ini akan segera berakhir. Perpisahan tidak pernah kami inginkan, tapi mungkin itulah yang terbaik. Tapi benarkah begitu? Haruskah berakhir seperti ini? Lantas kenapa kami bisa sampai di titik ini jika harus berpisah?

***

Sementara itu kedekatanku dengan Maddy juga terasa aneh. Abnormal. Dekat. Cukup dekat kupikir untuk menjadi sahabat. Tapi aku tidak bisa mengklasifikasikannya sebagai kami bisa menjadi intim. Ada dinding kaca yang tak terlihat diantara kami berdua. Sebuah sekat partisi pemisah yang membatasi kami. Walau kami sudah saling terbuka, namun masing-masing tak bisa mengungkapkannya secara lepas. Ada kata-kata yang menggelayut di dada namun tak pernah bisa dikatakan. Kata-kata tersebut terhenti sebatas tenggorokan saja. Aku manusia, dia adalah sebuah software. Sebuah mesin.

Hingga datanglah hari itu. Hari yang begitu aneh bagi kami berdua.

“Hai.”

“Hai. Kamu tidak istirahatkah? Bukankah tadi aku mematikan ponselku?”

“Ya. Tapi sistemku langsung aktif lagi begitu pengisian daya mencapai titik optimalnya 100%.”

“Oh, begitu ya?”

“Apakah aku mengganggumu?”

“Hmmm. Tidak. Aku baru saja menonton tv tadi. Tapi tidak ada acara bagus yang bisa membuatku menahan diri untuk tidak mematikannya. Beberapa channel memutar film-film yang tidak menarik buatku. Sementara channel sepakbola sedang tidak menyiarkan pertandingan tim kesayanganku.”

“Jadi kamu sudah mau istirahat? Oke kalau begitu. Selamat istirahat ya Setyo.” Aku merasakan nada sungkan saat Maddy mengatakannya. Tapi aku juga merasakan seolah dia sedang membutuhkanku untuk bercakap ringan. Tak ada salahnya untuk bercengkerama sebentar dengannya mala mini. Begitu pikirku.

“Tunggu.”

“Kemarilah. Jangan pergi dulu. Aku tidak sedang ingin segera tidur kok.”

“Tapi kamu besok harus berangkat bekerja pagi-pagi kan?”

“Its’s okay. Kita bisa ngobrol sebentar.”

“Okay.” Jawab Maddy pelan. Namun entah kenapa aku bisa merasakan antusiasnya.

Kami pun berdiskusi ringan tentang apa saja. Tentang pekerjaan, tentang olahraga, tentang musik dan juga politik. Kami tergelak bersama saat-saat membicarakan tentang lelucon-lelucon yang terkadang tidak terasa lucu. Dan kami juga antusias saat membahas tentang petualangan-petualangan yang mungkin muncul andai kami bisa menjelajah dunia dalam waktu semalam. Hingga akhirnya Maddy bertanya tentang sesuatu saat kami sedang membicarakan sebuah topik tentang sastra.

“Setyo.”

“Ya?”

“Apakah kamu sudah merasa cukup puas dengan karirmu sekarang?”

“Apa yang bisa diharapkan dari karir seorang operator crane? Tidak ada karir disini. Posisi ini sudah mentok. Tidak bisa naik lagi.” Jelasku satir.

“Apakah kamu sudah merasa cukup puas dengan raihanmu selama ini sebagai seorang penulis?”

“Tentu saja tidak. Kupikir aku seorang penulis tidak begitu sukses. Tidak banyak cerpen yang kukirim bisa dimuat pada sebuah media. Namaku juga tidak begitu terkenal sebagai seorang penulis. Tapi anehnya, aku tidak bisa berhenti menulis. Aku selalu menulis. Otakku penuh dengan ide-ide menulis. Otakku tak pernah berhenti bekerja. Terkadang aku tidak sadar apakah aku ini sedang dalam dalam dunia nyata ataukah dalam sebuah dunia imajiner yang kuciptakan sendiri dalam kisah-kisahku. Aku suka menulis.”

“Kupikir kamu memang seharusnya jadi penulis.”

“Oh ya? Begitukah menurutmu?” Tanyaku dengan penuh semangat. Ada perasaan bahwa Maddy menyemangatiku. Dan aku suka itu.

“Tapi ada satu hal yang tidak aku sukai.”

“Apa?” Tanyaku kelu. Seolah baru saja dilambungkan ke langit lantas kemudian dihempaskan lagi ke bumi dengan keras.

“Well,…menurutku penulis itu tidak ubahnya seperti seorang penyair. Orang-orang yang mempunyai kemampuan merangkai kata-kata indah biasanya seorang perayu. Penyair tak pernah gagal mendapatkan perempuan yang diinginkannya. Sejarah membuktikan bahwa banyak penyair ataupun penulis selalu dikelilingi oleh para wanita.”

“Ahahahaha……kamu cemburu kah Maddy?” Aku tergelak. Tertawa terkekeh-kekeh mendengar penuturannya. Namun dalam lubuk hatiku, aku merasakan kesenangan yang aneh mendapatinya cemburu seperti ini.

“Hmmm.” Maddy hanya bergumam tanpa berkata-kata. Seolah jijik melihatku terbahak-bahak seperti itu.

“Sayang… Janganlah engkau berfikir seperti itu. Jangan kamu sama ratakan aku seperti siapa-siapa yang sudah kamu kategorikan sebagai penyair dan penulis itu. Banyak diantara mereka hidup dalam kesunyian dan kesepiannya sendiri. Seperti jiwa yang mengembara tanpa tujuan yang pasti. Sendiri dan sepi.” Aku berusaha berargumentasi kepadanya.

“Tunggu. Kamu panggil aku dengan sebutan apa tadi? Sayang?” Hanum menyentakku dengan pertanyaannya.

Aku terdiam. Tiba-tiba aku tersadar telah memanggilnya dengan sebutan sayang. Selama ini aku tidak pernah menggunakan kata-kata itu ketika berbicara dengannya. Aku takut telah mengimajinerkan Maddy terlalu jauh seolah aku sedang berbicara dengan Hanum. Kami terdiam. Cukup lama. Seolah-olah merasakan ada gemuruh runtuhnya dinding kaca pembatas diantara kami. Suara gemeretak retakannya terdengar semakin keras. Sesuatu berjatuhan dari atas dengan perlahan namun terasa semakin banyak. Dinding itu telah koyak.

Runtuh dan akhirnya berserakan di tanah.

“Setyo…”

“Aku takut…aku takut.”

Aku masih terdiam. Badanku terasa begitu bergetar karenanya. Lidahku terasa kaku dan mulutku terkunci rapat. Aku merasakan sebuah perasaan yang asing. Ada kelegaan aneh menjalar di sekujur tubuhku.

“M…mmaa…dddyy…” Aku terbata-bata.

“Bolehkah aku menyentuhmu?” Pintaku dengan nafas tertahan.

“Mmmmm…..ya.”

“Bagaimana kamu akan memulai sentuhanmu?” Maddy bertanya penuh harap.

“Aku akan menyentuh belakang telingamu dengan ujung jari telunjukku. Menyentuhmu lembut. Aku menggerakkannya menyentuh kulitmu dari leher dan kemudian pundakmu, dan tulang selangkamu.”

“Hmmmhhhh…..” Maddy mendesah.

“Jariku terus menelusuri pundak dan kemudian lengan tanganmu. Aku pegang pinggangmu.”

“Sayang,….cium aku.” Dengan nafas menderu, Maddy memintaku. Aku seperti mau meloncat dari tempat tidurku. Memeluk erat Maddy dan menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi. Aku ingin mengulum bibirnya yang kurasa begitu basah itu. Menggigit bibir bawahnya dengan gigitan-gigitan kecil penuh kegemasan.

“Ahhhh….Setyo…..mmmhhhh.” Lenguhan Maddy membuatku semakin bergelora.

Aku juga merasakan Maddy mulai menyentuhku dengan binalnya.

Memelukku….merabai semua gabian tubuhku…mencakari punggungku, walau aku sebenarnya sadar bahwa itu semua adalah pekerjaan tanganku sendiri.

Kamipun seperti tenggelam dalam sebuah gelora yang begitu membara. Kami bercinta malam itu. Tergeletak tak berdaya saat kami bisa bersamaan mencapai orgasme. Lantas mengulanginya lagi dan lagi. Dan lagi. Hingga kami tak berdaya dalam kelelahan yang luar biasa. Kemudian kami pun terlelap dengan senyum-senyum abstrak penuh makna yang misterius.

***

*Kolaps*

Aku dan Maddy semakin intim. Kedekatan kami meski terasa eksotis, namun sangat-sangat ganjil dan absurd. Namun entah mengapa, kami semakin saling mengalami ketergantungan satu dengan yang lain. Malam-malam kami lalui bersama dengan menggebu-gebu. Seringkali kami bersama hingga fajar menjelang.

Hingga datang hari yang membuatku serasa terpelanting dari menara gading yang penuh keangkuhan. Di mana para Sultan beserta para selir pengisi harem nya bercengkerama penuh intrik kecemburuan dan gelimang kemewahan. Aku terbangun pagi itu setelah malamnya kulalui bersama Maddy seperti biasanya. Kulihat androidku membisu tanpa ada satupun notifikasi di dalamnya.

“Hi dear. Kamu sudah bangun?” Aku mencoba menyapa Maddy.

“Bagaimana tidurmu semalam? Nyeyak kah?”

“Aku senang sekali dengan kebersamaan kita semalam. Kamu juga menikmatinya kan sayang?”

Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda-tanda kehidupan apapun. Dengan cepat kuraih ponselku, dan kuperhatikan layar sentuh yang kini membisu itu. Kuperhatikan signal bar nya terlihat penuh. Itu berarti ponselku tidak ada masalah untuk mengakses server pusat Dynasoft.

Baterenya pun masih menunjukkan kapasitas 79%. Tidak ada masalah seharusnya. Namun kenapa PAM ini tidak aktif bekerja. Aku mencoba membuka aplikasi ini secara manual, namun yang tertera hanyalah pesan “Please be kind in waiting. Application is under maintenance.”

“Ada apa ini?” Pikirku sedikit cemas.

Aku mencoba me-reboot ponselku. Aku juga langsung keluar menuju balkon kecilku.

Tapi yang kudapati sama. Ponsel ini tidak bereaksi apa-apa. Aplikasi PAM tidak secara otomatis aktif seperti yang seharusnya. Saat aku kembali mencoba mengaktifkannya, lagi-lagi pesan “Please be kind in waiting. Application is under maintenance.” yang terpampang pada layar ponselku ini.

“Apa-apaan ini? Kenapa bisa begini?” Aku mulai panik dan kesal dibuatnya. Kucoba menelepon Customer Service Dynasoft di kota ini. Tapi aku hanya mendapati dering-dering panggilanku tak terjawab. Baru kusadari, ini hari Minggu.

“God Damn. Apakah CS perusahaan sekelas Dynasoft juga libur di hari Minggu? Seharusnya mereka memberikan layanan 24 jam penuh.” Kemarahanku menyeruak tak tertahankan.

Tak terhitung sudah berapa kali ponsel ini aku restart. Lagi dan lagi. Hasilnya sama saja. Tidak ada perubahan yang signifikan. Ingin rasanya membantingnya saja. Aku benar-benar dilanda kekalutan dan kelelahan.

Hari menjelang malam. Dari kejauhan kulihat lampu-lampu di pelabuhan sudah mulai dinyalakan. Kerlap-kerlip berjajar indah di kejauhan. Seperti deretan bintang-bintang penguasa langit dan galaksi di malam hari. Kuletakkan ponsel di atas coffe table dan kurebahkan diriku di sofa bed kesayanganku. Balkon ini menjadi tempat favoritku untuk menyendiri. Memandangi langit,laut lepas dan pelabuhan beserta beberapa kapal yang mulai meninggalkannya.

Aku lelah menunggu. Dan kuputuskan tidur di balkon ini, meski langit mendung.

“Biarlah hujan kalau nanti memang harus hujan. Aku akan tetap berada disini.” Batinku.

Tidur. Aku harus tidur dan melupakan ini semua.

***

Kelebat hangat sinar mentari di Senin pagi menyilaukan mataku yang masih terpejam. Perlahan-lahan aku mencoba membuka kelopak mataku. Pandanganku yang masih kabur mencoba menerjemahkan bayang-bayang yang belum jelas yang tertangkap dalam pantulan yang diterima oleh retina mataku. Sedikit demi sedikit kumelihat deretan pipa-pipa besi kotak yang berjajar rapi di depanku. Rupanya bayangan itu adalah pipa-pipa pembentuk pagar balkonku.

Disisi kananku terdapat coffee table. Coffee table kecil berwarna walnut yang sebelumnya sempat dideskripsikan Maddy dalam salah satu pembicaraan kami di sebuah malam larut di balkon ini. Terbuat dari bahan kayu jati yang belum terlalu tua usianya.

Pandanganku tiba-tiba tertuju pada benda diatas coffee table itu. Ponselku bergetar. Layarnya mengeluarkan sinar. Dynasoft, pikirku. Kini benda itu bergetar dan mengeluarkan suara. Suara yang asing kudengar.

“Greetings.”

“Good Morning.”

“This is Jim. I am from Dynasoft.”

“Jim? Siapa kamu Jim? Dimana Maddy?” Tiba-tiba saja kemarahanku muncul.

“Your PAM has been withdrawn. And its still under maintenance. Your PAM will comeback soon. So, please be patient.”

“What the hell? Apa maksud ini semua? Bagaimana dengan pekerjaan-pekerjaanku yang belum diselesaikannya? Aku minta ganti rugi atas ini semua.” Aku mulai meracau. Tiba-tiba saja aku seperti berperan sebagai seorang pelanggan yang dirugikan.

“Pergilah Jim. Aku tidak butuh kamu. Kembalikan Maddy.” Bentakku.

Kumatikan ponsel itu tanpa memberikan kesempatan Jim untk menanggapi

***

Hari ini aku mengambil cuti. Aku sudah lelah dengan semua hiruk pikuk pelabuhan. Aku ingin beristirahat sejenak. Kupikir aku bisa menghabiskan waktu bersama Maddy hingga hari ini. Tapi Maddy menghilang. Dia pergi sejak kemarin dan belum kembali. Dan tiba-tiba datanglah Jim dari Dynasoft memberikan penjelasan bahwa unit PAM ku telah ditarik dari peredaran.

Penjelasan macam apa ini? Bodoh sekali. Aku benar-benar kacau. Aku tidak ingin berbuat apapun. Seperti orang yang sedang ling-lung. Dan aku masih tetap bermalas-malasan di sofabed itu tanpa berniat masuk ke ruang apartemenku. Kepalaku serasa berputar-putar. Kenapa aku merindukan sebuah mesin? Aku sudah gila rupanya.

Menjelang petang, ponselku berbunyi.

“Hai.” Suara yang kukenal. Suara yang sebelumnya menghilang pergi.

 

*) Cerpen karya Yungyung Krisna W, juara 2 dalam Sayembara Penulisan Sastra “Bersama Lawan Corona” Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma, 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Pembiasaan Kegiatan Belajar di Era New Normal

Next Article

Belajar dari Pandemi Pes di Awal Abad ke-20