Belajar dari Pandemi Pes di Awal Abad ke-20

Pepatah Perancis berkata L’histoire se repete. Sejarah memiliki kecenderungan perulangan fenomena dalam wujud laten yang kerap tidak disadari manusia.


Datangnya pandemi corona di Indonesia menjadi pembuka tirai tahun 2020 yang tidak terbayangkan kala masyarakat bersuka cita dalam perayaan penutupan tahun 2019. Segala harapan dan permohonan yang serba baik digaungkan dalam hati melalui doa-doa agar bergulirnya tahun 2020 menjadi bagian dari perjalanan hidup yang semakin membaik dari kisah sebelumnya. Apa daya untuk sementara ini merebaknya corona memupuskan asa masyarakat dunia.

Nyaris tidak terdapat sektor kehidupan yang luput dari terjangan efek pandemi corona. Omzet penjualan para pedagang yang merosot tajam, industri perhotelan dan pariwisata yang lesu, dunia perfilman yang layu, agenda olahraga dan musik yang terhenti dan membuat para pelakunya bingung harus berbuat apa, hingga kegiatan pendidikan di sekolah dan kampus yang tidak berjalan seperti biasanya. Pandemi corona menyodorkan imbas yang luar biasa memukul masyarakat secara fisik dan psikis.

Angka pengidap corona yang semakin meningkat setiap harinya, pemetaan kawasan zona merah, hingga beredarnya opini teori konspirasi menjadi kombinasi rupa yang dilihat masyarakat dalam kurun waktu empat bulan ini. Tidak sedikit masyarakat yang menuding bahwa pemerintah tidak becus dalam upaya penanganan pandemi.

Di sisi lain, tidak sedikit fakta yang menyajikan abainya masyarakat terhadap aturan yang dikeluarkan pemerintah terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kewajiban mengenakan masker, dan kebiasaan untuk menjaga jarak. Adanya pandemi diklaim masyarakat sebagai hal yang mengherankan di tengah majunya teknologi, termasuk di bidang kesehatan. Hal ini yang kemudian memicu meletupnya prasangka dan seruan teori konspirasi yang digaungkan oleh public figure seperti Jerinx SID. Novel berjudul Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez seolah menggambarkan fenomena yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat.

Dalam novel tersebut sesungguhnya terdapat tokoh yang mencuri perhatian saya yakni Melquiades. Dikisahkan bahwa Melquiades berjalan berkeliling dari rumah ke rumah sambil menyeret dua batang logam, diiringi pandangan takjub para warga ketika menyaksikan panci dan kuali saling terguling dari tempat penyimpanannya. Balok-balok kayu berderit seakan tidak kuasa menahan paku dan baut yang akan tercerabut. Batang logam yang menggegerkan warga tersebut di masa kini kita kenal dengan magnet.

Korelasi antara cerita di atas dengan realitas masa kini menggambarkan betapa warga terlalu terkesima dengan adanya hal yang mereka anggap baru hingga membuyarkan fokus dalam berpikir jernih. Di belahan dunia yang lain di luar tempat dimana Melquiades berpijak, magnet telah cukup dikenal. Hal yang menjadi sorotan adalah para warga di lokasi Melquiades berada yang kurang menangkap perkembangan zaman dan tidak bersiap menghadapi berlangsungnya zaman baru yang diiringi oleh penggunaan magnet dalam kehidupan.

Sejarawan LIPI bernama Asvi Warman Adam pernah berujar bahwa Indonesia adalah negeri yang memiliki sejarah panjang, sayangnya manusianya justru banyak yang mengidap amnesia sejarah. Mata pelajaran sejarah yang mungkin pernah kita sepelekan ketika kita masih berstatus pelajar terbukti memberikan “pelajaran” yang tidak kalah penting setelah kita lulus dari sekolah. Meski tidak berwujud serupa, bangsa ini telah berulang kali menghadapi pandemi mulai dari pagebluk pes dan kolera di abad ke-18, abad ke-19, dan awal abad ke-20, hingga Spanish flu yang pernah merepotkan masyarakat Nusantara.

Sejarah kelam negeri ini saat pandemi pes menerjang seyogyanya dapat dijadikan sebagai cerminan berharga. Munculnya kasus penderita pes di Malang pada tahun 1910 awalnya diabaikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Rezim Belanda yang berkuasa cenderung menganggap sepele wabah penyakit baru bernama pes. Mereka berulang kali menyangkal terjangkitnya masyarakat oleh pes demi menjaga citra pemerintahan yang baik.

Penyangkalan yang dilakukan demi memperoleh penilaian positif di hadapan Ratu Wilhelmina berakibat fatal di kemudian hari. Pemerintah Belanda bahkan melakukan blunder besar ketika pulau Jawa mengalami defisit beras akibat banyaknya petani yang mengalami gagal panen. Pemerintah menyikapinya dengan mengimpor beras dari Burma yang ketika itu sebenarnya sedang dilanda pes. Tumpukan beras yang tiba dari Burma disimpan di gudang yang terletak di Malang.

Tanpa disadari oleh pemerintah Belanda, suhu dingin di Malang yang berkisar di angka 14-16 Celcius relatif cocok sebagai tempat merebaknya bakteri penyebab pes yakni Yersinia pestis. Bakteri tersebut menjalar pada kutu tikus sebagai inangnya dan merambah ke tikus lokal. Dari titik inilah wabah pagebluk pes menyebar.

Selain faktor kelalaian, faktor terlambat bereaksi juga ditunjukkan oleh pemerintah Belanda. Pemerintah baru bergegas menangani pes ketika pada bulan April 1911 terjadi lonjakan warga yang meninggal secara misterius. Reaksi yang nyata namun terbilang terlambat.

Hal yang membuat aspek pandemi pes ini semakin menunjukkan unsur kemiripan dengan pandemi corona adalah kebijakan karantina wilayah yang terbilang setengah hati. Walaupun korban jiwa akibat pandemi pes telah mencapai angka ribuan, pemerintah Belanda awalnya menolak menerapkan karantina wilayah alias lockdown atas nama urusan ekonomi.

Letak Malang yang strategis dalam peta perdagangan membuat pemerintah Belanda enggan menjalankan lockdown. Karantina wilayah baru dilaksanakan ketika dokter Belanda yang juga merupakan pimpinan Burgerlijke Geneeskundige Dienst (Dinas Kesehatan Sipil) bernama W.T. de Vogel menekan pemerintah berdasarkan Staatsblad 110 mengenai peraturan karantina kesehatan. Pandemi tersebut tercatat dalam sejarah sebagai fenomena sosial yang menimbulkan dampak dahsyat mengingat hampir 200.000 orang di pulau Jawa terjangkit pes dalam periode 1910-1939. 

Wabah, pandemi, dan pagebluk sejatinya tidak pernah menjadi hal yang benar-benar baru bagi masyarakat Indonesia. Dalam naskah Jangka Jayabaya dipaparkan bahwa datangnya Ratu Adil didahului dengan adanya malapetaka. Ketika kolera mengganas di abad ke-19 hingga awal abad ke-20, sebenarnya penyakit tersebut pernah melanda pulau Jawa pada abad ke-17. Hal ini dibuktikan dengan tewasnya Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen akibat menderita kolera. Dari sejarah pandemi yang pernah terjadi di Indonesia kita dapat berkaca apakah bangsa ini telah belajar dari sejarah atau belum. Sejarah dijadikan sebagai media refleksi dan pembelajaran agar tidak mengulangi hal buruk di masa sebelumnya. Pengalaman pahit dihantam pandemi sudah selayaknya menjadi alarm bagi kita di masa kini untuk lebih cermat dan bersikap bijak dalam menghadapi pandemi corona.

Mengacu pada pengalaman sejarah, setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dipertegas dalam upaya menghadapi pandemi corona. Pertama, memupuk kesadaran masyarakat perihal bahaya corona. Ketika tulisan ini dibuat, angka kasus positif corona di Indonesia mencapai 59.394 orang dengan korban jiwa meninggal dunia sebanyak 2.987 orang. Banyaknya pengidap corona ini seharusnya menyadarkan kita bahwa corona bukan merupakan penyakit yang dipandang remeh.

Meskipun demikian, realitas di lapangan menyajikan fenomena yang mengejutkan. Banyaknya masyarakat yang berkerumun saat penutupan gerai McD Sarinah, konser dangdut di Pamijahan (Bogor) dalam acara hajatan warga yang didatangi ribuan orang, hingga semakin populernya budaya bersepeda yang sayangnya kerap tidak dibarengi dengan kesadaran untuk menjaga jarak merupakan gambaran fakta betapa sikap ngeyel mendominasi masyarakat Indonesia. Jangan sampai ketika korban jiwa semakin meningkat drastis dan dampak pandemi ini semakin memukul berbagai sektor dengan lebih ganas, kita baru tersadar dan memamerkan narasi penyesalan. Melihat pengalaman pemerintah Belanda yang terlambat bereaksi, seharusnya kita pun tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama.

Kedua, pentingnya mematuhi aturan pemerintah dan memulainya dari diri sendiri. Ketika pandemi pes merebak di Malang, perilaku masyarakat yang tidak menjaga kebersihan area tempat tinggal turut andil dalam tingkat persebaran penyakit. Di masa pandemi corona ini, pentingnya memakai masker ketika beraktivitas dan rutin mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer menjadi salah satu kunci pemutus rantai pandemi yang dapat dimulai dari diri sendiri.

Upaya memperbaiki kondisi negara yang sedang limbung digoyang pandemi ini akan terasa lebih ringan jika masyarakat patuh dan menerapkan protokol kesehatan yang berlaku. Munculnya pikiran untuk sesekali melanggar peraturan hanya akan menjadi patron buruk bagi orang lain. Sekalipun dalam menangani pandemi corona ini negara terkadang melakukan kebijakan yang memicu dahi kita berkenyit, jangan sampai hal tersebut menjadi dalih pembenaran bagi kita untuk bertindak seenaknya sendiri.

Ketiga, perlunya berpikir jernih dalam menghadapi beragam informasi di era pandemi ini. Aneka narasi yang bertebaran di media sosial dan situs berita hendaknya disaring dengan bijak. Kepanikan yang muncul dan tingkat kesantaian yang berlebihan dipengaruhi oleh masifnya tingkat konsumsi informasi masyarakat melalui gawai yang rentan disusupi berita bohong. Sebaran penyakit dapat ditangkal apabila kita memiliki tingkat imunitas tubuh yang prima.

Baik buruknya aspek imunitas dalam diri manusia ini diantaranya juga ditentukan oleh positif tidaknya pikiran dimana keduanya saling berkorelasi. Hal ini mempertegas bunyi pepatah Latin yang berbunyi “mens sana in corpore sano”, yang berarti di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Kunci dalam menghadapi pandemi corona terletak pada penyikapan dari diri kita sendiri. Pengalaman sejarah yang terjadi di masa silam menjadi kisah pengingat agar kita tidak salah langkah. 

 

*) Esai karya Christianto Dedy Setyawan, juara 2 dalam Sayembara Penulisan Sastra “Bersama Lawan Corona” Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma, 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts