Feminisme: Perjalanan Panjang Melawan Stigma Menuju Kebebasan

Inti dari feminisme itu sendiri bukan hanya kesetaraan, melainkan kebebasan. Layaknya manusia, perempuan punya kebebasan untuk menyatakan pendapatnya.

Amira (bukan nama sebenarnya), mengunggah foto dirinya dan seorang teman yang sudah lama tidak ia temui di media sosialnya. Pada foto tersebut, dua perempuan ini tidak memakai pakaian yang terbuka, Amira memakai sweater turtle neck, sementara temannya memakai dress. Namun, di kolom komentar tetap saja ada orang yang mengomentari lekuk tubuh mereka, bahkan ada juga yang memberi komentar berbau seksual seperti, “aduh, nikmat bener mbak-mbaknya,” dan lain sebagainya yang akhirnya menjadi sebuah pelecehan verbal.

“Heran, sih, karena kita pakai baju juga biasa aja. Akhirnya cuma bisa block dan report aja orang-orang begitu. Meskipun kadang juga nggak membantu, karena mereka bisa aja bikin akun baru dan melakukan hal yang sama lagi,” ujar Amira.

Pengalaman lainnya diutarakan oleh Laila (bukan nama sebenarnya), ketika ia sedang berjalan pulang dari kantor. Waktu itu pukul delapan malam, ia baru saja keluar dari kantornya di daerah Jakarta Selatan dan berjalan kaki menuju stasiun MRT ketika ada dua laki-laki yang naik motor menepuk pantatnya dari belakang, lalu langsung kabur, ngebut dengan motornya.

“Kejadiannya udah beberapa tahun lalu, tapi masih merinding sampai sekarang. Waktu itu mau teriak juga gimana, kejadiannya cepet banget, ‘kan mereka naik motor langsung kabur. Aku sampai rumah nangis dan jujur sampai sekarang trauma banget jalan kaki,” tutur Laila.

Unsplash/Clem Onojeghuo

Sejak awal peradaban manusia, perempuan dan tubuhnya selalu diposisikan sebagai suatu objek dan diandaikan berada ‘di bawah’ laki-laki, sebagai ‘alat’ pemuas nafsu laki-laki belaka. Objektifikasi perempuan ini ada dan kemudian dianggap lumrah karena dampak dari budaya patriarki yang sudah mengakar dalam masyarakat.

Pelecehan-pelecehan terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat kita juga kerap kali menunjuk perempuan yang adalah korban sebagai pihak yang bersalah, bukannya pelaku.

“Makanya, kalau pulang jangan malam-malam.”

“Kalau pakai baju itu yang menutupi aurat, jangan yang mengundang (nafsu).”

Begitu kira-kira tanggapan orang-orang, ketika ada kasus pelecehan terhadap perempuan. 

Dalam hal ini, media juga memiliki peran dalam membangun stereotipe publik. Terutama framing media yang biasanya lebih menaruh perhatian kepada korban dibanding pelaku. Sayangnya, framing media juga seakan menyalahkan korban. Misalnya, menulis tentang jenis pakaian yang dikenakan korban atau lokasi di mana ia berjalan saat kejadian. Nyatanya, pelecehan seksual terhadap perempuan tidak pandang jenis pakaian dan lokasi.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019, lima teratas model pakaian yang dikenakan korban saat mengalami pelecehan adalah rok dan celana panjang (18%), hijab (17%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), dan baju longgar (14%).

Berkaitan dengan lokasi pelecehan, Koalisi Ruang Publik Aman kemudian memperbaharui data tersebut dan mengeluarkan hasil survei terbaru pada 2022 yang hasilnya mencakup:

  • Lima teratas lokasi yang paling banyak terjadi pelecehan seksual secara langsung adalah: ruang publik seperti jalanan umum atau taman (70%), kawasan pemukiman (26%), transportasi umum termasuk sarana dan prasarananya (23%), toko, mall, dan pusat perbelanjaan (14%) dan tempat kerja (12%).
  • Lima teratas ruang yang paling banyak terjadi pelecehan seksual secara online adalah: media sosial (42%), aplikasi chat (33%), aplikasi kencan daring (9%), ruang permainan virtual (4%), ruang diskusi virtual (2%).

Hari ini, masih sedikit sekali ruang aman bagi perempuan untuk mengekspresikan dirinya dan berbicara tanpa dihakimi. Jangankan melapor lantaran kasus pelecehan, ketika perempuan berbicara mengenai mimpi, keinginan, kebebasan, dan seksualitasnya saja, masyarakat akan berbondong-bondong ikut menghakimi.

    Perempuan berbicara, tetapi tidak didengar. Perempuan berbicara, tetapi tidak ada yang percaya. Perempuan boleh berbicara, asal tidak terlalu lantang.

    Banyak narasi lainnya yang akhirnya menjauhkan perempuan dari keberanian untuk berbicara karena adanya stigma yang terus menghantui perempuan dalam masyarakat.

    Dilansir dari Komnas Perempuan, tercatat sebanyak 338,496 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan sepanjang tahun 2022. Angka ini melonjak sebanyak 50% dari tahun 2021. Angka tersebut didapat dari pengaduan ke Komnas Perempuan sebanyak 3.838 kasus, lembaga layanan 7.029 kasus, dan BADILAG (Badan Peradilan Agama) 327.629 kasus. Tentu saja, masih begitu banyak kasus yang tidak tercatat dalam angka-angka tersebut lantaran masih minimnya akses terhadap ruang aman bagi korban untuk bercerita.

    Keberanian perempuan untuk berbicara, untuk mengekspresikan dirinya, kemudian dianggap sebagai hal yang buruk oleh masyarakat. Keberanian perempuan, adalah sesuatu yang subversif. Ketika perempuan berani berbicara dengan lantang, pada akhirnya masyarakat akan menyalahkan pengaruh feminisme.

    Padahal, inti dari feminisme itu sendiri bukan hanya kesetaraan, melainkan kebebasan. Layaknya manusia, perempuan punya kebebasan untuk menyatakan pendapatnya, bersuara pelan ataupun lantang, memakai baju dan riasan yang ia sukai, memiliki akses terhadap kesehatan reproduksinya, serta membela hak-hak atas tubuhnya sendiri.

    Tubuh perempuan bukanlah sekedar objek dan perempuan selalu punya pilihan!


    Editor: Michael Pandu Patria
    Foto sampul: Unsplash/Michelle Ding

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Related Posts