Awal maret lalu menjadi awal keterpurukan bagi bangsa Indonesia karena pandemi virus SARS-CoV2 yang menjadi biang penyakit Covid-19 merebak secara masif eksponensial. Virus tersebut sangat mudah menular kepada orang melalui sentuhan ataupun droplet yang terhirup manusia. Virus ini menyasar paru-paru untuk dijadikan tempat berkembang. Pemerintah Indonesia melalui laman covid19.go.id memaparkan data terkini per 1 April 2020 pasien postif Covid-19 mencapai 1.677. Total pasien sembuh 103 orang dan 157 pasien meninggal.
Kasus Covid-19 semakin hari semakin bertambah. Tentu penyebabnya tidak hanya satu-dua faktor. Mulai dari pemerintah pusat sampai masyarakat diperlukan kerja sama dalam upaya pencegahan penularan SARS-CoV2. Pemerintah pusat sebagai kepala dalam menentukan kebijakan seyogianya mempertimbangkan keselamatan warga negara. Dalam kasus kali ini, perekonomian Indonesia sudah pasti terguncang. Data yang diambil dari Bloomberg per 03 April menunjukkan pergerakan nilai tukar rupiah melemah ke level Rp16.495/US$.
Memang tidak dapat dipandang sebelah mata posisi nilai tukar rupiah hari ini. Posisi ini terburuk sejak 17 Juli 1998. Kala itu, rupiah menyentuh level terlemah Rp16.650/US$. Imbasnya jelas perekonomian Indonesia lesu. Tak menutup kemungkinan akan terjadi PHK besar-besaran dan tak sedikit wirausahawan gulung tikar.
Hal inilah yang kemudian dijadikan alasan untuk para perantau pulang kampung. Ditambah lagi dengan tidak adanya jaminan sosial oleh pemerintah pusat. Sebagian besar perantau pulang dari wilayah Jabodetabek. Padahal wilayah inilah yang banyak ditemukan kasus Covid-19. Khususnya Jakarta yang menjadi titik pusat penyebaran virus.
Masalah lain yang juga ikut memperpanjang rantai penularan SARS-CoV2 adalah stigmatisasi dan diskriminasi terhadap orang yang bersinggungan dengan Covid-19 seperti pasien dan para medis. Stigma akan membuat orang yang sebenarnya terinfeksi menjadi takut lantaran akan mendapat perlakuan negatif. Walhasil orang tersebut tidak memeriksakan diri dan menjalankan aktivitas seperti biasa. Dari sini, mata rantai akan terus berputar.
Baca juga: Mitigasi Bencana Mikroba Diperlukan
Dari sisi pemerintah, Achmad Yurianto yang ditunjuk sebagai Jubir Corona melakukan blunder atas pernyataannya dalam konferensi pers pada Jumat 7 Maret lalu. Dalam rangka pencegahan penularan virus, Yuri mengimbau agar orang kaya harus membantu orang miskin dan orang miskin juga membantu orang kaya agar tidak menularkan penyakit. Terlepas dari faktor eksternal, pernyataan Achmad Yurianto tentu berdampak negatif pada masyarakat yang terlanjur kecewa dengan penanganan pandemi oleh pemerintah pusat.
Beberapa masalah tersebut di atas menjadi wajah nyata bagaimana pemerintah menangani SARS-CoV2. Belum ditambah dengan masalah di tiap daerah seperti Tegal yang Wali Kotanya memutuskan untuk mengambil langkah isolasi wilayah. Jika tiap daerah bertindak tanpa mengikuti arahan pusat, dampak yang ditimbulkan akan sangat besar. Situasi ini dapat dibaca sebagai sebuah fenomena di mana masyarakat sampai tingkat pemerintah daerah berada dalam situasi panik. Akibat dari keputusan Wali Kota tersebut, beberapa warga melayangkan protes seputar pemasukan dan pasok logistik.
Lantas mengapa banyak daerah memutuskan untuk bergerak sendiri-sendiri seakan tidak ada arahan langsung dari atas?
Komunikasi, sosialisasi, dan informasi yang detail terkait Covid-19 kepada masyarakat di semua lapisan sampai yang sering tak terjamah di wilayah pedesaan dirasa masih sangat minim. Jika tetap seperti ini dengan tidak adanya langkah tegas, nyata, dan terarah dari pemerintah pusat, puncak pandemi akan terjadi tanggal 4 Juni dengan 11.318 kasus baru dan akumulasi kasus positif mencapai ratusan ribu kasus. Pandemi berakhir pada akhir Agustus hingga awal September. Data tersebut diambil dari hasil analisis Ikatan Alumni Departemen Matematika Universitas Indonesia dengan mengacu pada skenario 1.
Durasi pandemi SARS-CoV2 di Indonesia bersifat dinamis, dalam arti sangat bergantung pada kebijakan pemerintah pusat dan kedispilinan masyarakat dalam menerapkan pembatasan sosial dan pembatasan fisik. Bergeser ke skenario 3, puncak pandemi terjadi tanggal 16 April dengan 546 kasus baru dan akumulasi kasus positif mencapai 17.000 kasus. Pandemi berakhir pada akhir Mei hingga awal Juni. Skenario 3 inilah yang harus pemerintah pusat dan masyarakat usahakan. Inilah alasan mengapa penduduk di zona merah wajib untuk tidak mudik agar skenario 1 dan 2 dapat dicegah.
Baca juga: Perkara Bahasa dalam Penanganan Pandemi
Menyoal kasus-kasus di atas terkait tindakan inisiatif yang diambil masyarakat, hal ini dapat dikaitkan dengan pandangan masyarakat luas terhadap penanganan Covid-19 oleh pemerintah. Sebuah sistem analisis Drone Emprit melalui analisis berjudul Analisis Persepsi dan Emosi Publik Terhadap Penanganan #COVID19 Oleh Pemerintah (7-13 Maret 2020) ingin melihat opini publik tentang Covid-19, khususnya terkait pemerintah (daerah dan pusat). Keyword yang dipakai antar lain: pemerintah, indonesia, pemprov, gubernur, wali kota, kabupaten, propinsi, dengan filter: corona, virus, covid19, covid-19, coronavirus, viruscorona.
Hasilnya didapat total percakapan yang sesuai dengan setting data sebesar 368 ribu di twitter dan 36 ribu di media sosial. Lima akun media yang menjadi top influencer untuk topik ini diantaranya: @CNNIndonesia, @detikcom, dan @TirtoID. Dua top influencer berikutnya dari individual, yakni @whtvrcrzy dan @dirgarambe. Kemudian instrumen yang digunakan untuk menganalisis emosi publik adalah model dari Plutchik’s Wheel of Emotions. Menurut model ini, emosi bisa dibagi delapan: joy, trust, fear, surprise, sadness, disgust, anger, dan anticipation.
Dari model tersebut, secara aggregate, emosi yang paling dominan selama 7-13 Maret adalah Trust, Surprise, Anticipation, Fear, Anger. Trust menempati urutan pertama dengan dua jenis trust, yaitu percaya kepada pemerintah dan tidak percaya dengan pemerintah. Transparansi data menimbulkan kepercayaan publik, sebaliknya sikap tidak transparan menimbulkan distrust. Ditambah dengan cara penanganan yang kurang meyakinkan bagi publik, akan semakin menimbulkan ketidakpercayaan. Dari masalah distrust akan berujung ke ketakutan (fear).
Dari hasil analisis tersebut, dapat dimaklumi jika penduduk perantau khususnya di wilayah Jabodetabek lebih memilih untuk pulang ke kampung halaman karena sekali lagi penanganan yang tidak meyakinkan ditambah situasi yang tampak tidak terkendali membuat penduduk takut dan panik.
Berbicara mengenai solusi dalam menangani penyebaran SARS-CoV2 setelah satu bulan merebak secara masif eksponensial mungkin terasa usang. Dapat dikatakan sangat terlambat tindakan pemerintah dalam menanggulangi virus ini. Masyarakat pun banyak yang mengambil tindakan inisiatif baik perseorangan ataupun kolektif. Solidaritas masyarakatlah yang membuat rantai penyebaran virus ini berkurang. Namun tak sedikit pula masyarakat yang masih dilanda ketakutan dan kepanikan. Kurangnya literasi mitigasi dalam memahami rantai penyebaran virus pun menjadi persoalan tersendiri.
Baca juga: Trickle Down Effect, Pandemi, dan Ambiguitas Pemerintah
Pemerintah pusat lalai bahwa keterampilan berbahasa tiap individu itu berbeda. Keterampilan berbahasa sendiri dibagi menjadi empat, antara lain: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Jika membandingkan masyarakat desa dengan masyarakat kota tentu terdapat perbedaan dalam hal edukasi. Masyarakat desa yang jarang mendapat pendidikan formal akan berbeda dalam memahami pandemi SARS-CoV2. Terlebih akademisi yang berangkat dari desa kerap kali lebih memilih tinggal di kota-kota besar. Konsentrasi akademisi di kota besar inilah yang membuat desa kehilangan tenaga untuk membangun desa khususnya dalam bidang pendidikan.
Dalam disiplin linguistic, dikenal istilah register yang dapat diartikan dengan variasi bahasa berdasarkan domain. Mudahnya domain radio mempunyai istilah kata yang berbeda atau kontras dengan domain sosial media. Register digunakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, tingkat keformalan, dan media penggunanya. Register menjadi salah satu unsur dalam keterampilan berbahasa.
Pemerintah haruslah memahami hal ini. Dalam beberapa kesempatan kerap kali pemerintah menggunakan variasi bahasa yang sulit. Masyarakat kebingungan dengan istilah-istilah hukum atau campur kode bahasa Inggris yang digunakan kala konferensi pers, seperti: pembatasan sosial (social distancing), pembatasan fisik (phisycal distancing), dan pembatasan sosial skala besar dengan diikuti darurat sipil.
Pemerintah dapat menggandeng ahli bahasa atau linguis dalam upaya menyampaikan informasi penting. Hal ini sangat penting guna mencapai pemahaman masyarakat secara lebih luas. Jubir, Achmad Yurianto yang tidak mempunyai latar belakang bahasa jelas akan kesulitan untuk menyampaikan informasi secara maraton terlebih tidak adanya pendamping lain sebagai juru bicara. Berkutat dengan data dan angka tiap harinya jelas menguras tenaga dan pikiran. Hal ini dapat menjadi pemicu kesalahan berbahasa ketika konferensi pers.
Hasilnya dapat dilihat ketika Achmad Yurianto menyinggung strata sosial masyarakat, salah satu hal yang paling sensitif di Indonesia. Benar saja, ia menutup pidato ketika konferensi pers dengan kesimpulan yang membuat masyarakat marah. Meski kemudian ia membuat klarifikasi atas pernyataannya tersebut, masyarakat terlanjur marah dan kecewa (baca: konferensi pers kaya-miskin Achmad Yurianto).
Baca juga: Menjadi Guru di Tengah Pandemi Covid-19
Pemerintah pusat juga harus selektif dalam berujar. Jangan menebar narasi yang tidak logis. Narasi seperti makan nasi kucing, minum jamu dapat menangkal corona pun harus dienyahkan. Berikan hasil ilmiah menggunakan bahasa sederhana. Ketika narasi mitos ditebar, media sosial sebagai arena dijadikan tempat berebut narasi untuk kemudian dijadikan berita. Semakin banyak media memberitakan narasi nonsense, semakin kuat pula keyakinan masyarakat dalam menerapkan hal tersebut karena memang tidak ada landasan ilmiahnya dalam menangkal corona. Hal-hal tersebut di atas akan menyebabkan distrust yang berujung pada fear.
Tak dapat disangkal bahwa media punya power besar dalam upaya mengedukasi masyarakat saat ini. Media sebagai corong menyampaikan fakta di masyarakat haruslah diberikan data seluas-luasnya. Pemerintah tidak boleh menutup data ataupun menolak untuk diwawancarai. Jika media hanya mendapatkan data yang kurang lengkap, maka jelas jurnalisnya akan kesulitan dalam memenuhi unsur 5W+1H, yang terjadi jurnalis hanya bermain bahasa agar berita yang diterbitkan seolah-olah lengkap. Imbasnya masyarakat akan semakin bingung dalam update informasi terkait penanganan Covid-19.
Ketidakmungkinan terjun langsung ke masyarakat dalam upaya sosialisasi dan edukasi membuat pemerintah pusat harus memutar otak mencari solusi alternatif namun efektif. Televisi dan radio disamping media sosial dapat menjadi amunisi untuk mengedukasi masyarakat. Akan tetapi, sekali lagi penggunaan bahasa harus diperhatikan. Kecermatan pemilihan kata dan penggunaan alih kode atau campur kode jika dimungkinkan.
Pemerintah melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat bekerja sama untuk mensosialisasikan langkah edukatif pencegahan corona melalui bentuk visual di televisi. Visual yang dikombinasikan dengan bahasa dapat menjadi sarana jitu edukasi. Televisi juga akan lebih menyasar banyak daerah yang tidak terjangkau akses internet.
Jika memungkinkan pemerintah pusat menggandeng pemerintah daerah untuk melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah. Pemerintah bisa membungkusnya secara interaktif sesuai dengan kultur adat masyarakat. Penerimaan informasi pun akan lebih mudah karena masyarakat tidak merasa dipaksa. Dengan kesadaran, mereka akan menerima.
Tayangan edukatif ini harus dilakukan secara sistematis, masif, dan terstruktur. Usahakan serentak dalam beberapa menit ke depan. Karena ketika tidak serentak, masyarakat akan mengganti dengan saluran lain. Hal ini harus dilakukan terus menerus selama penanganan SARS-CoV2 oleh pemerintah pusat.
Pemerintah pusat dapat mencontoh langkah yang diambil pemerintah Yogyakarta dalam mensosialisasikan pencegahan Covid-19. Dalam pidato dengan judul Sapa Aruh, Sultan Hamengku Buwono X dapat membumikan gerakan lawan corona. Sultan kerap menggunakan campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Masyarakat Yogyakarta yang kental dengan budaya Jawa dengan menganut sistem kerajaan akan mudah menerima informasi terlebih yang menyampaikan adalah rajanya. Hal ini merupakan contoh nyata penggunaan register dalam penanganan Covid-19.
Sekali lagi pemerintah pusat sangat mempunyai power dalam mengedukasi masyarakat yang berujung pada pemahaman yang komprehensif terkait pencegahan Covid-19. Dari sini, rantai penyebaran virus dapat ditekan serendah mungkin. Skenario 3 pun bukan sekadar khayalan. Puncak pandemi akan terjadi tanggal 16 April dan berakhir pada akhir Mei – awal Juni. Perekonomian Indonesia pun tidak akan terlalu terpuruk.
Satu hal yang tak kalah penting, berikan apresiasi kepada mereka yang telah berjuang di lapangan. Baik dari kalangan para medis, relawan sosial, dan masyarakat sipil lain yang bersinggungan langsung dalam upaya pencegahan Covid-19. Melalui apresiasi, secara psikis, masyarakat akan merasa negara hadir dan ikut berjuang bersama dalam upaya penanganan SARS-CoV2. Masyarakat akan lebih mudah diajak bekerja sama. Rantai penularan virus pun akan terputus. Pemulihan situasi dan kondisi bangsa akan lebih cepat. Roda perekonomian akan bergerak kembali.
Daftar Referensi:
https://pers.droneemprit.id/analisis/
https://www.instagram.com/ilunimathui/
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52082427
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/
https://bisnis.tempo.co/read/1322248/nilai-tukar-rupiah-anjlok-ini-bedanya-dengan-krisis-1998
Kompas, Selasa, 31 Maret 2020 “Bersiap Hadapi Kemungkinan Terburuk” oleh Ahmad Arif, hlm. 8
Setiawan, Lorensius Eko. 2017. Register Dalam Dunia Penyiaran Radio. Sintesis. 12(2): 108-125
Editor: Endy Langobelen