Boleh percaya atau tidak, sekolah berdasarkan akar katanya berarti waktu luang. Skhole, scola, atau scolae dalam bahasa Latin berarti waktu senggang. Meskipun demikian, kita bisa sama-sama sepakat sekolah (dan guru) justru yang paling bertanggung jawab merampas waktu kita. Belakangan, akibat dari Covid-19 sekolah kembali ke kata asalnya, tetapi ternyata menyisakan masalah juga.
Pada umumnya sekolah sudah menerapkan belajar di rumah sejak pertengahan bulan Maret 2020. Setelah tiga pekan, masalah yang datang mulai dapat diurai, tetapi belum sepenuhnya dirapikan. Guru dengan sigap mengubah cara ajar dan mengerahkan daya upayanya menyesuaikan materi dengan keadaan, sebaik-baiknya.
“Setiap hari hanya ada dua mata pelajaran, satu mata pelajaran berdurasi 90 menit,” ujar seorang guru SMA swasta di Tangerang Selatan, Anindya Putrie. Jadwal tersebut berlaku selama dua minggu dan akan selalu diperbaharui.
Urusan cara dan sarana, para pengajar dibebaskan untuk memilih sendiri pirantinya. Putrie sendiri merasa lebih efektif menggunakan Google Classroom. Lima guru yang saya wawancarai sepakat dengan itu. Setelahnya baru disusul aplikasi macam WhatApps, TeamLink, Quizizz, Google Hangout dan Zoom.
Sekadar informasi, mengutip Business Insider, Eric Yuan CEO dari perusahaan video konferensi Zoom dikabarkan mengantongi kekayaan sebesar Rp64 Triliun selama tiga bulan terakhir. Terhitung pengguna Zoom pada akhir Desember 2019 sekitar 10 juta, sedangkan kini angkanya melesat jadi 200 juta pengguna per hari. Zoom jadi popular di tengah seruan Work From Home (WFH).
Tersedianya aplikasi video konferensi nyatanya tidak membuat tugas para guru selesai. Lucia Erline guru bahasa Indonesia SMA di Jakarta Barat mengatakan, lebih nyaman dan efektif melakukan pengajaran dengan tatap muka. Banyaknya peserta didik membuat ia kesulitan memantau jalannya pelajaran.
Segendang sepenarian, Maria Frederica seorang guru SMA di Surabaya mengeluhkan hal yang sama. Ia harus bekerja lebih keras untuk membalas chat personal dari siswa yang bertanya seputar tugas yang diberikan.
Ternyata melakukan proses belajar tatap muka di kelas tidak dapat digantikan begitu saja. Dalam menghadapi situasi macam ini guru lantas memodifikasi bahan ajar yang mereka punya. Dus, peserta didik di rumah tetap mampu mengikuti bahan ajar dan syukur-syukur materi bisa terkejar sampai akhir semester.
“Guru sangat dituntut untuk kreatif agar anak tidak merasa bosan dan terbebani dengan tugas,” ujar Wulan Wahyuni, seorang guru Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Timur. Sebagai guru SD, dia beradaptasi dengan mengganti materi jadi kegiatan yang mengasah lifeskill. Bersama keluarga, peserta didik diminta untuk bercocok tanam, menari, dan berolahraga.
Dalam situasi seperti ini guru bukan satu-satunya penentu efektifnya proses belajar. Di balik itu perlu adanya dukungan orang tua. “Orang tua harus mendampingi anak-anak karena pembelajaran ini berbasis daring. Sangat riskan untuk anak mengoperasikan gawai,” lanjut Wulan Wahyuni.
Namun, nyatanya orang tua juga kadang kewalahan menghadapi anaknya sendiri. Belajar di rumah jelas membuat konsentrasi anak tidak fokus. Atau, sering kali jadi tidak niat. “Keluhan orang tua biasanya anak jadi susah bangun dan malas, tetapi guru Bimbingan Konseling (BK) terus berkomunikasi dengan orang tua untuk menanyakan keadaan siswa,” ujar Christofora Rosaline, seorang guru SMA di Surabaya.
Dia menambahkan, dengan proses seperti ini efektifitas proses belajar hanya sekitar 40%. Sebagai guru, dia kesulitan juga memberikan motivasi belajar via layar kaca. Ini diamini juga oleh guru-guru lainnya.
Jadi seorang guru memiliki jalan sunyinya sendiri. Alih-alih menyerah, mereka selalu penuh akal menghadapi kuldesak. Materi yang sudah disiapkan sejak awal semester dirombak, dimodifikasi, dan disesuaikan dengan keadaan. Kamera gawai jadi lebih sering digunakan. Internet dipancar pagi ketemu pagi. Jempol tangan jadi kebas dan mati rasa. Sekolah juga dibersihkan dan disterilisasi.
Tidak ada yang mau berada dalam kondisi ini lebih lama. Para guru tentu punya ancang-ancang, tapi tentu tidak selamanya. “Lakukan sebaik yang kita bisa saja. Ini juga demi kebaikan bersama,” tutup Lucia Erline.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Lucia Erline