Delegasi dari “Normal yang Baru” Album Jalan Enam Tiga ERK

Jalan Enam Tiga
(Foto: Medcom.id/Cecylia Rura)

Jalan Enam Tiga adalah mini album atau Extended Play (EP) dari Efek Rumah Kaca, band indie asal Jakarta yang saat ini digawangi Cholil Mahmud pada vokal dan gitar, Poppie Airil pada bas, dan Akbar Agus Sudibyo pada drum. Efek Rumah Kaca meluncurkan EP tersebut pada Selasa (28/01/2020) di ruang kreatif M Bloc Space, Jakarta Selatan dan tercatat ada jeda sekitar lima tahun dari album sebelumnya, yakni Sinestesia yang rilis pada tanggal 18 Desember 2015 silam.

Jalan Enam Tiga menghadirkan empat lagu, di antaranya “Tiba-Tiba Batu”, “Normal yang Baru”, “Jalan Enam Tiga”, dan “Palung Mariana” dengan durasi total sekitar 15 menit. Meski lagu “Jalan Enam Tiga” dijadikan sebagai judul mini album terbaru Efek Rumah Kaca, lagu utama dari mini album ini sebenarnya adalah lagu yang berjudul “Normal yang Baru”. Bukan tanpa sebab, Efek Rumah Kaca memilih lagu “Normal yang Baru” menjadi lagu utama karena konteks dari lagu tersebut sangat relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.

Nama album Jalan Enam Tiga pun sesungguhnya berasal dari pengalaman Cholil Mahmud dan istrinya selama lima tahun di New York, Amerika. Diambilnya nama album tersebut kebetulan terinspirasi dari Sesame Street yang merupakan tontonan untuk anak-anak dan bersifat mengedukasi. Sesame Street diresmikan menjadi nama jalan ikonik di New York.

Awal lirik yang disajikan, “Kabar miring yang kita biarkan, lurus dengan sendirinya, kebenaran yang diamini, benar dengan sendirinya, karena kita biarkan, jadi normal yang baru”. Kabar miring yang dimaksudkan di dalam lirik lagu ini adalah kabar hoaks. Sudah tidak asing lagi jika kabar hoaks telah melanglang buana di media sosial.

Hoaks sendiri menurut KBBI berarti informasi bohong. Kebohongan dapat terbentuk dari ruang lingkup atau lingkaran kecil manusia yakni dalam keluarga, seperti upaya penyelamatan diri dengan menyampaikan sesuatu kejadian secara tidak lengkap dan cenderung menambahkan fantasi pribadi dalam kejadian agar menimbulkan sensasi (sebagai kasus anak cerita ke orang tua agar mereka tidak kena marah). Lambat laun hal itu menjadi budaya yang mendarah daging.

Dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia, Laras Sekarasih, PhD, mengatakan hoaks bisa terjadi karena dua faktor. Pertama, kondisi seseorang yang tidak menyukai atau tidak setuju akan suatu hal. Seseorang yang kemudian mendapat informasi yang sejurus dengan ketidaksukaan atau ketidaksetujuan dari apa yang diyakini cenderung langsung mudah percaya tanpa adanya verifikasi terhadap berita yang didapat. Kedua, kondisi seseorang yang sangat pro atau terlalu suka akan sesuatu, cenderung berkurang keinginannya dalam verifikasi informasi tersebut karena telah yakin apa yang disampaikan juga sudah baik.

Laras juga menambahkan, kurangnya pengetahuan menjadi faktor dari penyebaran hoaks atau jebakan dalam masuknya kabar hoaks tersebut. Sebagai contoh adanya broadcast message di grup media sosial yang mengajak untuk mendaftarkan diri dalam suatu acara dan kita sebagai pembaca hanya langsung mendaftar tanpa mengetahui informasi dari acara yang dimaksud.

Budaya penyelamatan diri tak berhenti bagi individu, namun berkembang kepada suatu kelompok atau yang punya kuasa. Apalagi masa kini teknologi sudah menjadi kebutuhan khalayak dan celakanya belum ada penyaring atau pendeteksi kabar hoaks. Tombol share dalam media sosial menjadi vital karena itulah peran kita dalam melanjutkan “kebenaran”; perlu dorongan dari diri sendiri untuk menelaah kabar yang diterima. Sia-sia juga kita sebagai manusia susila terpelajar tidak memiliki daya juang hanya untuk membaca kabar.

Dilansir dari Media Indonesia tanggal 11 Maret 2019, Masayarakat Telematika Indonesia (Mastel) melakukan survei tentang berita hoaks untuk melihat respons masyarakat tentang penyebaran berita dan dampak bagi kehidupan berbangsa. Sekitar 61,5% responden menyatakan kalau sangat terganggu dan jumlah itu mulai meningkat dari periode 2017 yang sekitar 43,5 % dan memiliki sebab-akibat. Penyebaran kabar hoaks disebabkan oleh adanya faktor kampanye hitam, kepentingan bisnis, dan akibatnya menghambat pembangunan serta mengganggu kerukunan masyarakat.

Dampak lain dari kabar hoaks adalah menimbulkan efek trauma psikologis berupa rasa cemas, takut, atau gelisah kepada orang lain di lingkungan sekitar. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap orang lain. Padahal kita tahu kodrat kita sebagai manusia adalah makhluk sosial, kita memerlukan orang lain untuk melanjutkan kehidupan kita.

Nilai-nilai kejujuran sebenarnya sudah kita dapatkan sejak kecil, saat-saat moralitas disuapi oleh orang tua atau tetangga atau mungkin langsung dari suatu lingkungan. Lalu apa yang membuat moralitas menjadi normal, nilai, pegangan, bahkan haluan yang baru dalam masyarakat saat ini?

Efek Rumah Kaca merupakan band yang dikenal dengan mengusung kritik pada setiap lagunya, seperti contoh “Cinta Melulu”. Makna dari lagu tersebut adalah kritik pada perusahaan rekaman besar yang selalu mengedepankan lagu-lagu bertema cinta dengan substansi yang bisa dibilang standar, baik makna lirik atau aransemen musiknya.

Ada juga “Jalang” yang bisa menceritakan dua fenomena sosial di Indonesia, yakni tentang Orde Baru yang membungkam kita untuk melawan dan bisa juga merujuk kepada organisasi masyarakat yang merasa sebagai “pemilik” Indonesia sehingga apa yang dirasa tidak sejalan dengan pola pikirnya akan ditindak lanjut dengan bebas. Mereka bertindak seolah-olah Indonesia adalah milik nenek moyangnya semata.

Kembali kepada “Normal yang Baru”, apakah lirik “Kita amat sibuk, teramat sibuk, biar saja jadi normal yang baru. Kita amat sibuk, teramat sibuk, biar saja jadi nilai yang baru” yang diulang sampai habis hingga terdengar seperti mantra menghipnotis kita menghadapi ketidakbenaran di depan mata? Selamat refleksi.

 

Editor: Endy Langobelen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article
Politik bahasa

Politik Bahasa: Masyarakat di Antara Kepanikan dan Literasi Mitigasi

Next Article
Sudah Gebuk Ditimpa Pagebluk

Sudah Gebuk Ditimpa Pagebluk; Kumpulan Puisi Leonardus Ardi Agung Prasetyo Nugraha

Related Posts