Dari Altar Turun ke Pasar hingga Papua

Gereja Katolik Indonesia sudah selayaknya belajar bahwa dialog di balik meja tak akan menyelamatkan siapa-siapa, khususnya orang-orang di Papua. Suara-suara keselamatan selalu dikumandangkan dari tempat-tempat yang paling hina, bukan dari gedung-gedung pertemuan yang menjadi tahta cendekiawan.


Sepasang suami istri berjalan menelusuri kampung halamannya. Hari sudah larut malam tetapi mereka belum menemukan tempat penginapan. Padahal, mereka datang dari kota yang jauh dan sang istri sedang hamil tua. Berbagai penolakan saat mencari tempat menginap membuat sepasang suami istri itu terpaksa beristirahat di kandang domba.

Siapa sangka, di kandang yang kotor dan bau itu sang istri justru harus melahirkan anak pertamanya. Suka cita atas kelahiran anak pertama tentu menghapus susahnya mencari tempat bermalam setelah melakukan perjalanan jauh. Belum lagi muncul tiga orang asing yang membawa persembahan mur dan minyak wangi.

Sayangnya penderitaan mereka tak berakhir sampai di situ. Setelah ini, mereka harus melarikan diri jauh ke negeri seberang supaya anak mereka tak dibunuh oleh raja penguasa bernama Herodes. Kabarnya raja itu takut jika sang anak, yang kelak dikenal sebagai Yesus, akan mengguling dirinya dari tahta yang dicintainya.

Ribuan tahun berlalu, sosok Yesus kembali mengalami penolakan dan keterasingan. Pedihnya, sosok itu tak hanya ditolak oleh para pemilik penginapan dan Raja Herodes. Kali ini rasa-rasanya tiga orang majus, ayah, dan ibunya ikut menolak dan mengasingkan sosok yang terlahir di kandang domba.

Siapakah sosok Yesus yang dimaksud? Sosok itu hadir pada diri 147 pastor yang pada 10 Desember lalu menyuarakan protes atas ketidakadilan dan praktik kekerasan yang terjadi di Papua. Lantas siapakah yang jadi tiga orang majus, ayah, dan ibu Yesus? Mereka adalah Gereja Katolik Indonesia, yang diwakilkan oleh Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang dinilai telah abai pada konflik kemanusiaan di Indonesia, khususnya Papua, baik yang berbau agama maupun tidak.

Dialog dan Politik Keprihatinan

Membahas protes 147 pastor di Papua tak bisa dilepaskan dari peran Gereja dalam dunia politik Indonesia. Rahardi dalam tulisannya di Majalah HIDUP, 12 Juli 2009, menuliskan bahwa politik Gereja Katolik adalah politik yang tidak memiliki orientasi pada kekuasaan (Wilhelmus, 2010). Alih-alih mengincar kesempatan untuk berkuasa, politik yang dilakukan oleh Gereja bergerak dalam semangat hati nurani, dialog, dan pelayanan untuk kebaikan orang banyak.

Dari tiga semangat itu, yang tersisa kini hanyalah dialog. Obrolan-obrolan di balik meja tampaknya menjadi andalan Gereja Katolik Indonesia dalam melakukan manuver politik. Termasuk dalam memberikan tanggapan atas banyak kasus di Papua.

Misalnya saat KWI memediasi pertemuan Mgr. Aloysius Murwito dari Keuskupan Agats dan Mgr. Petrus Canisius Mandagi dari Keuskupan Amboina sekaligus Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke, dengan Menkopolhukam Mahfud MD pada awal November lalu. Pertemuan itu membahas perihal kekerasan di Papua, khususnya setelah timbul dugaan keterlibatan TNI dalam penembakan seorang katekis Katolik dari Paroki Bilogai, Rufinus Tigau, pada 26 Oktober 2020.

Dalam pertemuan itu, Mgr. Mandagi menyampaikan keprihatinannya terhadap berbagai peristiwa kekerasan di Papua. Masih dalam artikel yang sama, Mgr. Mandagi meminta semua pihak, termasuk aparat, menghentikan kekerasan di Papua. “Kami ingin Papua menjadi tanah penuh cinta, bukan zona perang,” kata dia.

Sayangnya dialog tak memenangkan perang melawan kekerasan. Seruan KWI atas peristiwa kekerasan di Papua berakhir sebagai bentuk keprihatinan belaka. Rilis jumpa pers 147 pastor di Papua menyatakan bahwa TNI dan Polri tetap meneruskan operasi gabungan di Papua meski Gereja Katolik Indonesia telah berusaha melakukan dialog.

Inilah politik prihatin ala Gereja Katolik Indonesia. Gereja tak ubahnya dengan orang-orang yang melihat peristiwa kekerasan di jalan, merekam, sambil berteriak prihatin tanpa bisa berbuat apa-apa. Sesudahnya, rekaman itu hanya akan menjadi sebuah memori dalam galeri di smartphone yang terlupakan oleh foto dan video lain.

Dialog yang dilakukan oleh Gereja Katolik Indonesia pada akhirnya hanya menjadi bentuk diam 4.0 alias diam termutakhir. Obrolan-obrolan di balik meja bersuara sangat keras, tapi gemanya tak merambat ke luar. Siapakah yang jadi korban? Umat yang sepenuhnya bersandar pada Gereja.

Loyalitas Semu

Penolakan dan alienasi yang dialami oleh Gereja Katolik Papua, khususnya masyarakat Papua, umumnya semakin menjadi setelah muncul seruan dari Romo Franz Magnis-Suseno dalam tulisannya di Majalah HIDUP, 13 Desember 2020, dengan judul “Kita dan HRS”. Dalam tulisannya, Romo Magnis menggarisbawahi bahwa umat Katolik adalah pihak yang bisa diandalkan oleh pemerintah soal kesetiaan. 

“Dan satu hal mesti jelas: pemerintah dapat mengandalkan loyalitas kita (umat Katolik),” begitu bunyi tulisan Romo Magnis. Romo Magnis memang menambahkan bahwa umat Katolik perlu juga kritis pada pemerintah, tapi anjurannya sikap kritis itu dikeluarkan kadang-kadang saja. Tulisan Romo Magnis memang tidak secara khusus mengarah pada persoalan Papua. Namun, bukankah pemerintah yang dimaksud oleh Romo Magnis adalah pemerintah yang sama yang memerintahkan operasi militer di Papua?

Kesetiaan pada pemerintah memang seharusnya tidak dipandang dalam koridor hitam dan putih. Mendukung pemerintah di satu hal tidak berarti mendukung di hal yang lain. Hanya saja, narasi yang disampaikan Romo Magnis justru memperjelas hitam dan putih dalam dukungan itu.

Sebisa-bisanya dan sebaik-baiknya umat Katolik harus mendukung pemerintah. Loyalitas itu jadi harga mati yang layak diperjuangkan, semata-mata demi menghindari perpecahan bangsa. Yang terlupa, loyalitas itu semu belaka. Loyalitas yang membabi buta seakan-akan tak melihat sejauh apa penolakan dan pengasingan yang sudah dialami oleh rakyat Papua akibat ulah pemerintah.

Hanya dengan mundur dua tahun ke belakang, kita bisa menginventarisasi banyak tindak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang harus dialami rakyat Papua. Penderitaan itu dialami oleh orang Papua maupun orang non-Papua yang tinggal di Papua.

Mulai dari penembakan karyawan PT Istaka Karya pada 2 Desember 2018, ujaran rasisme pada mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang – yang juga dilakukan oleh aparat – pada 2019 silam, hingga penembakan tokoh-tokoh agama oleh oknum aparat keamanan dari tim gabungan TNI-Polri di sepanjang 2020. Dalam hal ini, lagi-lagi umat menjadi pihak yang kalah.

Teologi Pembebasan

Pada akhirnya yang tersisa adalah gagasan-gagasan Teologi Pembebasan yang subur berkembang di negara-negara Amerika Latin. Gagasan Teologi Pembebasan, dengan semangat berpihak pada kaum papa, menjadi ajakan paling nyata bagi kaum klerus Indonesia untuk sejenak turun dari altarnya.

Kiranya Gereja Katolik Indonesia bisa berefleksi dari kisah Santo Oscar Romero, Uskup Agung El Salvador, seorang tokoh Teologi Pembebasan dari Amerika Tengah. Brian Maye dalam tulisannya di The Irish Time, menunjukkan bahwa Uskup Romero pada awalnya adalah sosok yang pesimis pada gerakan Teologi Pembebasan. Uskup Romero percaya pada gagasan Teologi Pembebasan, namun terbatas pada aspek spiritual dan bukan material.

Sikap pesimis Uskup Romero pada aksi dan gerakan yang diusung Teologi Pembebasan tercermin dari dua kredonya yang selalu diulang-ulang: “the most profound social revolution is the serious, supernatural, interior reform of a Christian” dan “the liberation of Christ and His Church is not reduced to the dimension of a purely temporal project”. Dua kalimat itu juga memperjelas latar belakang Uskup Romero sebagai sosok imam konservatif yang menghidupi tradisi Opus Dei.

Sikap yang seolah-olah anti Teologi Pembebasan itu bertahan hingga suatu ketika sahabat Uskup Romero, Rutilio Grande yang juga merupakan seorang pastor Jesuit, dibunuh oleh junta militer pada 12 Maret 1977. Pembunuhan itu membuat Uskup Romero berbalik arah dan mendukung sepenuhnya gerakan Teologi Pembebasan.

Uskup Romero lantas turun dari altar pelayanannya. Dia menyuarakan protes terhadap kemiskinan, pelanggaran sosial, penyiksaan, dan pembunuhan dari jalan-jalan dan pasar-pasar. Suaranya kecil tapi terdengar nyaring ke seluruh penjuru dunia. Hingga akhirnya perjuangannya harus berakhir saat dia dibunuh pada 24 Maret 1980 ketika sedang memimpin misa.

Kisah Uskup Romero dan gerakan Teologi Pembebasan layak dan pantas menjadi bahan pemaknaan baru atas natal dan kelahiran Yesus bagi Gereja Katolik Indonesia. Semenjak lahir, Yesus adalah sosok yang hadir untuk meruntuhkan status quo. Kelahiran Yesus sudah seharusnya tidak sekadar dimaknai sebagai sarana Allah bertemu dengan umatnya dalam wujud profan. Lebih daripada itu, Yesus adalah perwujudan sikap revolusioner Allah yang membebaskan manusia dari penderitaan lewat pengalaman umat Yahudi yang tertindas.

Reza Aslan dalam bukunya Zealot: The Life and Time of Jesus of Nazareth (2013) menuliskan perjuangan Yesus tidak semata-mata melawan penjajahan Romawi yang menindas bangsa Yahudi. Sebagai sosok yang revolusioner, Yesus bahkan berani melawan tradisi bangsanya sendiri yang dimanfaatkan oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat untuk melanggengkan penjajahan. Meski akhirnya wafat jauh sebelum umat Yahudi terbebas dari penjajahan Romawi, kelahiran dan kematian Yesus adalah simbol revolusi dan perlawanan atas segala bentuk penindasan dan ketidakadilan di dunia.

Gereja Katolik Indonesia sudah selayaknya belajar bahwa dialog di balik meja tak akan menyelamatkan siapa-siapa, khususnya orang-orang di Papua. Suara-suara keselamatan selalu dikumandangkan dari tempat-tempat yang paling hina, bukan dari gedung-gedung pertemuan yang menjadi tahta cendekiawan. Sebab penderitaan selalu dirasakan oleh orang-orang yang berdiam di pasar, bukan orang-orang yang bergeming di altar.

Sekiranya Gereja Katolik Indonesia tak perlu menunggu jatuhnya korban seperti pastor Rutilio Grande sebelum memutuskan untuk bergerak bersama umat. Dalam urusan itu, Papua sudah menyumbangkan banyak nama mulai dari Pendeta Yeremia Zanambani, Agustinus Duwitau, Rufinus Tigau, Atanius Murib dan Maluk Murib, hingga Luther Zanambani dan Apinus Zanambani.

 

Daftar Pustaka:

Aslan, Reza, 2013, Zealot: The Life and Time of Jesus of Nazareth, Random House, New York.

Magnis-Suseno, Franz, 13 Desember 2020, Kita dan HRS, Majalah HIDUP No 50 Tahun ke-74.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Memulai; Kumpulan Puisi Imanuela Dhimas

Next Article

Waking Life: Hidup dan Kepastian dalam Mimpi

Related Posts