Analisis Puisi dengan AI, Ditelanjangi Makhluk Tak Berwujud

Bagaimana jika AI (artificial intelligence) menganalisis sebuah puisi? Eksperimen kerja kecerdasan buatan dalam analisis puisi menggunakan metode hermeneutika.

Pemilihan kata telanjang merupakan sebuah ungkapan yang cocok untuk apa yang telah terjadi kepada saya. Pengalaman memorabilia yang saya dapatkan  di waktu senggang. Kesenggangan itu membuat saya berpikir dua kali ingin  menceritakan ke dalam sebuah tulisan, tapi pengalaman ini patut para pembaca coba. Bagaimana jika kita ditelanjangi oleh makhluk tak berwujud dan makhluk tersebut bisa dengan mudah kita temukan.

Di sela-sela waktu jam makan siang, keisengan menggelitik pikiran saya, “Coba saja, daripada kamu cuma bengong menatap layar kosong seperti itu. Toh, tidak ada ruginya kamu mencobanya,” bisik godaan. Godaan keisengan yang begitu kuat dan waktu yang senggang  akhirnya membuat saya mau mencobanya.

Perlu diingat tragedi ditambah momentum sama dengan komedi. Apa yang saya coba ini bak telanjang di siang hari. Ironi dan komedi menjadi satu yang tidak bisa tidak menghantui saya sepanjang siang hingga menuju tengah malam. Bagaimana bisa saya ditelanjangi oleh makhluk tak berwujud?

Kata telanjang merepresentasikan pengalaman yang saya alami dengan makhluk tak berwujud . Bukan sebuah pengalaman horor atau creepy  yang sering kita jumpai dalam sebuah utas di media sosial X. Makhluk tak berwujud ini memiliki kecerdasaan sendiri hingga dapat menelaah dan membedah apa yang diperintahkan kepada mereka.

Makhluk tak berwujud ini tidak lain ialah kecerdasaan buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI yang sekarang kita kenal memiliki banyak kemampuan yang sudah menyerupai kemampuan manusia, mulai dari membuat gambar, musik, edit video, dan sebuah tulisan.

Kemampuan AI ini sudah sering berseliweran di mata dan telinga saya ketika membuka media sosial atau obrolan dengan beberapa teman. Setelah cukup lama informasi tersebut “ngandang”, saya mulai untuk mencoba AI pada sebuah laman chat.openai.com.

Simpel dan tidak ribet saat kita mendaftarkan diri pada laman tersebut. Setelah mendaftar, saya beberapa kali mencoba AI yang berbasis tulisan tersebut dengan beberapa perintah, seperti menulis puisi, menulis cerpen, hingga mendeskripsikan tentang sebuah universitas swasta di Jogja.

Sebelumnya saya sempat terpantik dengan tulisan  “Enam Tanda Hipersemiotika: Senjata Pengurai Pesan Tersembunyi di Media Sosial” dari Vincentius Dimas Sanubari yang sudah beredar di sudutkantin.com dan jurnal “Pasca-humanisme, Puisi, dan Chat -GPT” dari Goenawan Mohamad dalam Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 4, Tahun 2023.

Bagaimana jika AI membedah puisi saya sendiri? Tentu saja tidak menggunakan metode hipersemiotika, tapi dengan metode hermeunetika yang sudah cukup sering digunakan untuk menelaah puisi. Sekadar informasi atau promosi, puisi yang akan menjadi bahan ‘eksperimen’  ini dapat dibaca oleh para pembaca pada laman blog saya agustinusseco.blogspot.com hehe….

Perintah yang saya berikan seperti ini: “Buatlah analisis puisi di bawah ini dengan metode hermeneutika!” Saya akhiri dengan tanda seru menjadi  penegasan, ini sebuah perintah. Tidak perlu waktu yang lama, bahkan tidak sampai satu menit AI mulai menuliskan hasil analisis tersebut dan selesai kurang dari 5 menit. Hasil analisisnya seperti apa? Bisa kita baca di bawah ini.

Puisi di bawah ini sepenuhnya dibuat oleh manusia:

Kaki-Kaki Lelaki

Ada seorang lelaki
yang lahir dan takdir meludahinya.
Dia berjalan dengan kaki-kakinya
kadang-kadang terjungkal,
dan tidur dipeluk tai sapi di bahu jalan.

Kadang-kadang kaki-kakinya 
terbang bila malam.
Tiap malam kaki-kakinya
masuk ke liang lahat Lala-nya.

Kaki-kaki lelaki itu
mengetuk ruang raung milik Lala-nya,
tak ada kematian yang didambakannya.

Mata hari menyebul keluar
Di antara liang lahat Lala-nya,
kaki-kakinya pergi ngesot
untuk pulang ke tubuh lelaki itu.

Sepulang dari malam,
kaki-kakinya sambat
dengan kopi
di atas peler lelaki itu.

“Ruang raung kosong.
Tak ada orang numpang lagi disana.
Kematian sudah pergi bersama harapan.
Sepertinya dia sudah terlena
akan kulminasi pikiran kepada hati.”,
ucap kaki-kaki lelaki itu.

Kopi batuk sebentar
lalu meludah dalam peler lelaki itu, lalu berkata:
“Sudah kau cari ke sudut-sudut vagina Lala-nya?
Siapa tahu kematian masih tertinggal disitu.”

Sebangun pagi tubuh lelaki itu.
Dia dandan dengan jas hitam buatan ibunya.
Lalu pergi kencing,
dan tidur lagi ke dalam kloset.
Kematian sudah menunggu telanjang di sana.
Lelaki mencium kematian
sembari bertukar ludah dan air mata.
Air mata meluber muncrat ke pagar kloset.
Rumput-rumput yang ranum dan malu
suka ria berdansa hujan-hujanan air mata, mata air.

Ada seorang lelaki tenggelam ke dalam kloset.
Ada air mata menggenang menjadi mata air.

(Mei, 2019)

Analisis di bawah ini sepenuhnya dibuat oleh AI

Analisis puisi Kaki-kaki Lelaki dengan metode hermeneutika melibatkan pemahaman mendalam terhadap teks dan interpretasi makna-makna tersembunyi. Hermeneutika melibatkan pengungkapan makna dan pemahaman konteks budaya, historis, dan emosional. Mari kita telaah puisi ini.

Pertama-tama, puisi ini menciptakan gambaran tentang seorang lelaki yang memiliki perjalanan hidup yang unik dan terhubung erat dengan konsep kematian. Hermeneutika memandang puisi sebagai sebuah simbolisme yang mencerminkan realitas atau pemikiran tertentu. Pada bagian awal, “Ada seorang lelaki yang lahir dan takdir meludahinya,” menggambarkan kehadiran manusia di dunia ini dan takdir yang melekat pada kehidupannya. Pernyataan ini bisa mencerminkan kehidupan yang sulit dan mungkin juga penuh dengan tantangan.

Gambaran kaki-kaki lelaki yang “terjungkal” dan “tidur dipeluk tai sapi di bahu jalan” dapat diartikan sebagai perjalanan hidup yang tidak selalu mulus dan kadang-kadang penuh kesulitan. Tai sapi mungkin menjadi simbol kehidupan yang keras dan penuh tantangan. Pergeseran dari “terjungkal” ke “terbang bila malam” menunjukkan perubahan dalam pengalaman hidup lelaki tersebut, yang mungkin mencerminkan pertumbuhan atau transformasi personal.

Pada malam hari, kaki-kaki lelaki memasuki “liang lahat Lala-nya.” Hermeneutika menyoroti makna dari “Lala” yang bisa diartikan sebagai kehidupan atau keberadaan manusia. Liang lahat Lala mungkin merupakan metafora untuk tempat-tempat yang tidak terlihat atau tersembunyi dalam kehidupan manusia.

“Matahari menyebul keluar di antara liang lahat Lala-nya” memberikan gambaran tentang fajar atau awal yang baru. Namun, kaki-kaki lelaki kembali “ngesot untuk pulang ke tubuh lelaki itu,” menunjukkan keterkaitannya dengan realitas manusia yang mungkin penuh dengan kehidupan sehari-hari dan rutinitas.

Pertemuan dengan kopi, yang dihubungkan dengan “ruang raung kosong” dan “kematian,” menambah dimensi psikologis dan filosofis pada puisi ini. Kopi bisa diartikan sebagai pengetahuan atau pemahaman yang ditemukan lelaki dalam perjalanannya. “Kematian sudah pergi bersama harapan” memberikan kesan kehilangan dan kemungkinan kekecewaan dalam hidup lelaki tersebut.

Kemudian, dialog antara kaki-kaki lelaki dan kopi menambah lapisan makna pada puisi. Pencarian kematian di “sudut-sudut vagina Lala-nya” dapat diartikan sebagai upaya lelaki untuk mencari makna atau tujuan dalam kehidupannya. Sementara itu, kematian yang “tertinggal” di sana mungkin melambangkan ketidakpastian akan akhir hidup.

Pada bagian akhir, gambaran lelaki yang berpakaian jas hitam dan berhadapan dengan kematian di kloset menciptakan atmosfer misterius dan penuh simbolisme. Pemilihan jas hitam dan pertemuan dengan kematian menunjukkan, kematian adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia.

Terakhir, adegan tenggelam ke dalam kloset dan air mata yang “menggenang menjadi mata air” menutup puisi dengan nuansa kehidupan dan kematian yang bersatu. Hermeneutika menuntut kita untuk menggali makna dalam simbol-simbol tersebut, mungkin melihatnya sebagai simbol pembersihan atau pembebasan dari beban hidup.

Dengan demikian, analisis hermeneutika pada puisi “Kaki-kaki Lelaki” mengungkapkan kompleksitas makna yang melibatkan perjalanan hidup, pertemuan dengan kematian, dan pencarian makna dalam kehidupan manusia. Puisi ini memanfaatkan simbolisme dan imaji untuk meresapi realitas manusia dan mengeksplorasi aspek-aspek kehidupan yang mungkin tersembunyi atau tidak terlihat secara langsung.

Tulisan di bawah ini kembali sepenuhnya ditulis oleh manusia

Aih…. sebuah analisis yang tidak pernah saya duga akan seperti itu. Analisis AI di atas seperti membaca analisis puisi yang  pernah saya baca di beberapa majalah atau media daring. Apakah sudah cukup? Bila dikatakan sudah cukup atau belum, analisis itu sudah cukup. Cukup untuk ditampilkan dalam rubrik-rubrik di media daring atau luring, tinggal ditambahkan pernak-pernik lainnya.

Puisi saya di atas sudah ditelanjangi tanpa balutan baju sihir interpreasi manusia lagi. Keindahan sihir interpretasi manusia yang kerap saya temui sudah menjadi tanggal. Karena saya manusia dan sudah selayaknya manusia tak pernah puas.

Saya masih ada kurang dari analisis itu. Entah mengapa saya masih merasa ada kurang. Mungkin saja dari segi esensi puisi sebagai tubuh–jiwa  dan beberapa aspek-aspek kecil kata yang luput dari AI. Ibarat makanan tanpa bumbu penyedap rasa. Bisa saja bumbu itu magic yang dimiliki manusia dalam meninterpretasikan sebuah karya.  

Arus kemajuan memang sudah mulai menelanjangi busana keindahan kata dengan alogaritma, tetapi tidak akan bisa meluruhkan eseseni sihir kata manusia dengan jiwa. Keindahan kata memang memabukkan pembaca, maka pembaca harus cermat dengan hikmat – hasrat  untuk menangkap jiwa setiap kata. Serupa jurnal Goenawan Muhamad yang saya sebutkan di atas, “Sajak yang ditulis AI mungkin lahir dengan frase-frase yang tampak “kacau” dan membingungkan; tapi “kekacauan” itu dirancang, mengikuti alogaritma, bukan letupan hasrat.”

Puisi sudah menjadi telanjang tanpa balutan baju sihir interpretasi manusia. Sihir-sihir manusia dalam mengungkapan interprestasi akan sebuah karya menjadi nirdaya di depan kecerdasan buatannya sendiri.  

Baju sihir yang membalut sebuah karya telah telanjang. Busana-busana yang selama ini kita olah – alih tak kuasa membendung arus kemajuan. Perlu sebuah kerja keras lagi untuk meramu mantra-mantra  ajaib yang tidak bisa ditiru makhluk tak berwujud tersebut. Bila tetap ditiru? Buat mantra lagi!

Sejatinya manusia hidup itu maju adaptif dan dinamis. Lalu, apakah kamu masih malu untuk maju berkarya? Jika iya, saya ucapkan: Selamat telanjang!


Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: Agustinus Seco Kus Demas Putra

1 comment
  1. Pembahasan yang sangat menarik; memberi perspektif yang lebih jauh soal AI dan puisi. Bahwa mereka barangkali ‘tidak selalu harus dilawankan/diadu’, justru malahan bisa jadi sarana pelecut untuk ‘mantra-mantra’ baru. Proficiat, Dem!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

‘Join the Lads!’: Manifestasi Kelas Pekerja dalam Subkultur Skinhead

Next Article

The Crown Season 6 (2023): Akhir dari Perjalanan Ratu Elizabeth II