Celoteh Anak Kecil | Cerita Pendek Sonhaji Abdullah

Tidak begitu pendek, tidak begitu tinggi, Itulah ukuran tubuhku. Tidak begitu kurus, juga tidak begitu gendut. Soal parasku? Pun tidak begitu jelek, dan tidak begitu cantik. Tanggung! Demikianlah aku. Tapi, kata temanku dari jauh, dari Banten, ia pernah mengatakan—menilai dengan indah—sewaktu kami bermain pasir di Pantai sore hari, katanya, “Aku sangat cantik sekali saat terkena pantulan matahari yang setengah tenggelam di ufuk barat. Indah seperti senja.”

Terakhir itu aku mendapatkan pujian yang sangat berarti, karena selain itu kini belum kudengar suara ibu memujiku dengan kalimat “Wah.. sungguh anak ibu cantik sangat hari ini” atau menyapaku setelah bangun tidur “Selamat pagi, putri ibu yang paling tercantik”, yang jelas begitulah dunia memperlakukanku. Memahat realitas padaku. Sangat tanggung diciptakan oleh tuhan, sekadarnya saja mungkin.

Dan yang paling fakta adalah sangat canggung untuk dikatakan cantik oleh ibu. Namun suatu waktu, lirih yang lara itu terdengar ibu, padahal masih di dalam perasaan belum kusebutkan melalui bahasa Indonesia. Ia menimpaliku, “Apapun itu ndoo, harus tetap bersyukur. Kurasa kalimat itu hanya sekadar sebagai penenang, karena tetap saja ibu tidak pernah peka tentang apa yang aku inginkan di balik lirih yang setiap ku tunjukan di sela-sela kemanjaanku, kemarahanku, bahkan gaya hidup sekalipun sebagai simbol yang bisu.

Masih tentang penantian pujian dari ibu, sangat belum pernah ibu memujiku seperti ibu memuji anak tetangga dengan banyak perhatian, “Anaknya cantik yah bu, apa kesukaannya?” dengan nada mendayu. Anak temannya dipuji-ditanya. Anak sendiri tidak pernah ibu sentuh dengan nada merayu-memuji dan ditanya dengan nada kahwatir seperti anak tetangga di samping rumah itu.

Entahlah, seperti apa perasaan ibu padaku, entah seperti itu atau memang bukan seperti itu, atau seperti apa? Walau begitu, aku tetap sayang ibu, dan akan tetap menantikan nada-nada pujian darinya, Anak ibu cantik hari ini, dan jangan lupa sarapan pagi…”

Setengah-setengah tentang kehidupan atau ketanggungan dalam hidupku. Kurasa itu seperti sudah mandarah daging aku rasakan sampai saat ini. Bahkan seperti sudah digariskan segala sesuatunya melalui telapak tangan, bahwa akan terjadi seperti ini dan itu dalam jendela kehidupanku; tentang pola hidup yang akan aku temui, nanti. Atau memang mungkin sudah terlewati-kulalui tanpa aku tahu bahwa aku sudah melewatinya.

Ibu pernah bilang, ayah sudah menyiapkan nama untukku pasca aku dilahirkan. Begitu cantik katanya, indah juga, dan sampai sekarang nama itu disematkan padaku. Namun, nama dari ayah juga sangat tanggung seperti hidupku. Ia menyematkan nama tanpa ada spasinya, sehingga hambar saat kutuliskan di buku gambar:

Nurfkrissania.

Yap itulah namaku dari ayah sampai sekarang. Ayahku juga bilang bahwa ibu juga tidak kalah dari ayah, ia pernah menyiapkan nama untukku, dan sangat banyak bahkan mirip daftar menu makanan di kedai pak haji Furkon banyak pilihannya, tapi tidak satupun yang terasa lezat di lidah (atau di telinga untuk sebuah nama).

Antara lain nama-nama pilihan dari ibu: Poniyem, Jumati, Tukijan, Suiyem, dan Poniah. Kata ayah, mirip absensi pejabat PNS tempo dulu sebelum adanya finger print. Ayah tertawa dan ibu langsung sinis karena ayah terkesan mengejek, lalu mereka bertengkar kecil di kamarku. Mereka ngobrol di kamarku saat hendak menidurkanku karena aku takut gelap, karena kondisi padam listrik. 

Saat itu kami bertiga, dan lalu mereka pergi ke kamarnya dan cekcok seperti induk bebek yang sedang adu mulut. Setelahnya itu aku sendirian lagi di kamar, lampu sudah menyala saat mereka pergi dari kamarku. Aku kembali bertiga, dengan siluet dan keheningan malam. aTanpa obrolan masa lalu, tidak seperti tadi, sama saja seperti yang sebelum ini; aku kesepian lagi.

Dari banyaknya nama yang akan disematkan padaku, nama-nama dari ibu tereliminasi semuanya oleh nama yang ayah siapkan. Kata ayah, nama dari ibu terlalu kuno-jowo. Memang demikianlah ibuku, otentik-klasik. Mungkin apa yang ibu ingin sematkan padaku itu dipengaruhi oleh ibuku yang asli dari jawa. Dari itu ibu terkesan jawa kuno, ibu cinta budayanya. Turun temurun soal kejawaan ibu pertahankan.

Dan soal agama, ibu tidak pernah tidak mengajariku mengaji, sampai dewasa ini aku tidak pernah lalai dalam beribadah, tapi aku tidak pernah lalai juga berbuat dosa, fasik! Oh tuhan, maafkan aku. Tapi, walau begitu juga aku hafal asmaul khusna. “Itu adalah nama-nama yang indah untuk diingat karena tentang suatu sifat Tuhan yang begitu agung, lagi maha baik untuk diamalkan sebagai dzikir salah satunya,” kata ibu.

***

Pada tahun 2006 saat umurku 5 tahun, hari itu adalah hari yang menyebalkan sangat, aku tidak suka, karena aku harus berpisah dengan kamarku dan tanah liat di pekarangan rumah yang biasa aku buat kue atau masak-masakan. Tiba-tiba Ayah mengajakku ke suatu tempat yang begitu bergema dengan lagu-lagu anak rayunya, dan juga banyak anak-anak seusiaku yang sedang bermain mainan.

Ayah mengajakku ke taman kanak-kanak. Itulah nama tempat yang bergema di telingaku. Itu adalah kali pertama aku diajak oleh ayah untuk daftar dan masuk ke taman kanak-kanak tersebut. Setelah itu, ayah tak lagi mengantarku ke sekolah taman kanak-kanak lagi. Ibu menggantikan posisi ayah antar jemput, karena ayah harus bekerja untuk orang lain; kadang di ladang sendiri dan orang lain, kadang juga proyek rumahan yang dimandori oleh orang lain juga, tapi sekarang ayah menjadi perangkat desa, mengabdi pada desa. 

Kata ibu aku harus tetap pergi kesekolah walau tanpa ayah dan perginya dengan ibu mulai sekarang. Aku pergi akhirnya setiap hari Senin, Kamis, dan Jumat. Bersama sepeda onthel tua warisan kakek, aku duduk di besi belakang jok ibu dengan seragam baju muslim berwarna biru tua bergaris putih dengan satu kantong di bagian kanan dekat pusar. Aku memakai tas pemberian dari ayah. Kamu tahu tas apa? Warna apa? Bentuknya seperti apa? 

Tas yang dibelikan ayah itu harusnya untuk anak laki-laki, tas kotak warna kuning ada bopeng-bopeng kecil: spongebob. Entahlah apa motivasi ayah membelikanku tas si spons itu. Dan ibu memberikan alasannya bawah agar semua hal yang negatif saat di sekolah terserap oleh tas spons itu dan menyisakan hal-hal positif saja. Begitulah ibu menutupi penasaranku. Padahal yang sebenarnya adalah karena ayah menginginkan anak laki-laki bukan perempuan cengeng seperti aku ini yang terlanjur tumbuh dan berkembang sampai saat ini. Mungkinkah karena itu kenapa ibu dan ayah tidak pernah memujiku?

Sepanjang jalan, saya berspeda dengan ibu dengan jarak 1 km dari rumah. Sepanjang itu juga aku bernyanyi lagu pertama yang aku lupa sebagian liriknya dan nadanya. Aku tahu dari sekolah saat aku bersama ayah tiga hari yang lalu ketika dibujuk oleh dua perempuan bertubuh besar yang mencoba merayuku dengan lagu itu agar aku mau sekolah di taman kanak-kanak miliknya.

…ayah ke kota naik kuda istimewa, dan kuda tidak tahu jalannya. Tak.. tik..tuk..ti..tak..tik..tuk yey..

Ibu tertawa setelah aku konser kecil-kecilan itu. Ibu tersenyum dan mengatakan, “Bukan begitu liriknya ndoo,” kata ibu sembari mengayuh sepeda.

“Oalah… Aku lupa bu, pie toh bu yang benernya?” 

“Sudah-sudah, sebentar lagi sampai ke sekolah, tanyalah pada gurumu nanti.”  

***

Hari demi hari, jadwal demi jadwal, aku diantar selalu oleh ibu. Banyak keanehan setiap harinya tentang apa yang diajarkan saat di sekolah; ada yang boleh dipelajari dan ada yang tidak boleh di pelajari saat di sekolah. Ada yang boleh ditanyakan dan ada yang segan dipertanyakan saat bersama ibu guru besar. Beginikah di taman kanak-kanak? Beginikah bersama ibu guru? Aku merasa imajinasiku tak seutuhnya keluar dan terpantik untuk keluar. Canggung!

Tidak seperti bersama ibu sendiri, aku boleh bertanya apa saja, dan belajar apa saja dan bermain apa saja. Bermain tanah liat beserta kotorannya dari tanah basah dan pasir, dan yang paling berkesan aku tergugah untuk selalu bertanya apapun. Tidak canggung, tidak segan. Walau kekurangannya hanyalah ibu tidak pernah memujiku dengan indah.

Setiap hari aku kesepian dalam keramaian saat di taman, dan di ruang kelas, teman-temanku banyak yang aktif dan aku adalah yang pasifnya di antara mereka. Aku tidak tahu bagaimana caranya bermain dengan orang yang aktif dan menyesuaikan diri. Aku tidak punya teman, aku duduk di paling belakang. Mungkin pantas aku duduk di sana karena tidak ada yang mau berteman dengan ku yang pendiam, Mungkin juga karena aku aneh; rewel bertanya dan pendiam. Namun bagiku mereka juga terlihat aneh; tidak asik. Ibu guru juga tidak asik, tidak menyediakan tanah liat, pasir, juga tanah basah. Apa yang mereka suguhkan selalu saja berbahan plastik dan besi.

Setelah jam sekolah selesai, teman-temanku semuanya sorak gembira untuk pulang. Aku tidak! Aku pulang dengan rasa yang sama. Sepi! Dan tidak bersorak gembira karena hari ini masih terasa tetap tidak asik. Mereka teman-teman sekolahku pulang, ibu guru pulang, dan sekolah ditutup rapat lalu sepi seperti kali pertama aku menghadapi kelas itu pada pukul 07:00. 

Saat aku dan ibu pulang, kami melewati gedung lebar dan besar. Ada corong ke atas lalu mengeluarkan asap tebal terbang ke langit dan membuat awan. Awan membuat dirinya sendiri di atas langit seperti apa yang ia inginkan. Waktu itu aku melihat awan berbentuk bapak-bapak sedang bertopi petani mirip punya ayah dulu sebelum menjadi perangkat desa. Ia terlihat sedang murung karena punggungnya membungkuk dan lututnya terlipat ganda oleh kedua tangan. Entahlah, awan dan aku sama, sama-sama punya imajniasi, aneh, dan sedang murung. 

Karena aku penasaran, aku bertanya pada ibu, apakah itu rumah awan dan awan keluar untuk bermain di langit melalui pipa panjang? Dan ibuku menjawab bahwa itu bukan rumah awan, tapi PLTU. Entahlah apa itu peltu’u, yang jelas kata ibu, PLTU bukan peltu’u. Bangunan ini adalah yang membuat lampu-lampu di rumah kita menyala. Aku juga kembali bertanya, bagaimana dengan mereka yang tidak menyala lampunya, bu? Apakah peltu’u-nya tidak sampai ke rumahnya? Ibu menjawab bahwa mereka karena belum bayar tagihan listrik saja.

“Maksudnya bu?” Tanya aku belum paham. 

“Suatu saat nanti kamu akan mengerti ndoo, itu namanya bayar pajak,” pungkas ibu.

Akupun terheran-heran dan tambah bingung. Apakah harus begitu jika kelak aku sudah tumbuh dewasa nanti? Perihal nyala lampu di kamarku haruskah bayar dulu? Sangat aneh, kenapa tidak gratis saja seperti Tuhan membuat matahari lalu dinikmati oleh umat-Nya dengan gratis? Cukup dengan mensyukurinya.

Seandainya listrik gratis, mungkin gambar pak petani di atas langit oleh awan pasti tak terlihat murung dan yang akan terlukis adalah punggungnya lurus, badannya tegap, tangannya memegang cangkul bukan memegang lutut, juga bibirnya tersenyum. Mungkinkah mereka murung karena lampu-lampu di rumahnya tidak menyala di malam hari?

Apakah mungkin juga karena kekeringan sawah dan ladang sebab begitu panasnya tanah menampung gedung besar yang menghasilkan asap sehingga petani murung di atas langit karena tidak mampu membayar listrik? Keanehan demi keanehan tetap saja aneh, tak ada yang mampu menjawab sampai aku paham atas keanehan itu, tak ada penerangan, dan semua itu tertimbun keanehan baru dan melahirkan di setiap harinya tentang keanehan, keanehan, dan keanehan lagi. 

***

Setelah mengenal sekolah, siklus hidupku jelas akhir-akhir ini. Pergi pukul 06:30 pulang pukul 10:00. Kadang membosankan, tapi juga kadang menyenangkan. Setiap pukul 08:00, sudah harus duduk rapi di bangku paling belakang. Wangi badan, cantik, dan berseragam hasil strika-apik. Hari ini aku harus memakai kaos untuk berjoget riang gembira dengan iringan musik yang keluar dari kotak besar warna hitam. Setelahnya itu, kita belajar alam di taman dekat kelas. Kita diperkenalkan tumbuhan dan binatang-binatang melalui gambar dan juga bentuk aslinya oleh bu guru. 

Suatu ketika, ada anak burung mati di pinggir pohon mangga yang rindang, aku menemukannya yang pertama kali. Aku kasih tahu bu guru dengan bangga bahwa ada burung kecil yang sedang tertidur dan tidak bisa terbang. Ibu guru bilang itu adalah lebah, dan dia mati, bukan burung. Lebah adalah binatang penghasil madu yang mempunyai sengatan beracun di ekornya, kata bu guru.

Benarkah begitu? Aku sedikit kurang percaya, apakah lebah yang mati dan ekornya akan tetap beracun? Tanyaku penasaran. Lalu ibu guru mengiyakan. Aku tidak percaya lagi dan tetap aneh dengan jawabannya, jika memang mati, maka semua yang ada di tubuhnya juga seharusnya ikut mati, termasuk racunnya juga mati. Lalu aku coba sentuh, aku kaget dan langsung menangis meraung-raung. Ibu jariku tiba-tiba membesar. Lebah itu setengah mati dan ekornya masih hidup dan menyakitkan.

Satu kelas membahasku, ada yang tertawa, ada yang iba, ada yang berbahagia karena kekonyolanku Ada yang menderita seperti ibuku mengetahui bahwa ibu jari anaknya membengkak. Walau sesekali ia juga tertawa kecil.

Sudah banyak tingkah cerita yang aku lakukan selama di sekolah. Tak terasa sudah lama aku di sekolah ini, sampai aku memiliki teman bermain walau hanya satu yang begitu akrab dan peduli mengobrol-mengobral pertanyaan anehku. Kita bermain bersama, mengarungi percobaan-percobaan aneh bersama, sampai tersesat bersama saat di kebun binatang. Membeli es krim lupa bawa uang dan tumpah setelah jilatan ke-3, dan masih banyak lagi. Ia adalah Sinta Dewi pindahan dari Bali seorang mualaf, yang tinggal tidak begitu jauh di rumahku dan mau berteman denganku setelah 6 bulan pindahan.

Dua tahun dirasa waktu yang lama. Namun semakin lama terasa asik rupanya. Ketidakasyikan datang saat mereka membatasi kelamaan dan kenyamanan yang sudah terbentuk. Ibu guru berbadan besar datang saat semuanya tengah asik mengobrol, berkata bahwa kami akan lulus di sekolah taman kanak-kanak ini. Selanjutnya akan masuk ke sekolah lagi dengan seragam merah dan putih.

Mendengar hal itu, tiba-tiba wajah kami semua melankolis mendengarnya. Kamu tahu kenapa? Mereka hendak memisahkan kita semua dan dunia kanak-kanak. Dalam hal ini, Aku tidak suka perpisahan, hal yang paling menyebalkan dalam hidup ternyata adalah perpisahan. Ia ada seperti misteri yang dibuat-buat oleh Tuhan, juga oleh manusia itu sendiri.

Mereka; Tuhan dan manusia, ternyata bersekongkol dalam merencanakan perpisahan! Seperti ibu guru tadi. Menyebalkan! Teman-temanku, teman baikku Sinta, semuanya akan pergi, kelas ini akan kami tinggalkan dan diisi oleh anak-anak yang baru seperti kali pertama kami dulu masuk, lalu mereka akan bernasib sama. Dibuat senang dan gembira awal-awal, lalu menderita akhir-akhir. Seperti hari ini tentang soal perpisahan. Kami akan berpisah besok, dan hal yang menyakitkan dalam hidup ini adalah dirayakannya perpisahan dengan sengaja!

Setelah ini, kami akan berkembang masing-masing dengan berbeda segala-galanya; pikiran, musik favorit, teman bermain, dan masih banyak lagi yang lebih menyenangkan—kata ibu guru di depan kelas. Tapi, aku tetap tidak suka itu dan saat ini, dan hari esok adalah catatan kehidupan yang begitu kontras menyuramkan karena akan memahat kerinduan pada kelas, teman-teman, Sinta, lagu-lagu anak, es krim yang tumpah di hari Kamis, dan lebah yang sempat membesarkan ibu jariku beberapa hari lamanya tidak sembuh.

 

Singaraja, September 2021

 

Penyelaras Aksara: Arlingga Hari Nugroho

 

 

1 comment
  1. Keren,. Terbayang lucunya jika dibuat film.
    Dan jangan lupa lanjut ceritanya ke seragam merah putih- putih biru – putih abu – kampus – menikah dan hidup bahagia 😀😆😃✍️

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts