Desa Muaro Jambi, Januari 2013
“Kalau beruang salju hidupnya di kutub utara, kalau jerapah tinggalnya di padang rumput Afrika, kalau kanguru di Benua Australia. Tempat tinggal hewan-hewan itu yang kita sebut sebagai habitat, ngerti dak bebudak?” Najmi termenung dan melihat bosan guru pelajaran IPA yang nampak kesal karena telah berulang kali menjelaskan hal yang sama kepada teman-teman sekelasnya yang masih selalu salah dalam mengerjakan soal. Seiring mendekatnya ujian nasional tingkat SD yang tinggal satu semester lagi, pegawai kecamatan telah kelabakan menuntut kepala sekolah untuk segera meningkatkan angka kelulusan menimbang banyaknya angka putus sekolah di desa ini.
Sementara para guru sudah mulai lelah dan pesimis berusaha mencapai target yang diberikan pihak dinas pendidikan, teman-teman Najmi pun kini juga belajar dengan rasa cemas dan tidak percaya diri karena merasa gagal untuk menangkap pelajaran di sekolah.
“Najmi, oy Najmi, apo aku ni bodoh nian yo, pelajaran apapun tidak ada yang masuk”, tanya Zailani melepaskan pensil seraya memegang kening dengan kedua tangannya,
“Dak lah, santai Nik, kito masih punya waktu kok untuk belajar”, jawab Najmi sambil mengelus pundak teman sebangkunya itu.
“Kalau kayak gini terus tidak mungkin lah cita-citaku kerja di kota Jambi tercapai, sulit nian. Gimana lah kita bersaing dengan orang kota yang pintar-pintar itu”, lanjut Zailani yang kini menempelkan keningnya di atas meja sambil berkomat-kamit menahan rasa stresnya.
Najmi pun hanya termenung melihat perilaku temannya yang tegang penuh tekanan seperti kancil yang membelalak panik dalam jeratan. Sangat dipahami mengapa banyak teman-temannya menganggap sekolah sebagai neraka di muka bumi, anak-anak yang pandai membelah Sungai Batanghari dan berebut Ikan Seluang dengan para biawak air kini dipaksa harus menghafalkan nama dan cara hidup hewan yang bahkan melihat wujudnya saja belum pernah.
Seperti ikan besar yang kian hari makin jarang ditemukan dalam aliran sungai Batanghari, kebahagiaan anak-anak itu pun turut memudar seiring waktu mendekati ujian sekolah dasar.
Suara guru yang lantang perlahan tersaingi dengan bising seruan atap seng yang diterpa hujan. Dinding kayu bangunan panggung sederhana yang berdiri di bantaran payau Sungai Batanghari tersebut tidak mampu menahan tempias hujan deras yang kian membasahi raut muka murid-murid yang sedang kewalahan belajar. Suara angin yang menderu mengundang Najmi untuk melemparkan pandangannya ke deras air yang mengguyur gelombang coklat wajah sungai dari jendela ruang kelasnya. Pikirannya kini melayang-layang teringat sawah rawa milik pakwo-nya yang berkali-kali gagal panen akibat sungai Batanghari yang makin sering mengalami kebanjiran. Sungai terpanjang di Sumatera yang telah berabad-abad menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Jambi ini konon di pangkalnya telah banyak dibajak para pemuja emas hitam dengan dalih meningkatkan kesejahteraan. Namun alih-alih membuka pintu surga dunia, masam air dan erosi tanah terbajak kini menjadi perhiasan batang sungai yang tak lagi ramah menjadi rumah bagi ekosistem ikan dan padi yang dihampar.
Sambil melamun Najmi menatap biru sampan baja yang memikul batu bara di pundaknya, begitu besar menerjang arus sungai tempat ia biasa berenang dan tertawa berombong-rombong dengan anak sebayanya. Bingkai jendela kelasnya terlalu kecil untuk ia dapat memahami seutuhnya armada-armada dagang tak berawak kapal yang selalu hilir mudik di aliran air yang bisu merekam sejarah nenek moyangnya. Najmi yang tengah tersesat dalam reka pemikirannya pun kini disadarkan oleh panas kapur tulis yang menujam keningnya.
“Woy Najmi! ngapo menung bae! dengarkan guru kalau lagi berbicara! Nak jadi apo kau kalau dak belajar?!”, teriak guru yang sudah semakin kesal karena murid-murid yang tidak bisa memahami pelajarannya,
“Eh iya maaf, Bu, Najmi bosan dengan pelajarannya. Lebih penasaran sama tongkang batu bara itu, Bu”, jawab Najmi yang tidak sadar meluapkan isi lamunannya,
“Kau tuh! masih gadis kecil, tidak akan paham sama hal-hal begituan! Mending belajar tinggi supaya bisa jadi pegawai kantoran, biar kayo! Pacak nampak menawan cak turis-turis dari kota iko, hah! Kalau anak muda desa ini seperti kamu hobi melamun terus, kapan desa ini maju?!”, balas guru itu yang riuh suaranya menandingi gaduh dentuman air hujan pada atap seng yang tipis.
Najmi mengurungkan niat untuk mengeluh jenuh kajian gurunya. Wisatawan yang mengerumuni desanya semenjak Candi Muaro Jambi dijadikan simbol pariwisata selalu dijadikan panutan oleh gurunya yang silau dengan gemerlap orang kaya kota. Toh, bukan salah gurunya juga, orang-orang yang mampu bertamasya tampak memiliki hidup yang lebih menjanjikan daripada masyarakat sekitar yang sedang kesulitan sekali sawah yang mereka tanam gagal untuk dituai. Sambil menatap pensil yang telah teraut pendek setinggi dua buku jari kelingking, ia mapankan tubuhnya untuk mendengarkan kicau pendidik yang sibuk mengeja buku. Toh katanya buku adalah jendela dunia, jadi sungai dan rupa alam yang terlihat dari jendela kelas kecil di sebelahnya tidak akan pernah sebanding dengan jendela buana yang membuai gurunya.
~ ~ ~
Candi Muaro Jambi, November 2017
“Najmii! Sini nak, bantu Makwo jualan!”,
“Bentar Mak, Najmi pakai tengkuluk dulu!”,
“Wai kasihan nian kamu nak repot pakai tengkuluk, maaf ya Makwo tidak mampu belikan kamu kerudung langsungan yang mudah pakainya”,
“Dak ah mak, Najmi lebih suka pakai tengkuluk, lebih nyaman. Bangga terlihat seperti gadis sini, cantik cak Makwo, hehe”.
Dengan sigap Najmi menggulungkan kain bermotif kembang duren di kepalanya seraya berjalan menuju gerobak dagang di pelataran candi Muaro Jambi. Tangannya cekatan memegang jepitan untuk membolak-balik pempek panggang sambil menawarkan ke calon pembeli yang nampak mewah berkilauan berlalu lalang di desanya yang sederhana. Sepatu bermerek, pakaian yang modis, hingga kamera-kamera mahal merias jalan yang juga sama ramainya oleh warga desa yang turut berjualan.
“Walau ramai tapi hasil dagangan tidak terlalu laku ya, Nak”, ujar Makwo sambil menghitung penghasilan dari berdagang seharian.
“Iyo Mak, semua warga jadi dagang di sini semenjak sawah-sawah kita di seberang dijual dan dijadikan tambang batu-bara, untungnya terbagi-bagi sama kecilnya”, jawab Najmi singkat sambil melayani pelanggan yang terkesan datang dari jauh.
“Ya gimana lagi, Nak, sawah sekarang sering gagal panen karena banjir, apalagi sawah-sawah di sebelah perusahaan, kalaupun panen rasa berasnya jadi tidak enak. Biarlah jadi tambang batu-bara, orang-orang itu kan juga butuh makan”, balas Makwo mencoba bijak,
“Aneh ya, orang sungai Batanghari yang dulunya dilimpahi makanan sekarang malah jadi beli beras. Mancing ikan pun kini tinggal ikan kecil-kecil, yang besar susah. Coba liat kita, kalau tidak bergantung dengan dagangan tempat wisata nak makan apo kito besok mak. Candi sudah ada dari jaman dulu tapi baru sekarang kita selalu meminta makan darinya”,
Makwo hanya terdiam. Ia dan tetua desa segenerasinya merupakan saksi yang menyadari permasalahan itu sedari lama. Alam Sumatera yang berubah dari rimba hutan hujan menjadi hamparan perkebunan sawit dan karet, bentangan rawa yang berubah menjadi dompengan beragam tambang batu-bara dan emas, hingga langit biru khatulistiwa yang rutin mengabu di setiap akhir musim kemarau tercermin jelas dalam setiap perubahan yang terjadi di permukaan sungai tempat ia menimba kehidupan. Namun sebesar apapun perubahan yang terjadi, semua orang hanya bisa menyaksikan, tanpa tahu harus bersuara apa tentang rusaknya ruang hidup mereka. Kini seiring habitat sungai semakin sepi dari riuh warna kehidupan, manusia sibuk mencari naungan dari ikan kecil yang hilir mudik bersama ramainya tongkang baja yang entah dari mana dan akan kemana.
“Mak, apa kita harus bergantung dengan pariwisata seperti ini terus selamanya?”,
“Kalu aek keruh di muaro, cubo tengok ke hulu. Kita kaji, kita pelajari dulu, sekolah lah nak agar mampu memahami semua hal yang terjadi ini”, jawab Makwo tenang dalam renungannya.
~ ~ ~
Desa Muara Jambi, Mei 2020
Seperti yang selalu ia lakukan saat masih sekolah dulu, Najmi kini sedang memandangi jendela yang ada di kamar tidurnya. Jendela berbingkai kayu meranti dengan ukiran khas melayu berjejer rapi dalam rumah limas yang ia tinggali bersama keluarga besarnya. Pemandangannya tak banyak berubah, gundukan emas hitam yang meninggi semakin banyak di seberang. Sedang tongkang oranye yang dulu sering Najmi amati, kini sudah mulai karatan di berbagai sisi karena muatannya yang panas ditambah tingginya intensitas air dan angin yang menerpa kulit bajanya.
Seiring mesin-mesin baru bertambah, Najmi bertumbuh. Sudah dua bulan ini ia berada di rumah setelah pulang dari kampusnya Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Karena krisis pangan akibat pagebluk Covid-19, Najmi yang tertarik untuk mempelajari kerangka legal dari perubahan alam kini dipaksa pulang ke kampung halaman untuk bertumpu hidup kembali ke badan air Batanghari.
“Najmi, turunlah! mari ikut awak ke sungai, agek kito urus ikan yang ditangkap samo anak-anak” seketika terdengar seruan memecah hening dan Najmi segera tahu bahwa itu adalah suara Zailani. Segera ia bergegas turun sembari menarik kain tengkuluk bermotif Angso Duo yang ia letakkan di sandaran kursi. Tak lupa ia mampir dapur untuk mengambil ember yang kemudian diisi pisau dan talenan.
“Najmi sehari ini ngapo bae? Ada kuliah online yang aku bisa ikutan tidak? hehe”, tanya Zailani yang kini menjadi penjual pulsa di kampungnya, berharap bisa tetap menimba ilmu dari kawannya yang tetap semangat untuk belajar.
“Dak ado lah, ini kan Hari Minggu. Besok Selasa lagi, kelas Hukum Agraria. Kau ikut lagi bae yo?” Jawab Najmi diikuti Zailani yang mengangguk penuh semangat.
Berjalanlah mereka di pematang yang berujung pada sebuah tangga turun menuju tepian Sungai Batanghari. Pemandangan di sebelah kanan adalah sekolah dasar tempat mereka belajar dulu, sedang sebelah kiri di seberang sungai terdapat tambang batu bara PT. SAB. Sebuah imaji, bagaimana ia dulu mempertanyakan hal-hal apa yang mungkin terjadi di atas permukaan sungai dan tanah, hingga hal-hal itu tak hanya berhenti di sana melainkan masuk menjadi satu dengan tubuhnya mendaur melalui air dan makanan yang dikonsumsi dari ekosistem tersebut. Seperti virus corona yang hadir saat manusia tidak lagi bertoleransi memberi ruang hidup untuk makhluk selain mereka, begitupun unsur alam lain ketika kita abai terhadap hak hidup mereka sebagai kesatuan ruang kehidupan.
“Oy Najmi, Zailani! sini bantu Makwo membersihkan ikan! Dua bulan kena wabah, tidak bisa jualan dan punya pemasukan dari pariwisata yang ditutup, eh lebaran ini dibayarkan juga berkah dari lama berpuasa. lepas surut dari banjir, Batanghari kembali memberikan penghidupannya dari ikan-ikan yang disumbangkannya untuk kita”, teriak Makwo gembira di tepi sungai sambil memilah dan membersihkan ikan hasil tangkapan anak-anak kecil di desa.
Desa yang hampir mengalami ketergantungan dari pariwisata kini kembali menerapkan cara-cara penghidupan nenek moyangnya dulu. Anak-anak kecil melepaskan permainan di ponsel pintarnya untuk mengikuti para orang tua desa yang pandai menjinakkan air. Dengan mahir pakwo menarik tali tungkal dengan jaring sebesar lima meter yang bergantung di teknologi tuas tradisional dari bambu dan kayu besi untuk menangkap ratusan ikan dalam sekali tarik. Begitu pula pemuda-pemuda desa yang sigap mengeruk air dengan sengser-nya sambil mengajarkan anak-anak kecil cara untuk mengumpulkan ikan dari jaring di antara dua gagang bambu tersebut.
Anak-anak kecil pun gembira berestafet ember penuh ikan dari tepian sungai ke dataran lebih tinggi tempat dimana para perempuan berkerumun untuk mempersiapkan hasil pancingan tersebut, membersihkan dan nantinya diolah menjadi kerupuk atau dijemur menjadi ikan asin.
Seluruh warga desa berbaur dalam tawa, bercengkerama kembali dengan sang sungai yang telah menyusui masyarakatnya sejak hulu peradaban bersuara. Begitu pula Najmi yang tersenyum girang melihat ratusan ikan bergelimpangan dari jaring tungkal Pakwo-nya. “Nah Najmi, kalau di Jakarta sana banjir itu musibah kan, kalau di kampung kita banjir itu berkah. Nah banyak Ikan Juaro, Seluang, Lambak, bahkan Ikan Merah terangkat dalam jaring Pakwo kan, dak perlu nunggu turis kito bisa makan, haha” ujar Pak Wok dengan nafas terengah pasca menaikkan jaring tungkal.
“Bagaimana aku bisa abai dengan potensi masyarakat dan alam dimana aku tinggal?”. Tiba-tiba Najmi membandingkan betapa terlihat menawan saat desanya kedatangan banyak turis asing yang rela bermewah-mewahan mengeluarkan uang untuk berbagai barang dan jasa. Namun perasaan megah seketika tersemat ketika melihat praktik menangkap ikan para orang tua desa ini, betapa masyarakat telah lama berjaya dengan pengetahuan mereka dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka sendiri. Semua makhluk hidup punya tempat tinggalnya masing-masing, tempat mereka makan, tidur, bahkan berkembang biak. Begitu pula masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari yang telah berabad-abad beradaptasi dan mengenal setiap seluk beluk, payau, dan juga lubuk dari aliran air pemberi kehidupan mereka ini.
“Ni, Zailani, aku punya cita-cita untuk desa ini. Jangan lagi kita cuma bergantung makan dengan wisatawan seperti pengemis bertopeng pedagang. Pariwisata Muaro Jambi harus bertumpu pada kebanggaan kita hidup berdampingan menimba dan menjaga aliran air yang telah mewariskan kehidupan dari jaman nenek moyang kita. Kita tunjukkan pada dunia bagaimana kita merawat tanah air kita. Hingga nanti suatu saat kelak, tiada lagi orang yang harus bergantung hidupnya dengan merusak alam sungai ini”. janji Najmi seraya memandang teguh tegak bangunan perusahaan yang menggerogoti langit desanya. Zailani pun tersenyum, menarik tangan Najmi untuk berenang riang di sungai Batanghari seperti masa kecil mereka dulu.
*) Cerpen karya Alberta Prabarini, juara 1 dalam Sayembara Penulisan Sastra “Bersama Lawan Corona” Bengkel Sastra Universitas Sanata Dharma, 2020.