Mati Sekali Lagi | Cerita Pendek Jonathan Toga Sihotang

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Di hari pertama kematianku, tidak seorangpun menangis. Tidak terkecuali Ibu, yang lebih takut jiwanya ikut terseret masuk ke neraka, karena membesarkan anak sepertiku. Atau juga Ayah, yang bergidik ngeri membayangkan bagaimana aku hilang nyawa. 

Di hari pertama kematianku, orang-orang hanya akan lalu lalang di depan peti mati, menaikkan doa sekadarnya kepada belasan tuhan berbeda, yang bahkan tidak satupun aku percaya. Mereka silih berganti, salim lalu lekas pergi. Tidak ada yang mau menyisihkan waktu lebih, di hari kematianku, di hari Jumat, untuk hanya melihat mayat.

Di hari itu, aku terlahir kembali.

Aku terbangun pada hari kedua kematianku. Berbaring di atas dipan jelek yang aku gunakan buat tidur selama masa belum balig. Di sebelah kiri, kujumpai potongan roti dengan sebuah lilin kecil; kelahiran keduaku dirayakan. 

Selang beberapa suapan, aku sadari, roti saat ulang tahun ternyata tidak sekonyol yang dulu aku kira. Krim putih yang terbaring di atasnya juga tidak lagi membuatku enek. Di hari kedua kematianku, lambungku dicuci dari segala racun. Kini, ia berhias bunga.

Setelah terlelap malam itu, aku mendapati diri sedang berjalan di antara kios-kios penjual kaset. Mereka beradu suara dengan pelantang, bertaruh pada selera musik yang sama jeleknya. Biasanya aku akan berlari, menyelamatkan telingaku beserta segala kedalaman seleranya. Namun, tidak di hari ini.

Dalam suatu ketenangan yang ganjil, saat kepalaku hening sepenuhnya, aku merasa lagu-lagu yang biasa diputar: yang populer, koplo, speed-up, dan remix ternyata juga tidak seburuk itu. Maka, dengan selera yang rendah, aku bersenandung sambil melompat kecil-kecil. Di hari ketiga kematianku, aku merengkuh bagian diriku yang paling banal dan dulu enggan aku akui.

Keesokan harinya, awal pekan, aku baru tersadar bahwa kerja dan tugas tidak lagi mengikat. Maka, kupasangkan abah-abah di badan seekor anjing liar, lalu kami berjalan bersama. Dalam udara yang dingin dan menggigit bekas luka di pergelangan tanganku, kami melangkah gontai dan pelan; seakan tidak punya kesibukan atau dikejar oleh tenggat. 

Anjing liar itu memberi kebahagiaan lebih dari anjing-anjing lain yang pernah diam dalam rumah, tapi tidak pernah sempat kurasakan halus rambutnya. Di hari keempat kematianku, masa kecilku terobati.

Di hari kelima setelah kematianku, aku kembali jatuh cinta. Dalam tatapan tajam seorang perempuan, aku kembali merasa pantas dicintai, sehingga kuberikan seluruh hati, paru-paru, beserta sisa organ dalamku buatnya; tanpa mempertanyakan apakah akan berbalas.

Aku mengajaknya pergi, dan kami mengedari kota dengan kaki telanjang. Hanya berhenti untuk makan dan minum, sampai malam kembali menjadi pagi. Hari itu, aku kembali merasa dikasihi.

Perjalanan kami selesai di suatu hotel murah pinggiran kota. Dalam satu kamarnya yang paling reyot, bukan hanya kakiku yang berdiri tanpa kain; aku bugil. Kami bercinta dengan lampu menyala terang dan tirai terbuka lebar, sehingga bisa kulihat seluruh tanda di tubuhnya: memar, benjolan, lepuh, tahi lalat, tanda lahir, atau apapun itu. Tidak ada yang memisahkan kami, bahkan kondom lateks sekalipun; sebab untuk kali pertama, aku bercinta karena cinta, bukan untuk dua atau tiga kali ejakulasi.

Aku merasakan kehangatan seperti yang bisa dijumpai dalam pelukan ibuku. Dan, kali ini memahami kenapa manusia enggan untuk mati.

Di hari ketujuh kematianku, aku terbangun dengan damai yang melampaui segala akal. Kelahiran kedua telah mengubah, mentransendensikan diri dan segala kebertubuhanku. 

Di hari itu pula, langit runtuh dan segalanya menjadi gelap. Kiamat datang di hari Jumat. Dalam sekejap diriku yang telah mati dihadapkan dengan penghakiman paling ilahi. Dijatuhi hukuman-hukuman atas dosa selama hidup, yang sekarang sudah bukan lagi bagianku, bahkan dalam kepingan paling kecil sekalipun. 

Tuhan yang tanpa ampun mendaratkan segala hukuman yang bisa diberikannya untukku yang masih berjalan di atas tanah. Di hadapannya, segala bujuk rayu adalah sia-sia dan penderitaanku sepanjang hidup tidak berarti apa-apa.

Karenanya, aku kembali mengamuk. Dan, dalam amukan itu membunuh diriku, untuk dilahirkan kembali, lagi dan lagi. Di hari Jumat itu, aku mati sekali lagi.


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul:  Tufail Rosyad Abdi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts