Kisah-kisah Kematian | Cerita Pendek Hugo Hardianto

“Biarlah orang mati menguburkan orang mati, karena yang sudah mati tidak akan pernah pergi. Kau ingat kan dengan kisah Lazarus, orang mati yang bangkit lagi itu? Aku yakin dia bisa bangkit gara-gara dia menguburkan dirinya sendiri.”

“Bodoh, itu gara-gara ada nabi yang datang dan membangkitkannya. Mana ada orang mati bisa menguburkan dirinya sendiri. Kalau ada, gimana caranya mereka mandi sebelum dikubur? Apa ada orang mati mandi sendiri? Orang mati kan juga butuh mandi,” bantahmu sambil berdiri dan beranjak pergi.

“Aku mau mandi, mau ikut?” Tambahmu dengan genit.

Sialan, batinku. Bisa-bisanya kamu mengajakku mandi bersama. Apa kau sudah lupa dengan ceritaku semalam, saat pertama kali kita bertemu di bar milik Tegar?

“Kenalkan, aku pencerita kematian,” kira-kira begitu salamku saat pertama kali mendekatimu yang sedang duduk sendirian.

“Jadi, sudah berapa kali kau melihat orang mati?” Senyummu licik.

Sialan, senyum itu, ya senyum itu.

“Namamu?”

“Alvira, tapi kau bisa panggil aku cinta.”

“Aku Laki, but you can call me anytime.”

Ah, semalam kita terkikih-kikih saja mendengar gombalan-gombalan murah yang kita lontarkan. Kalau sekarang kuingat-ingat lagi, tak habis pikir betapa menjijikkannya kembang-kembang bibir kita.

“Jadi, sekali lagi kutanya, kau sudah berapa kali melihat orang mati?”

“Banyak, kau tak bisa membayangkan. Makanya aku punya gelar pencerita kematian.”

“Siapa yang pertama?

***

Ah Alvira, kau pasti tak akan percaya. Orang mati yang pertama kulihat namanya Ratna. Dia mantan pacarku beberapa purnama lalu. Mau tahu Ratna mati karena apa? Karena sabun, ya sabun. Lihat, sudah kubilang kau tak akan percaya.

Kalau tak salah ingat waktu itu Jumat dan suasana sedikit mendung. Seharian kami di kamar saja, jangan tanya ngapain. Aku sibuk menulis cerita, sedangkan Ratna, aku lupa dengan apa yang dikerjakannya waktu itu.

Tiba-tiba Ratna bangkit dan mengajakku mandi. Tentu saja aku mau, waktu itu. Baru dua langkah masuk ke kamar mandi, kakinya menginjak sabun dan terpeleset. Aku belum sempat bergerak waktu melihat kepala Ratna menghantam lantai. Semenjak itu ia tak pernah bangun lagi. Selesai. Tamat. Metong.

Konyol katamu? Memang, bahkan terkesan mengada-ada, tapi aku masih punya buktinya. Mau lihat? Janganlah, tak baik melihat foto orang yang sudah mati.

***

Selepas cerita itu, yang kuingat hanya kau ikut pulang ke indekosku, sampai pagi ini kau mengajakku mandi.

“Terus kau punya cerita kematian siapa lagi?” Tanyamu tiba-tiba sambil keluar dari kamar mandi.

“Hmm, sebentar coba kuingat-ingat. Ah aku dulu punya kenalan pak tua yang tinggalnya dua rumah di timur kos ini.”

“Bukannya itu daerah kumuh?”

“Ya, dan kau pasti tak percaya lagi kalau kuceritakan tentang kematian pak tua itu.”

“Namanya?”

“Nama pak tua itu? Mana aku tahu. Aku cuma kenal karena dia selalu menyapaku duluan kalau ketemu di jalan.”

“Terus gimana bisa tahu cerita kematiannya kalau kau tak pernah kenal dia?

***

Aku cuma lihat mayatnya. Cerita kematiannya aku dapat dari tetanggannya, mungkin, aku tak yakin juga. Namun, tetangganya itu, ya kita anggap tetangganya pak tua saja ya biar gampang, bilang kalau pak tua mati setelah membersihkan saluran tinja.

Bohong katamu? Sumpah mati aku tidak berbohong. Katanya dia kehabisan napas waktu menyelam ke gorong-gorong tinja dekat rumahnya. Aku sejujurnya juga tak percaya kalau pak tua itu mati karena membersihkan saluran tinja. Hari gini, teknologi sudah maju, sedot tinja cuma sejauh sambungan telepon, kok bisa ada orang mati konyol begitu.

Jangan salah lho, aku sudah coba cari-cari berita berapa besar kemungkinan orang mati karena membersihkan saluran tinja, ternyata jumlahnya banyak juga. Katanya paling banyak terjadi di India. Di sana itu, ya di India sana, masih banyak orang yang kerjanya membersihkan salurah tinja dengan cara manual.

Kau tak tahu manual? Maksudnya mereka tak pakai peralatan memadai. Tangan dan kaki cuma dibungkus plastik. Tak pakai tabung oksigen, ya sudah menyelam saja gitu ke air yang hitam pekat. Akibatnya ya banyak dari mereka mati seperti pak tua, kehabisan napas dan mati lemas. Jijik? Ya aku juga jijik, tapi memang begitu kerja mereka.

Ah ya kembali lagi ke pak tua. Tetangganya itu, ya tetangganya yang tadi, bilang ke aku kalau pagi-pagi sebelum kerja dia lihat pak tua ngosek-ngosek saluran tinjanya. Belum, tetangganya itu belum sempat lihat pak tua menyelam ke gorong-gorong. Bentuknya seperti apa? Lebih baik tidak kau bayangkan. Di daerah kumuh itu, ya yang di sebelah timur kos ini, saluran tinjanya tidak karu-karuan.

Kita terbiasa menyalurkan tahi-tahi ke septiktank, biasanya sih letaknya di bawah rumah kan? Kalau di sana kau berak, tahi ya lolos saja ke selokan-selokan di sela-sela rumah. Tak ada bedanya dengan kau poopy di sungai. WC hanya jadi pajangan. Wong tinjanya bergelempangan di kanal-kanal air samping rumah.

Nah, tetangga pak tua ini dapat cerita dari tetangganya yang lain kalau pak tua mulai menyelam setelah capek ngosek-ngosek saluran tahi di rumahnya. Mungkin dia frustasi ya, sudah menyogok-nyogok sekuat tenaga tapi saluran tinjanya tidak mengalir juga. Aku membayangkan di saluran tinjanya banyak eek-eek yang keras, kau tahu, yang meski kita sudah ngeden sekuat tenaga tapi dia susah keluar juga. Kata orang-orang sih tahi kita keras karena kurang makan sayur, tapi menurutku itu cuma karena kita kurang berusaha dan berdoa saja. Setuju nggak?

Tetangga dari tetangga pak tua itu sudah mengingatkan pak tua agar tak menyelam jauh-jauh. Di sana biasa memang orang menyelam ke saluran tinja. Mungkin mereka penasaran ada apa sebenarnya di dalam sana. Kalau aku sih ogah, mencelupkan kaki ke kubangan air hitam itu saja tak sudi.

Pak tua itu tidak menjawab. Dia hanya mengacungkan jempol saja tanda mengerti. Karena tak khawatir, tetangga dari tetangganya pak tua melanjutkan aktivitasnya. Aktivitasnya apa? Ya mungkin masak, mungkin menyapu, apa aku harus tahu semua?

Tak sadar, satu dua jam berlalu. Tetangga dari tetangganya pak tua itu tiba-tiba penasaran apakah saluran tinja pak tua sudah lancar. Keluar rumah dia dan mengintip ke bawah gorong-gorong tahi pak tua. Bukannya nemu aliran air yang lancar, tetangga dari tetangganya pak tua itu malah melihat tubuh pak tua mengambang tak bernapas lagi.

***

“Aku curiga semua ceritamu itu bohongan,” katamu serius, “mana ada orang mau membersihkan saluran tinja sembrono gitu, bisa mati pula.”

“Terserah kalau kau tak mau percaya, tapi gelar pencerita kematianku itu bukan kaleng-kaleng.”

 “Kau sendiri punya cerita apa untukku?” Tantangku padamu.

“Aku belum pernah lihat orang mati. Gimana kalau kuceritakan kisah kematian yang belum pernah terjadi?”

“Kematian siapa?”

“Kematianmu,” katamu sambil tersenyum.

Sialan, senyum itu, ya senyum itu.

“Coba kayak gimana?”

***

Aku mengenalmu belum terlalu lama, jelas baru satu malam. Namun apa kau sadar kalau kau ini pencerita yang buruk? Tidak ada konflik, tiba-tiba saja ceritamu berakhir mengenaskan. Tidak ada yang rasional dari semua cerita kematian yang kau sampaikan. Terkesan mengada-ada, kau sendiri yang bilang.

Kau dipenuhi kesombongan. Pada akhirnya, kesombongan itu yang ak…

***

“Sebentar, kau ini sedang bercerita atau hanya menyampaikan apa yang kau rasakan terhadapku?” tanyaku memotong.

“Terserah aku dong,” katamu nyolot, “aku punya gaya bercerita sendiri, kau mau dengar atau tidak?”

“Oke, oke, aku diam dan mendengarkan,” kataku sambil menggerakkan tangan di depan bibir, tanda mulut ini terkunci.

“Aku lapar, kita sambil makan ya?”

Kau berdiri ke dapur, mencari makanan yang bisa digoreng, dan kemudian bercerita lagi.

***

Suatu malam, datang seorang perempuan ikut menginap di kamarmu. Kau tak menaruh curiga. Lihat saja senyum perempuan itu, indah bak hamparan kekayaan yang tak ada habisnya. Siapa yang tidak terpesona ketika melihat banyak harta di hadapannya. Itulah kau saat melihat senyum kecil perempuan itu.

Namanya? Tak usah kau tahu, toh sebentar lagi kau mati. Bisa Sari, bisa Queenzha, bisa Bunyi, atau kau bisa pakai namaku, Alvira.

Kau tahu bagaimana kau mati? Si Sari ini, atau Queenzha, atau Bunyi, atau Alvira, pelan-pelan mengupas setiap jengkal kulit yang melekat di tubuhmu. Sakit? Jelas sakit, kau dikuliti hidup-hidup, tidak dibius, tidak dibuat pingsan dulu. Teriak? Mana bisa kau teriak, perempuan ini cerdas. Mulutmu disumpal barang-barang yang bisa digapainya, bisa celana dalam, bisa botol obat, bisa plastik minimarket. Macam-macam yang muat. Berontak? Jangan kira kalau dia tak mengikatmu lebih dulu dengan kedok mau bercinta. Kau senang kan yang seperti itu?

Oh, tapi kesenanganmu padanya akan menguap tatkala ia mulai menguliti jempolmu. Ya jempol dulu, bukan dada, bukan paha, jempol kaki kanan tepatnya. Ini baru pertama kali dia menguliti manusia. Jempol, yang kecil, jadi percobaan paling aman kalau-kalau bentuknya jelek dan dianggap gagal.

Setelah itu baru dia menguliti dada, ditarik garis lurus dari dekat toraks menuju pusar. Kemudian melingkar mengitari perut sampai ke punggung. Baru kemudian disayat pelan-pelan, sampai kulit di bagian tubuh yang terlentang terbuka semua. Lanjut lagi ke tangan, paha, kaki. Wajah? Wajah tidak dikuliti. Seram tahu kalau wajah tak punya kulit. Apa kau tak bisa membayangkan?

Selesai menguliti seluruh tubuhmu, si Sari atau Bunyi ini akan menyiapkan wajan dan minyak panas. Pelan-pelan dia potong jari-jari tangan dan kakimu, lantas ke dalam penggorengan. Jari-jari itu digoreng dengan beberapa bawang putih agar aromanya harum. Kalau sudah matang dan warnanya berubah jadi cokelat keemasan, si Queenzha atau Alvira ini akan meniriskannya dan menyajikannya untuk dimakan.

Ini baru hidangan pembuka, masih ada lagi nanti steak paha atas, BBQ tendon lengan, Se’i belikat, macam-macam. Nah, habis itu…

***

“Hmmmhh, hmmMMHH, HMMMHHH!”

 Sialan, aku tak lagi mendengar ceritamu dengan jelas. Mataku berkuang-kunang, kehabisan banyak darah. Seperti katamu, aku tak lagi bisa berteriak. Mulutku penuh barang-barang, entah itu kertas sobekan buku, botol kecap, abu rokok, aku tak tahu. Sakit, seluruh tubuhku sakit sekali. Aku melongok sedikit ke bawah; dadaku, perutku, tanganku, kakiku, sudah tak berkulit. Jari-jariku yang sudah kau potong sebentar lagi matang. Sebentar lagi aku bisa makan. Namun, aku belum mau mati.


Editor: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts